VISI KAMI

“ AGAR HAK DAN MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH DIAKUI DAN DIHORMATI. ”

Minggu, 17 Maret 2013

SOSIALISASI Dan JEJARING CWTC (1)


Sosialisasi dan penyebaran informasi melalui berbagai kegiatan dengan sarana yang ada merupakan sebuah tindakan kegiatan yang saat ini masih merupakan cara yang bisa menjangkau berbagai lapisan dan kalangan. Baik Awam maupun kalangan religious.
Bahkan dalam laporan tahunannya, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melalui Trafficking In Persons Report 2012 – nya dalam salah satu point pencegahannya menyatakan bahwa Kegiatan sosialisasi disampaikan melalui konferensi, radio, koran, billboard, pamflet, program sekolah, dan pertemuan lingkungan (“…The campaigns were delivered via conferences, radio, newspapers, billboards, pamphlets, school programs, and neighborhood meetings….”).

Jelas sekali peranan sosialisasi dalam bentuk apapun masih sanggup untuk menyadarkan masyarakat umumnya dalam kampanye ini. Hanya dalam pelaksanaan memang sedikit banyak masih tergantung kepada kemauan dan semangat dari para pesertanya. Apakah hanya berhenti setelah pelatihan ataukah masih dilanjutkan dengan pelaksanaan rencana tindak lanjut dari pertemuan tersebut.

Dengan ber visi kan “ Agar Hak dan Martabat Manusia sebagai Citra Allah diakui dan dihormati. ” Counter Women Trafficking Commission berusaha untuk ikut dalam karya kemanusiaan yang merupakan salah satu dari kejahatan transnasional selain Narkoba dan Senjata ( bahkan saat ini diperkirakan Kegiatan Narkoba justru mengikuti Trafficking yang semula trafficking mengikuti Narkoba ) yang tidak semua orang bersedia melakukannya.

Dan melalui misinya antara lain menyebarkan pengetahuan tentang kekejaman dan liku-liku mata rantai perdagangan manusia dan Menggerakkan sekaligus memberdayakan para religius dalam mencegah dan menanggulangi perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak komisi ini melakukan berbagai kegiatan dengan mengadakan seminar seminar , Pelatihan atau Lokakarya atau penyebaran informasi melalui mailinglist dan media internet lainnya, serta memfasilitasi Jaringan Informasi antar Lembaga dan Tarekat yang bergerak dalam bidang karya Counter Women Trafficking. Kegiatan sosialisasi melalui media internet bisa menjangkau ke seluruh dunia yang siapapun bisa mengaksesnya sehingga bisa menjadi sarana yang cukup ampuh dalam ikut menanggulangi masalah ini. Selain itu kegiatan melalui sosialisasi ke daerah daerah melalui tarekat tarekat biarawan dan biarawati juga merupakan strategi dalam penanggulangan masalah ini . Karena mereka lah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Oleh
Penulis
---------------------------------------*************------------------------------------------


SOSIALISASI GENDER EQUALITY DAN HUMAN TRAFFICKING DIDEKENEAT KEEROM DAN JAYAWIJAYA KEUSKUPAN JAYAPURA

LATAR BELAKANG

Sosialisasi ini merupakan kelanjutan dari sosialisasi bulan Nopember tahun 2011 di Sentani Jayapura yang diikuti oleh 40 peserta terdiri pastor, suster, frater yang berasal dari empat Dekanat ( Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Jayapura dan Keerom ).

Dekanat Keerom terdiri dari lima paroki ( Arso kota, Waris, Skanto, Yuruf dan Ubrub ) Yang mengikuti pelatihan ini hanya Arso kota dan Waris, karena Ubrub dan Yuruf, jaraknya jauh, sedangkan paroki Skanto masih ada kegiatan untuk persiapan Pelantikan Dewan Paroki. Didaerah Keerom ini penduduk nya sudah bercampur, selain penduduk asli, ada juga suku Flores, Kei dan orang suku Jawa. Penduduk Asli Papua mencari kehidupan dengan merambah hutan.

Namun saat ini hutan-hutan dan tanah Adat disekitar penduduk sudah digadaikan kepada pengembang usaha dan menjadi perkebunan sawit, sehingga perempuan-perempuan didaerah ini menjadi pekerja di perkebunan sawit ini. Perempuan-perempuan Papua adalah perempuan perkasa, merekalah yang harus menopang kehidupan seluruh keluarga, dari mencari makan untuk seluruh anggota keluarga sampai mengurus anak, ladang dan kandang babi. Mereka harus bekerja keras karena mas kawin yang diterima dari anggota keluarga suami sebelum menikah dianggap sebagai sarana membeli perempuan menjadi isterinya, sehingga perempuan Papua selain harus bekerja keras mereka juga menjadi korban kekerasan suaminya, maka KDRT di tanah Papua ini cukup banyak, tidak kecuali di Keerom

Sehari sebelum Workshop dimulai, kami Sr.Antony PMY dan saya Sr.M.Katarina FSGM berkunjung ke pastor Paroki Arso yang juga menjabat Dekan Dekanat Keerom, dan dari beliau kami mendapat informasi banyak tentang kehidupan masyarakat Asli Papua didaerah ini. KDRT didaerah ini cukup tinggi, dan menjadi konsumsi sehari-hari.

Otonomi Daerah Khusus untuk Papua mengakibatkan kemunduran bagi penduduk Papua, bantuan dana dari pemerintah pusat menyebabkan masyarakat terutama laki-laki yang dulu sudah mulai bercocok tanam, kini mereka tidak mau melakukan lagi, karena pikir mereka, meskipun tidak bekerja ada bantuan dana respect dan BLT, sehingga perempuan semakin bertambah bebannya.

Dalam Workshop tiga hari para aktivis Dekanat Keerom yang terdiri dari 33 orang, kami membedah ketidak adilan dalam berelasi laki dan perempuan dengan Analisi Gender. Dengan sarana ini mindset mereka berubah, mereka semua baik peserta laki-laki maupun perempuan mulai menyadari kekeliruan mereka masing-masing, dan berniat untuk mengubah kekeliruan mereka serta bersemangat untuk menyampaikan apa yang telah dipelajari dalam Workshop ini kepada pasangan suami-isteri di seluruh Dekanat Keerom, Orang Muda Katolik dan para remaja calon generasi penerus Gereja di tanah Papua ini. Dalam proses pelatihan, para peserta juga bersemangat untuk mengubah budaya lokal yang tidak adil karena dia laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan selalu dalam pihak yang dirugikan, dimadu karena tidak melahirkan anak, dihina, diejek, dipukul, karena tidak memenuhi selera dan kehendak laki-laki, diperkosa karena dianggap menggoda dan membangkitkan hasrat laki-laki. Dan apabila kaum perempuan memutuskan untuk memilih minta cerai karena sungguh tidak kuat lagi hidup dalam perkawinan, maka diwajibkan untuk mengembalikan sejumlah uang mas kawin yang pernah diterima sebagai bellis

Materi kedua yang kami sajikan adalah Human Trafficking. Pada awalnya kami berpikir di papua Barat ini, perdagangan manusia hanyalah sebagai “Pembeli” perempuan dan anak yang didatangkan dari Jakarta, Menado dan jawa, tetapi ternyata perempuan-perempuan Papua pun sudah ada yang dijual ke daerah lain. Ketika kami mendengarkan sharing dari LSM perempuan yang juga seorang pengacara, kami semua peserta pertemuanterbuka mata kami, karena di kota Jayapura perdagangan perempuan dan anak juga sudah semarak, baik siang maupun malam hari, transaksi seks terus berlangsung.

Pada jam istirahat kerja pada siang hari para pejabat memesan pada pihak hotel untuk disediakan perempuan muda, dan pihak hotel sudah merekrut anak-anak sekolah SMP dan SMA untuk memenuhi pesanan para pejabat tersebut.

Anak-anak sekolah tersebut meninggalkan jam pelajaran, dijemput oleh mobil hotel dan mereka berganti baju didalam mobil hotel tersebut dengan baju biasa, sebab baju seragam sekolah dilarang masuk hotel. Baik para pejabat maupun anak-anak sekolah akan pulang kerumah pada waktunya, sehingga pihak keluarga masing-masing tidak curiga. Mengapa separah ini kondisi kemerosotan moral terjadi?

Bagi perempuan dan anak? Ada lompatan budaya di tanah Papua ini. Dari budaya hidup primitif ( koteka bagi laki-laki, telanjang dada bagi perempuan) kemudian melompat ke budaya serba janggih, ber- HP ria , konsumarisme, hedonisme, dan tawaran-tawaran kemajuan dan kemudahan yang lain, Bagi para laki-laki yang memegang uang, satu-satunya keinginan hanyalah membeli perempuan.

DEKANAT JAYAWIJAYA

Training kedua kami lanjutkan di Dekenat Jayawijaya yang terdiri dari 9 Paroki. Sebelum kami memulai training, kami mencoba mendapatkan sedikit informasi seperti apakah kondisi kaum perempuan di Dekenat ini. Bersama Sr.Antonie PMY dan Pastor John Djongga Pr., kami berkunjung kepada tokoh umat suku Jawa yang sudah 42 tahun lamanya tinggal di Papua ini, dan mempunyai andil cukup besar membantu anak-anak Papua untuk dapat melanjutkan study di Pulau Jawa, agar setelah pandai kembali untuk membangun Papua ini. Apa yang ia sampaikan pada kami juga diulang disampaikan kepada 90 orang peserta Workshop, bahwa Lembah Balliem memiliki sejarah lompatan budaya yang memprihatinkan.

Konon masyarakat Lembah Baliem hidup bercocok tanam, hasil pertanian mereka dijual ke Timika dan Jayapura dengan menyewa pesawat, namun sekarang mereka telah meninggalkan pekerjaan itu semua, bahkan sebaliknya, bahan makanan yang dijual di Lembah Balliem ini didatangkan dari Sentani dan Jayapura. Sekarang ini kaum laki-laki lebih senang berada di kota-kota, di jalan-jalan karena tugas mereka dirasa selesai setelah menyiapkan ladang untuk selanjutnya digarap oleh istri-istri mereka, mereka pada awal bulan menghabiskan uang bantuan dari pemerintah, dan uang dari anak-anak mereka yang berada di kota dan bekerja sebagai pegawai Negeri, dan apabila uang yang mereka butuhkan habis, tugas isteri-isteri mereka untuk mengirim uang, entah dari menjual babi mereka atau hasil tanah mereka.

Di Lembah Baliem ini angka kematian cukup tinggi, disebabkan penyakit HIV/Aid, minuman-minuman keras, para pastor paroki mengisahkan bahwa dalam setiap minggunya, mereka memakamkan 1 orang, bahkan disalah satu Paroki, dalam 3 tahun terakhir ini ada 400 orang meninggal dunia. Lembah Baliem tercatat ada 10.000 anak-anak asli Papua yag hidupnya dijalanan, mereka tidak bersekolah, separuh dari mereka adalah anak Katolik.
Bisa buat apa kita ini untuk mereka?
Kaum perempuan di Lembah Baliem hampir sama dengan kaum perempuan di Dekenat Keerom Kaum perempuan dianggap barang dan sapi perah, mereka masih sangat jauh dari setara dengan kaum laki-laki, merekalah yang harus bekerja keras untuk kelangsungan hidup keluarga, ruang hidup mereka didapur, kandang babi dan ladang, kaum perempuanlah yang harus menanam, memanen dan mengolah.
Dalam pertemuan tiga hari di Wamena, diikuti 90 orang yang terdiri dari utusan 9 paroki, 9 pastor paroki , 9 suster, 2 frater dan lainnya awam. Ditempat ini nampak para biarawan dan biarawati sangat kompak, bekerjasama bergandengan tangan untuk mendampingi umat katolik di Lembah Balliem ini.

Hari terakhir sesudah para peserta berefleksi selama 3 hari dengan mendapat masukan, tentang Analisis Gender, persoalan-persoalan perdagangan manusia dari berbagai pengalaman , peristiwa dari berbagai daerah, baik Nasional maupun Internasional, kemudian mereka diajak untuk melihat praktek-praktek kekerasan dan perdagangan orang di Papua dan secara khusus di Lembah Baliem, juga sharing dari petugas kantor Pemberdayaan Perempuan Jayawijaya, petugas kesehatan, LSM Suara Perempuan Wamena serta Polisi Kabupaten Jayawijaya, mereka mulai berkumpul masuk kedalam kelompok per-paroki didampingi oleh pastor paroki masing-masing untuk membuat Rencana Tindak Lanjut dari Workshop tiga hari ini.
Dari Rencana Tindak Lanjut mereka, yang sangat menggembirakan adalah bahwa mereka akan mensosialisasikan hasil pertemuan ini ke Kelompok-kelompok Basis. Dan peserta dari utusan orang muda katolik, akan menindak lanjuti secara khusus dengan diskusi-diskusi bersama orang orang muda untuk mengkritisi cara hidup, pola pikir, perilaku, budaya yang tidak adil di bumi Papua ini, yang diskriminatif dan cenderung mengorbankan kaum perempuan serta anak-anak. Hadir pula kepala suku Wamena, yang bersemangat untuk berdiskusi dengan para kepala suku lainnya agar terjadi kesetaraan martabat, pembagian tugas yang tidak memberatkan kaum perempuan.
Demikian gambaran yang kami dapatkan selama kami woshop bersama Dekenat Keerom dan Dekenat Jayawijaya, semoga dapat menjadi pemikiran kita bersama agar ke depan ada dunia yang lebih baik dan membahagiakan.

---------------------------------------*************------------------------------------------

COUNTER WOMEN TRAFFICKING COMMISSION Wilayah JAWA TENGAH - DIY
Oleh Sr Krista PI

Selamat berjumpa dalam perjuangan dan solidaritas yang sama bagi para korban perdagangan manusia.
Pada tgl 1 - 3 Maret 2013 lalu bertempat di Susteran OSF Muntilan, tim CWTC- IBSI Regio Jateng - DIY mengadakan sosialisasi PERDAGANGAN MANUSIA kepada para pimpinan sekolah SMA dan SMK, pimpinan asrama dan panti asuhan wilayah jawa tengah - DIY yang dihadiri oleh para suster dan awam sejumlah 24 orang.
Mereka berasal dari berbagai Tarekat dan lembaga pendidikan yang berada di wilayah Jawa Tengah dan DIY . Mereka yang hadir adalah kepala sekolah, guru BK, pimpinan asrama, pimpinan panti asuhan dari Tarekat Biarawati. OSF ada 8 suster dan 1 awam guru BK , Suster CB ada 6, Suster AK ada 2, Suster PIY ada 2, Suster PI ada 2dan 1 awan pendamping Panti Asuhan , Sr. HK ada 1, 2 awam dari SMK Putratama Bantul.
Sebagian besar mereka belum memahami mengenai PERDAGANGAN MANUSIA dengan segala modus dan proses yang terjadi, kendati ada yang telah membaca di koran, mengikuti proses di TV tetapi masih merasa diluar dirinya. Maka ketika dijelaskan tentang persoalan perdangangan manusia secara lengkap oleh Sr. Antonie , PMY , “ suhu “ kita dalam bidang ini, mereka semakin terbengong dan melihat satu sama lain, “…kok bisa ya, itu….” kata spontan yang keluar dari peserta terutama para suster ... Sangat kejam ya...
Kemudian peserta diajak untuk melihat dari dimensi gereja secara biblis yang dijelaskan oleh Rm. Markus Nurwidi, Pr. Berangkat dari Kitab Kejadian tentang kisah penciptaan sebagai landasan dalam bertindak sebagai orang katolik, romo yang merupakan salah satu anggota SGPP KWI ini menjelaskannya.
Bahwa manusia adalah citra Allah maka harus menghormati sesama, apapun latar belakang, agama, budaya, ekonomi, karena sebagai gambaran Allah, dan gereja juga mendukung perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan….
Kemudian peserta diajak untuk melihat perdangangan manusia dari dimensi hukum dengan segala aturan yang ada dijelaskan secara gamblang oleh ibu Dr. Sarimurti Widyastuti, SH M.Hum. Dekan fakultas hukum Atmajaya Yogyakarta.
Dalam undang- undang secara jelas diatur bagaimana orang dapat dijerat secara hukum jika melakukan pelanggaran atas perdagangan manusia ini.
Dilanjutkan refleksi bersama dengan melihat film tentang perdanganan anak -anak gadis oleh orang yang terdekat seperti orang tua, kakak, saudara, pacar bahkan suami yang dengan tanpa rasa salah menjual orang- orang yang terdekat..
Kemudian peserta diajak untuk mulai membangun jejaring dengan membuat Rencana Tindak lanjut yang dituangkan dalam program masing-- masing Tarekat secara konkrit dan dapat diukur dan dilaksanakan.
Tim Jateng - DIY bersedia menjadi fasilitator apabila dibutuhkan oleh masing- masing Tarekat.Acara ditutup dengan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Rm.Yohanes Yupilustanaji, Pr.dari Seminari Mertoyudan Magelang. .
Kita berharap melalui perjumpaan ini akan membuka mata dan hati agar dapat mendampingi kaum muda perempuan dan anak -anak dengan benar dan terarah .
Terima kasih untuk kerjasama kita dalam tim sehingga acara ini dapat berjalan dengan baik.
Mari kita bergandengan tangan agar kuat dalam melawan ketidakadilan terhadap perempuan dan anak- anak.
Dalam kesatuan kasih dan pelayanan.

Di edit Kembali Oleh :
Dadang – Sekretaris Eksekutif CWTC

---------------------------------------*************------------------------------------------

Sosialisasi Perdagangan Manusia / Trafficking in Person dalam seminar Gerakan Bersama Untuk Keadilan Ekologi dan Perdamaian oleh KKP Pontianak

KUBU RAYA, TIRTA RIA-Sepuluh tahun akhir ini masyarakat pedalaman memang mengalami banyak perubahan yang cukup berarti dalam sisi ekonomi, namun disatu sisi terjadi suatu kemerosotan kualitas lingkungan hidup. Persoalan penebangan hutan, tercemarnya air sungai sebagai sumber kehidupan dan tanah masyarakat diambil alih oleh para pemodal memberi merupakan faktor pendorong terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup dan keharmonisan hidup masyarakat.

Melihat realitas masyarakat dan kualitas lingkungan hidup tersebut, Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Pontianak /KKP-KAP menyelenggarakan seminar dengan mengusung tema; “Gerakan Bersama Untuk Keadilan dan Perdamaian”. Para peserta yang mengikuti seminar tersebut lebih berasal dari beberapa anggota tarekat religius Katolik yang berkarya di bidang sosial dan pendidikan di wilayah Kesukupan Agung Pontianak.

Pastor Faustus Bagara, Ofm Cap selaku ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Pontianak dalam kata sambutannya mengungkapkan bahwa seminar ini dilandasi oleh keprihatinan terhadap kondisi lingkungan hidup dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat yang meyebabkan konflik horizontal maupun vertikal. “Kita sebagai religius perlu melakukan satu gerakan bersama untuk melakukan pemulihan hak hidup masyarakat di Kalimantan, teristimewah di Kalbar ini demi terciptakan keadilan dan perdamaian”. Keprihatinan ini bukan tidak beralasan sebab dalam kenyataan hidup masyarakat di pedalaman telah sering terjadi kasus-kasus perampasan tanah masyarakat oleh pihak pemodal yang meyebabkan konflik. “Kita dipanggil untuk meyuarakan keadilan dan kebenaran demi terciptanya perdamaian dan kelestarian hidup bagi generasi selanjutnya. Disinilah letaknya panggilan hidup kita dipertaruhkan” Ujar Pastor yang mendalami ilmu sosial di Philipina.

Seminar yang diselenggarakan di rumah Retret Tirta Ria Sei Raya tersebut diikuti 40 peserta yang terdiri dari para pastor, suster, bruder, dan aktivis sosial gereja, dengan beberapa pembicara antara lain; P. Samuel Oton Sidin, Ofm Cap, P. Paulus Siswantoko, Pr, P. Mike Peruhe, OFM dan Sr. Maria Fransiska, SSpS.

Pastor Samuel Oton Sidin, Ofm Cap yang merupakan salahsatu pionir gerakan penyelamatan lingkungan hidup di Gunung Benuah-Sei Ambawang, memaparkan bahwa gerakan kita mesti berawal dari dalam diri sendiri. Keprihatinan kita hendaklah mengugah orang lain untuk melakukan kebaikan. “Kita mesti sadar bahwa bumi kita hanya satu, kalau bumi kita rusak berarti hidup kita pun akan terancam, sekarang ini bumi kita sudah rusak parah (kalimantan), dimana hutan sudah gundul, air telah tercemar, dan tanah-tanah masyarakat beralih ke pihak pemodal. Sudah semestinya kita sadar bahwa manusia lah yang paling bertanggungjawab atas kerusakan itu. Kerusakan itu akibat dari ulah manusia yang tidak mengindahkan kadiah-kaidah ekosistem.

Menurut Pastor yang pada tahun 2012 menerima anugerah Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan seluruh muara persoalan lingkungan hidup dewasa ini berakar oleh kemerosotan moral dan Iman manusia. Manusia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan memuaskan nafsu keserakahannya” tandasnya.

Keserakahan manusia tersebut menyebakan ketidakadilan dan ketidakharmonisan hidup manusia sendiri. Pastor Paulus C. Siswantoko, Pr berujar bahwa ketidakadilan ekologi tersebut semakin nyata dalam diri manusia yang serakah. Maka untuk itu perlu bersikap adil terhadap lingkungan hidup dengan mengubah paradigma bahwa alam tidak semata-mata untuk dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi. Kita mesti melakukan suatu gerakan pertobatan ekologis, dimana adanya kesadaran untuk menghargai martabat makluk ciptaan ddemi keutuhan dan kelestarian hidup” Ujar Sekjen Komisi Keadilan dan Perdamaian-Migran Perantau KWI Jakarta.

Sedangkan Sr. Maria Fransiska, SSpS yang berkecimpung dalam bidang penangganan kasus Human Trafficking mengungkapkan bahwa human trafficking dewasa ini sudah sangat melecehkan martabat manusia. Pelecehan martabat manusia tersebut merupakan kejahatan paling keji dan merupakan pelanggaran HAM berat. Beliau melansir data dari Counter Women Trafficking Commision bahwa daerah Kalbar menduduki posisi kedua terjadi nya human trafficking setelah Jawa Barat.

Pada Tahun 2011 jumlah korban Kasus Perdagangan Manusia Di Indonesia Mencapai 3.943 Orang, terdiri Dari 3.559 Orang Perempuan Dan 384 Orang Laki-Laki. Daerah yang memiliki kasus tertinggi berasal dari Jawa Barat Mencapai 920 Orang (23,33%) Dari Total Korban Perdagangan Manusia Yang Ada Di Indonesia, Sedangkan Kedua Yaitu Kalimantan Barat Mencapai 722 (18,31%) Dan Jawa Timur 478 (12,12%," Papar suster yang berkarya di Surabaya ini.

Dalam kesempatan yang sama Pastor Mike Peruhe, OFM memaparkan persoalan-persoalan ketidakadilan ekologi dan membangun perdamaian di Bumi (Kalimantan) mesti berangkat dari kekuatan bersama dalam jejaring. Kita tidak dapat bekerja sendiri kalau hendak menegakkan keadilan dan perdamaian” tuturnya. Membangun mitra kerjasama mesti dilandasi oleh itikad baik dan komitmen pada nilai-nilai solidaritas, saling percaya, efektivitas, kesetaraan yang menguatkan, dan integritas serta koordinasi dan komunikasi yang tepat. “Sudah saat nya sekarang kita sebagai kaum religius anggota gereja membuka mata dan hati untuk melakukan suatu gerakan bersama untuk keadilan dan perdamian karena itulah panggilan kita yang sejati” lanjut Pastor yang baru saja menyelesaikan gelar Master Community Development di Australia.

Seluruh rangkaian seminar ini pada akhirnya melahirkan satu komitmen bersama para religius katolik yang berkarya di berbagai daerah Kalbar, membangun satu jaringan kerjasama untuk keadilan ekologi dan perdamaian dalam satu wadah. Hal tersebut dimaksud agar gerakan tersebut memiliki sinergisitas yang sungguh-sungguh berdampak pada satu perubahan hidup bagi masyarakat pedalaman yang lebih baik dalam berbagai bidang kehidupan, bukan semata dalam segi ekonomi. Bekerja untuk bidang keadilan dan perdamaian berarti bersikap hormat terhadap martabat makluk ciptaan itu sendiri “tandas Pastor Faustus Bagara, ofm cap dalam kata penutup seminar tersebut.

(br.kris tampajara, mtb)

---------------------------------------*************------------------------------------------

PELATIHAN ANTI PERDAGANGAN WANITA Dan ANAK
COUNTER WOMEN TRAFFICKING COMMISSION ( CWTC ) – IBSI Bekerjasama dengan IKHRAR KEDU

Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat global, termasuk bangsa Indonesia sedang mengalami ancaman bagi kemanusiaan, yaitu adanya perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Untuk itu diperlukan sosialisasi dan penyadaran bagi semua pihak tentang bagaimana pentingnya dan berbahayanya praktek praktek tentang perdagangan orang terutama yang melibatkan perempuan dan anak.

Pelatihan diselenggarakan di Pertapaan Rawaseneng yang merupakan biara dari kongregasi OCSO yang berlokasi di daerah Temanggung Jawa Tengah., dengan hawa yang cukup dingin tidak membuat peserta yang mengikuti pelatihan ini menjadi kurang bersemangat, justru sebaliknya. Dengan gaya bertutur yang sangat enak di dengar dan ceria yang disajikan oleh Narasumber dari CWTC, Sr. Antonie PMY dan Sr. Katarina FSGM membuat peserta sangat menikmati sesi demi sesi hingga akhir acara.

Acara pelatihan ini berlangsung dari tanggal 17 maret 2012 sore hingga 18 maret 2012 siang. Tidak kurang dari 40 peserta berbagai kongregasi baik dari kalangan suster, romo ,bruder maupun frater yang mengikuti acara ini sangat antusias dan bahkan terharu terutama saat diadakan pemutaran film tentang PERDAGANGAN MANUSIA DI PONTIANAK oleh para suster dari CWTC. Dimana dalam film tersebut ditampilkan bagaimana penderitaan para korban trafficking yang telah dicampakkan begitu saja oleh para agennya yang berakibat pada kehidupan mereka selanjutnya.

Demikian juga saat ditampilkan pemutaran film mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga yang mengambil latar belakang kehidupan para perempuan di Nias, yang menjadi korban dari salah satu “adat budaya “ yang terkadang dirasakan sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman dewasa ini., dimana anak perempuan dianggap tidak perlu meneruskan pendidikan karena bagaimanapun perempuan tadi akan kembali ke dapur sehingga dengan paksaan dari orang tuanya ( Ayah ) akan dijodohkan dengan seorang kaya dan terpandang di kampungnya. Menurut Sr. Antonie, disini juga terdapat unsur Trafficking, yaitu saat anak perempuan tadi dipaksa oleh orangtuanya untuk menikah dengan seorang kaya, sepintas terlihat bahwa anak perempuan tadi dibarter / ditukar dengan kekayaan dari anak orang terpandang tersebut.

Demikian lah pelatihan yang cukup singkat namun penuh dengan makna dan tujuan. Seperti yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Surat kepada Para Perempuan (29 Juni 1995)

“ ...Tidak jarang kaum perempuan justru dipinggirkan dari kehidupan masyarakat dan bahkan direduksikan ke dalam perbudakan. Kerapkali mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama (dengan laki-laki) untuk memperoleh pendidikan, direndahkan dan sumbangan intelektual mereka tidak dihargai (Art 3)..”

Dan sekalipun singkat namun banyak para peserta yang tertarik dengan misi yang dibawa oleh komisi CWTC – IBSi yaitu Menggerakkan para religius untuk mencegah perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak serta Memberdayakan para religius untuk menanggulangi perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak.

Oleh :
Dadang
Sekretaris Eksekutif CWTC

---------------------------------------*************------------------------------------------
PERTEMUAN FORUM MASYARAKAT MANGGARAI DI JAKARTA
“PEREMPUAN MENYAPA MANGGARAI

Merantau adalah sebuah kebiasaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat NTT baik perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun sehingga tidak sedikit orang NTT yang menetap di berbagai tempat. Masyarakat Manggarai adalah salah satu dari masyarakat NTT yang juga memiliki kebiasaan merantau. Di saat ini kebiasaan merantau menjadi sebuah momok bagi masyarakat Manggarai karena mereka yang merantau kebanyakan ingin mendapatkan penghidupan yang baik namun tidak memiliki pengetahuan dan keahlian yang diperlukan di daerah perantauan. Tidak sedikit masyarakat manggarai yang terjebak dalam tipu daya orang yang menjadi agen perekrut tenaga kerja dan berakhir menjadi korban penjualan orang.

Kehadiran Suster-Suster Gembala Baik dalam Seminar yang bertema “Perempuan Menyapa Manggarai” adalah untuk menggugah para tokoh masyarakat Manggarai yang memiliki pengaruh di daerah. Lewat pertemuan tersebut para tokoh masyarakat Manggarai diperkenalkan terhadap realita yang dialami oleh masyarakat di desa-desa terutama kaum perempuan dan anak yang terpisah dari suami dan ayah, serta bagaimana situasi sesungguhnya yang dialami oleh para pahlawan devisa asal manggarai di perantauan.

PROSES SOSIALISASI
Dalam proses seminar dihadirkan pembicara antara lain:

  1. dr. Tridia Sudirga, Sp.KK (Perempuan Manggarai dan kesehatan)
  2. Suster CB (Perempuan dalam Gereja Manggarai)
  3. Vivi (Perempuan Manggarai dan hukum)
  4. Titin (Tenaga Kerja Wanita Manggarai)
  5. Suster Gembala Baik (Situasi Pekerja Migran dan keluarganya)

Dalam proses sosialisasi, Kami mempertanyakan apa yang para hadirin ketahui seputar tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Beberapa berkomentar bahwa mereka memiliki banyak penghasilan dan hidup keluarganya lebih baik. Dari komentar tersebut kami mempertanyakan lagi apakah mereka yang yang bekerja di Malaysia semua mendapat hidup yang lebih baik? pertanyaan ini dijawab diam oleh para peserta.

Kami memulai dengan mengajak peserta melihat bahwa sedikitnya ada 488 perempuan yang didampingi oleh Suster-suster Gembala Baik di Manggarai yang kehilangan kontak dengan suami yang merantau ke Malaysia. Ketika menyebut ini, ada dua orang peserta yang memunculkan kata “oh, JAMAL”. Dari celetukan itu kami mulai bercerita bagaimana istilah JAMAL telah merendahkan para ibu yang kami dampingi bahkan ada yang mendapatkan gangguan dari para lelaki di kampungnya dan akhirnya menjadi korban pelecehan seksual bahkan ada yang sampai mengandung tanpa tahu siapa pelaku yang menghamili. Pada saat kami menceritakan bagian ini, para hadirin yang sebelumnya ramai menjadi sangat tenang, diam, dan menaruh perhatian.
Kami melanjutkan presentasi kami dengan pengalaman mencari para suami dari 488 ibu di Sabah Malaysia. Suster yang mendampingi para ibu membawa data dan foto terakhir para suami yang sudah hilang kontak dan tidak diketahui keberadaannya. Dalam perjalanan selama 2 minggu dengan menempuh perjalanan darat menemui para pekerja Indonesia asal NTT di Kilang-kilang, hutan-hutan, perkebunan, dan kandang ternak tidak ada satupun dari 488 yang kami cari berhasil ditemukan. Ketika kami memasuki daerah peternakan kami menemukan seorang anak muda asal NTT yang baru saja berusia 20 tahun dan telah 3 tahun bekerja di sana yang menceritakan bagaimana susahnya hidup sebagai tenaga kerja yang tidak jelas statusnya.
Kami pun menunjukkan gambar dokumen untuk bekerja di Malaysia. Kami ceritakan bahwa mayoritas orang yang kami temui tidak pernah memegang dokumen dalam gambar padahal mereka memiliki dokumen itu. Hal ini terjadi karena mereka terikat hutang untuk dokumen itu yang jumahnya tidak sedikit yaitu sekitar 3000 RM bahkan sampai 4500 RM padahal banyak yang gaji per harinya 3 – 7 RM. Banyak yang menceritakan bahwa sebelum mereka selesai membayar hutang mereka sudah memiliki hutang untuk dokumen yang baru. Dan yang menarik adalah nama dalam dokumen seringkali berbeda dengan nama asli mereka serta usia mereka pun dipalsukan.
Kami menunjukkan bagaimana mereka tinggal dan bagaimana mereka survive. Dalam pengalaman pertemuan dengan mereka, sering mereka harus bersiap jika terjadi operasi dadakan oleh RELA. Mereka harus menyembunyikan diri dan keluarga dari tangkapan RELA. Para perempuan harus melahirkan tanpa bantuan medis dan bila ada yang sakit maka mereka memberikan obat tradisional ala kampung karena mereka tinggal di daerah yang terisolasi dan jauh dari keramaian. Untuk mengakses sarana pengobatan mereka harus menunjukkan uang sebesar 1200 RM dan membayar 150 RM untuk administrasi dan tidak termasuk obat. Mereka mengeluhkan diskriminasi yang terlalu besar karena warga Malaysia hanya membayar 10 RM untuk administrasi dan obat.
Kami juga menceritakan bagaimana para pekerja migrant dan keluarganya terlebih dahulu mendapatkan hukuman penjara sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Tidak sedikit mereka yang mendapatkan hukuman cambuk dan harus tinggal cukup lama dalam penjara sebelum pulang. Tidak sedikit pula mereka yang pulang hanya membawa kantung plastic yang berisi pakaian ganti mereka selema di penjara tanpa ada uang sama sekali. Tidak sedikit pula para ibu yang kami dampingi di Ruteng yang berhasil menemukan kembali suami namun dalam keadaan sakit parah sehingga tidak dapat kembali bekerja di kampung. Serta kami menceritakan tidak sedikit para suami yang pulang dengan membawa HIV AIDS karena selama di hutan menyalurkan hasrat seksual dengan PSK yang sudah dibuang karena penyakit tersebut. Hal ini menjawab pertanyaan kenapa perempuan terutama ibu rumah tangga banyak yang mengidap HIV AIDS di NTT.
Sepanjang presentasi tidak ada yang memberikan pertanyaan. Peserta memberikan pernyataan seputar presentasi yang kami lakukan antara lain:
Presentasi ini telah membuka mata bahwa bukan perempuan manggarai yang kegenitan sehingga tertular HIV AIDS tapi mereka adalah korban karena suami mereka sendiri yang membawa penyakit itu ke rumah dan menulari istrinya.
Persoalan migrant ini sesungguhnya serius tapi tidak begitu diketahui karena kebanyakan kita mendapat cerita yang bagus soal perantau di Malaysia.
Appresiasi buat para suster gembala baik yang sudah melakukan pelayanan yang tidak biasa, kami ingin ikut mendukung dengan memberikan sumbangan karena para suster juga telah membantu masyarakat manggarai salah satunya dengan memulangkan 2 orang saudari kita.
Akan ada pertemuan lanjutan dengan para gembala baik, supaya tokoh masyarakat manggarai bisa melakukan sesuatu. Karena ini persoalan serius yang butuh dicari penyelesaian secara bersama.
Proses presentasi ditutup dengan ucapan terimakasih dari panitia terhadap Perwakilan gembala baik dan penyerahan uang hasil kolekte untuk mendukung karya suster Gembala Baik.
Keseriusan para tokoh masyarakat untuk melakukan advokasi persoalan masyarakat akar rumput adalah salah satu cara untuk mencegah semakin banyaknya orang yang diperdagangkan. Bekerja berjaringan bersama para stakeholder menjadi harapan gembala baik untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa dari praktek eksplotasi manusia.

Kiriman:
Sr Lia RGS

---------------------------------------*************------------------------------------------
SARASEHAN ALUMNI PELATIHAN COUNTER WOMEN TRAFFICKING COMMISSION – IBSI
Sudah sejak jaman dahulu kala perdagangan dan perbudakan manusia ini ada , manusia dianggap sebagai “barang dagangan”. Ini sungguh-sungguh bertentangan dengan martabatnya sebagai manusia yang se-citra dengan Allah. Ini bertentangan dengan HAM . Di jaman sekarang perbudakan semacam itu masih ada, dengan modus operandi yang berbeda, bahkan berkembang tak terkendali karena mempunyai teknik dan strategi yang canggih, yang melibatkan mata rantai jaringan, mulai dari big boss God Father-nya sampai ke ujung tombak perekrut lokal perdagangan manusia di desa-desa terpencil.

Jaringan kerja mereka sangat sulit diurai karena para pelakunya bersepakat untuk merahasiakan dengan menutup mulut mata rantainya dengan uang, dan bahkan menutup mulut mereka dengan ancaman. Bisnis ini secara internasional menangguk keuntungan sangat besar, lebih besar dari perdagangan senjata.

“Agar hak dan martabat manusia sebagai citra Allah diakui dan dihormati “ itulah tema yang tersaji dalam acara sarasehan alumni pelatihan Counter Women Trafficking yang diselenggarakan oleh komisi anti perdagangan perempuan atau COUNTER WOMEN TRAFFICKING COMMISSION yang notabene adalah komisi yang berada dibawah naungan IBSI ( Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia ).

Komisi ini sejak tahun 2007 hingga 2012 telah mengadakan tidak kurang dari 19 kali pelatihan dan seminar diberbagai daerah di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua dengan berbagai kongregasi telah mengikutinya . Komisi ini telah dapat merangkul berbagai kongregasi tersebut untuk dapat berjejaring demi menumbuhkan kesadaran, bahwa perdagangan manusia tersebut melawan nilai kasih dan keadilan.

Dan setelah hampir 5 tahun mengadakan seminar seminar / Pelatihan / Lokakarya serta memfasilitasi berbagai Jaringan Informasi antar Lembaga dan Tarekat yang bergerak dalam bidang karya Counter Women Trafficking, kiranya diperlukan sebuah program bagi para alumnus pelatihan pelatihan tersebut untuk mendapatkan kembali penyegaran akan rawannya tindak perdagangan manusia ini.

Maka pada tanggal 26 hingga 29 maret 2012 lalu, bertempat di Rumah Pembinaan Santa Julie Billiart Lawang – Malang dan dihadiri oleh 19 kongregasi, baik dari kalangan biarawati (PMY, SSpS, FSGM, PK, MC, RGS, SPM, CB, PI, PRR, KSFL, KYM, HK, OSU, SS.CC,OP , JMJ) , imam (Pr Larantuka) dan biarawan (MTB) telah berlangsung kegiatan sarasehan alumni pelatihan counter women trafficking. Program yang telah direncanakan pada tahun lalu ini berlangsung dengan sangat dinamis. Dimana hal itu tidak lepas dari banyaknya pengalaman-pengalaman yang disampaikan oleh para peserta sarasehan yang memang mereka adalah orang orang yang sangat peduli dan menyadari betul bahayanya masalah ini bagi kehidupan manusia selanjutnya.

Dengan hadirnya Rm. Ignatius Ismartono SJ dan Ibu Dr. Y. Sari Murti W., SH.M.Hum (Dekan Fakultas Hukum Univ. Atma Jaya-Yogyakarta) sebagai narasumber, menambahkan pula referensi pengetahuan bagi para peserta tentang Latar belakang Biblis; keberpihakan kita pada korban sebagai dasar pelayanan dan didukung oleh Spiritualitas serta Pemahaman Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak. Peserta diajak oleh Romo Is, untuk menelaah kembali Kitab Suci dalam hubungannya dengan pelayanan terhadap korban-korban trafficking ini.

Ibu Sari Murti saat mengajak dialok  dengan peserta   Sarasehan
Ibu Sari Murti saat mengajak dialok dengan peserta
 Sarasehan ( Dok : Penulis )
Sedangan Ibu Sari Murti mengajak peserta untuk memahami kembali betapa rentannya perempuan dan anak terhadap tindak kekerasan dan tindak perdagangan orang dengan memberikan pertanyaan: Siapa yang harus dilindungi? Bagaimana perlindungan harus diberikan?

Selain menghadirkan kedua narasumber tersebut, CWTC juga menghadirkan mereka yang telah mengalami langsung tindak perdagangan orang ini, yaitu: ibu Maizidah Salas – yang adalah survivor dari perdagangan manusia dan kini menjadi aktifis SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) dan Rm. Charles Suwendi Pr yang mendalami pastoral migran dalam studinya di Roma dan telah berpengalaman melayani para migran Indonesia di Taiwan.

Keaktifan peserta dalam sarasehan ini sesaat berubah menjadi rasa keharuan dan keprihatinan yang mendalam setelah mendengarkan kisah dari Ibu Salas dan Romo Charles, dimana terungkap bahwa kisah-kisah memilukan dan jeritan minta pertolongan jelas terpancar dari gambar dan slide yang ditampilkan oleh kedua narasumber itu. Bagaimana ketidaktahuan mereka tentang bermigrasi yang benar dan aman yang seharusnya dilakukan. Bagaimana ketidakmapanan ekonomi menjadi salah satu penyebabnya. Bagaimana mereka harus menahan siksaan dari para majikan maupun agen tenaga kerja pada saat di tempat transit ataupun di tempat tujuan mereka. Bagaimana mereka tidak menyadari, bahwa mereka telah menjadi korban dari perdagangan manusia ini. Bagaimana mereka telah terjebak dalam lingkaran ini sehingga mereka tidak bisa lepas dari masalah perdagangan manusia.
Dalam kesempatan ini, hadir pula Uskup Surabaya, Mgr Vicentius Sutikno Wisaksono dimana beliau saat ini aktiif sebagai moderator SGPP-KWI. Wawanhati berlangsung dengan suasana keakraban yang sangat mendalam. Berbagai pertanyaan dan komentar dari peserta dijawab oleh Mgr. Sutikno dengan penuh kearifan.
Sarasehan berakhir pada hari kamis, tanggal 29 maret 2012 dengan kesan yang mendalam dari peserta, dimana telah dihasilkan suat kesepakatan dari para peserta, antara lain :
  • Mengupayakan untuk membangun jejaring antar tarekat, regio dan keuskupan se-Indonesia yang telah proaktif dan aktif dalam pelayanan kepada TKI/TKW dan korban perdagangan manusia yang dikoordinir oleh IBSI dan bekerja sama dengan KKP-PMP KWI dan SGPP-KWI.
  • Berkolaborasi dan membangun jejaring dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk menangani persoalan migrasi, khususnya mereka yang menjadi korban perdagangan manusia.
  • Membangun komitmen bersama untuk memberikan pemahamanan dan pembelaan agar hak dan martabat manusia sebagai citra Allah diakui dan dihormati
Selain itu pada akhir acara ini, para peserta dari kelompok Sumatera, DKI, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Papua juga menyampaikan Rencana Tindak Lanjut di antaranya, mulai Sosialisasi melalui karya yang ditangani oleh kongregasi misalnya asrama, sekolah, karya kesehatan dan karya pastoral lainnya, memperkuat & memperluas keanggotaan dengan melibatkan tarekat yang lain dalam kegiatan yang sudah ada hingga selalu berbagi info berkaitan dengan kasus-kasus trafficking agar terbangun adanya kepedulian dan solidaritas satu dengan yang lain.

Namun tanpa keterlibatan dan kepedulian semua pihak mulai dari para suster, romo, bruder, frater, pekerja pastoral hingga para pimpinan kongregasi tentunya penanganan masalah ini kurang maksimal. Maka marilah dengan semangat solidaritas dan cinta kasih yang tinggi, kita semua bisa berjejaring untuk menyelamatkan dan mencegah tindak pidana perdagangan orang maupun tindak kekerasan yang selama ini selalu membayangi manusia khususnya bagi kaum perempuan dan anak.

“ Mengapa kita yang terpanggil tidak tergugah berbuat ........
Merangkul sesama kita yang menderita.......
Demi Cinta Kasih......... “

Penulis :
Dadang
Sekretaris Eksekutif CWTC-IBSI















Tidak ada komentar:

Posting Komentar