SURAT
GEMBALA Tentang KESETARAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI SEBAGAI CITRA ALLAH
24
Desember 2004
SURAT GEMBALA KONFERENSI WALIGEREJA
INDONESIA 2004
Tentang
KESETARAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI
SEBAGAI CITRA ALLAH
Saudari dan Saudara
umat beriman yang terkasih,
Kami menulis Surat
Gembala ini terdorong oleh tanggung-jawab kami, setelah mendengarkan dan
belajar dari kaum perempuan, dan mengacu pada Surat Kongregasi Ajaran Iman
kepada Para Uskup tentang Kerjasama Pria dan Perempuan, tanggal 31 Juli 2004.
Dengan penuh rasa
syukur kami mengakui bahwa kaum perempuan memiliki peran yang sangat penting
dalam berbagai penyelenggaraan kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat
maupun dalam Gereja. Dalam persatuan kasih antara perempuan dan laki-laki,
Allah selalu melahirkan generasi-generasi baru dalam kehidupan kita,
mendampingi mereka dalam perkembangan kepribadian dan iman.
Dalam sejarah manusia,
kita mengenal para perempuan yang tampil sebagai pemimpin dan pelopor. Kita
mengenal Ibu Teresa dari Kalkuta dan para pendiri tarekat yang bergerak di
bidang pendidikan, kesehatan dan kemanusiaan pada umumnya. Kita juga mengenal
banyak perempuan yang menjadi pemimpin pemerintahan di berbagai negara, dan
para perempuan yang berani berada di garis terdepan dalam gerakan tanpa
kekerasan untuk menolak pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia.
Perkembangan hidup
kita, termasuk hidup beriman beserta karya-karya kita, sangat dimungkinkan oleh
peran kaum perempuan, baik yang menikah maupun tidak, termasuk para biarawati.
Mereka senantiasa mengedepankan relasi persaudaraan, kepedulian, perhatian,
pemeliharaan, dan mencari jalan bagi kesejahteraan bersama. Secara khusus kami
mengucapkan terimakasih kepada para perempuan yang melakukan semua tugasnya di
tempat-tempat yang begitu sulit dan tersembunyi.
Keprihatinan
Masih banyak perempuan
yang tidak mendapat kesempatan untuk berkarya sesuai dengan kharisma dan
kemampuan mereka. Kenyataan ini disebabkan oleh struktur sosial dan perilaku
patriarkis yang mengakibatkan pelecehan, penindasan dan diskriminasi terhadap
perempuan. Oleh karena itu kita semua tidak bisa berdiam diri karena kenyataan-
kenyataan tersebut merusak martabat perempuan sebagai Citra Allah.
Masih banyak kejadian
baik dalam rumah tangga, masyarakat, bahkan tradisi keagamaan yang merendahkan
martabat perempuan. Masih banyak praktek kekerasan dan penipuan, seperti kawin
paksa, penganiayaan, pemerkosaan, aborsi, perdagangan perempuan dan anak untuk
dijadikan budak seks, pengemis, pengedar narkoba. Praktek-praktek kekerasan
tersebut menyebabkan perempuan semakin rentan tertular berbagai penyakit
menular seksual, yang menghancurkan hidupnya terutama HIV/AIDS.
Dalam sistem ekonomi
saat ini, perempuan banyak diperlakukan seperti barang dagangan dan menjadi
sasaran propaganda pola hidup konsumtif. Keterbatasan pengetahuan membuat
mereka sulit memilah dan memilih informasi yang diperoleh dari media massa.
Sementara itu, kami juga mengamati masih ada unsur-unsur budaya yang membatasi
kesempatan bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan. Situasi ini semakin
membuat perempuan terpinggirkan.
Masih begitu banyak
perempuan yang kurang memperoleh pelayanan kesehatan secara memadai. Mereka
tidak dapat menjangkau sumberdaya ekonomi untuk meningkatkan penghasilan. Kalau
mereka bekerja, upah dan jaminan kesejahteraan sosial yang diterima sering
lebih rendah. Mereka juga lebih mudah menjadi korban pemutusan hubungan kerja,
padahal mereka memikul tanggungjawab yang besar bagi keberlangsungan hidup
keluarga.
Di samping itu,
terdapat banyak kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang tidak adil
karena tidak memperhatikan kepentingan perempuan. Masih banyak pula aturan dan
kebijakan yang diterapkan secara diskriminatif sehingga membatasi keterlibatan
perempuan secara penuh dalam masyarakat dan Gereja.
Kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup telah berakibat langsung pada menurunnya kesehatan
kaum perempuan dan anak. Pertikaian-pertikaian bersenjata yang terjadi di
berbagai daerah telah menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan, lagi-lagi bagi
perempuan dan anak-anak.
Keyakinan
Gereja
Setelah Konsili Vatikan
II, ajaran-ajaran Gereja senantiasa menekankan bahwa laki-laki dan perempuan
diciptakan setara menurut citra Allah (Bdk. Kej 1:26-27). Allah memberikan
kepada mereka tanggungjawab untuk memelihara keutuhan ciptaan-Nya. Sesuai
dengan kehendak-Nya, laki-laki dan perempuan diciptakan setara martabatnya
walau berbeda secara biologis. Perbedaan tersebut dikehendaki oleh Tuhan,
karena mempunyai makna yang dalam dan tujuan yang khas untuk mengembangkan
kehidupan. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan
memperkaya serta dipanggil untuk membangun relasi yang penuh kasih.
Kita mengenal
tokoh-tokoh perempuan dalam Kitab Suci seperti Ester dan Yudit yang
memperjuangkan pembebasan bangsanya yang tertindas, serta Rut yang berani
mengambil risiko dan mengubah hidupnya yang tanpa harapan menjadi penuh
harapan. Demikian juga kisah ibu dari tujuh anak dalam Kitab Makabe, yang
menunjukkan keteguhan iman kendati di bawah ancaman pembunuhan. Mereka semua
memberikan inspirasi dan teladan bagi kita. Terutama Maria yang dipilih Allah
untuk menjadi Ibu Sang Penyelamat dan menjadi teladan iman, pengharapan dan
kasih bagi kita.
Gereja meyakini
laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan
aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup menggereja,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu penafsiran salah
terhadap ayat-ayat Kitab Suci khususnya yang tidak jarang dipakai untuk merendahkan
perempuan (bdk. Kol 3:18; 1Ptr 3:1; Ef 5:22-24), dan untuk mengecualikan
perempuan dari kehidupan Gereja dan masyarakat (bdk. 1Kor 11:2-16; 1Kor
14:34-35), perlu dihindari.
Kesadaran
dan Perilaku Baru
Refleksi ini membuat
kita sadar bahwa kita merupakan bagian dari tradisi masyarakat dan gerejawi
yang telah ikut melukai kesetaraan martabat yang mendatangkan penderitaan bagi
kaum perempuan. Kita semua, baik laki-laki maupun perempuan memiliki
kecenderungan untuk tidak mau melihat bahwa ada masalah dalam relasi kita. Kita
seringkali dengan tidak sengaja ikut memupuk sikap paternalistis yang
memperkuat dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan dan menguatkan
kecenderungan perempuan menerimanya begitu saja.
Dengan kesadaran ini,
kita mohon rahmat pertobatan kepada Allah, supaya baik secara pribadi maupun
bersama-sama, kita dapat mengubah sikap dan tindakan kita untuk mewujudkan
kehendak Allah yakni kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai
citra-Nya.
Marilah kita semua
melaksanakan apa yang telah diputuskan dalam Sidang Agung Gereja Katolik
Indonesia tahun 2000, yakni menjadi "Gereja yang mendengarkan".
Supaya hal tersebut dapat terwujud, kaum laki-laki antara lain perlu belajar
untuk mau mendengarkan pengalaman perempuan dengan kesungguhan hati. Tanpa
kesediaan itu, semua kebijakan dan langkah yang akan kita buat akan mengabaikan
pengalaman perempuan dan memperkuat kecenderungan untuk merendahkan dan
mendominasi mereka. Marilah kita menyebarluaskan pemahaman dan melakukan
penyadaran tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga,
masyarakat dan Gereja. Dalam hal ini Kursus Persiapan Perkawinan menjadi salah
satu sarana yang strategis.
Kami mengajak para
perempuan untuk mau mengungkapkan secara terbuka pengalaman-pengalaman anda,
terlebih bila anda mengalami diskriminasi, pelecehan, kekerasan. Kami mendukung
berbagai upaya membangun solidaritas untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Marilah kita mendukung semua gerakan untuk menghapus berbagai bentuk
eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah
tangga. Kita dukung usaha kaum perempuan untuk terlibat dalam berbagai bidang
kehidupan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan keagamaan.
Kami mendorong anggota
Gereja serta semua orang untuk menaruh kepedulian terhadap masalah kemanusiaan
ini dengan membangun solidaritas bersama kaum perempuan. Kami amat menghargai
dan ingin ikut serta dalam usaha untuk memfasilitasi penyediaan rumah aman bagi
perempuan dan anak-anak korban kekerasan tanpa memandang agama, golongan, suku,
dan aliran politik yang mereka anut.
Semoga Allah memberkati
setiap langkah kita, agar kita semakin bersedia untuk bekerjasama dengan Allah
dalam mewujudkan suatu dunia baru yang penuh cinta, hormat, keadilan dan
kesetaraan.
Jakarta,
22 Desember 2004
KONFERENSI
WALIGEREJA INDONESIA
Kardinal
Julius Darmaatmadja, S.J - Ketua ----- Mgr. Ignatius Suharyo – Sekretaris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar