VISI KAMI

“ AGAR HAK DAN MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH DIAKUI DAN DIHORMATI. ”

PESAN GEREJA [1]


PESAN SIDANG KWI 2008
PERIHAL PENGHENTIAN PRAKTIK-PRAKTIK PERDAGANGAN MANUSIA

Manusia Citra Allah
Sidang KWI, yang berlangsung  pada tanggal 03-13 November 2008 diliputi suasana keprihatinan terhadap upaya-upaya yang menjadikan manusia sebagai komoditi perdagangan.  Keprihatinan tersebut mencerminkan kepedulian dan kesadaran  para peserta sidang akan martabat manusia sebagai Citra Allah yang  sedang direndahkan.
Peserta sidang melihat dalam diri manusia, dalam setiap pribadi, citra yang hidup dari Allah sendiri.  Karena manusia diciptakan menurut gambar Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: manusia bukan hanya sesuatu melainkan seorang. Ia mampu mengenali diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.
Dalam tataran kehidupan bersama, suatu masyarakat  akan adil  dan sejahtera,  apabila  didasarkan pada penghormatan  terhadap martabat manusia.  Hanya pengakuan atas martabat manusia  yang dapat memungkinkan pertumbuhan bersama dan pribadi dari setiap orang.  Oleh karena itu, setiap pribadi tidak dapat dijadikan sebagai alat  dan sarana untuk  mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, baik  ekonomi, sosial dan politik.
Manusia sebagai Sampah
Dewasa ini umat manusia berada dalam periode perubahan yang amat mendalam. Pola masyarakat industri lambat laun makin menyebar, mengubah pengertian-pengertian dan kondisi kehidupan manusia. Oleh karena itu, banyak orang dengan pelbagai alasan berpindah tempat untuk mencari penghidupan yang lebih layak sesuai dengan tuntutan jaman yang sedang berkembang.
Demi alasan peningkatan kesejahteraan hidup,  orang meninggalkan desa menuju kota, atau banyak diantara mereka yang memutuskan untuk bekerja di luar negeri menjadi TKI dan TKW. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak untuk bermigrasi tetapi bila tanpa bekal  kesehatan, pengetahuan,  ketrampilan dan dasar kerohanian yang kuat akan memunculkan banyak kesulitan. Terjerumus dalam perdagangan manusia adalah masalah yang sering dihadapi oleh para migran.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Protokol Palermo menggambarkan perdagangan manusia sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eskploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Perbudakan modern merupakan ancaman serius bagi kehidupan umat manusia. Banyak individu hidup dalam penderitaan karena hak-hak asasi mereka dilanggar dan direndahkan.   Para korban  yang kebanyakan wanita dan anak-anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dimensi personal, sosial dan spiritual  mereka secara utuh.   Nilai-nilai luhur   kemartabatan manusia dicampakkan, dipandang dan diperlakukan seperti  seonggok sampah yang  tidak bernilai.
Eskalasi perdagangan manusia dari waktu ke waktu semakin mengkawatirkan. Hal ini disebabkan   kemiskinan yang masih terjadi dimana-mana,  unsur-unsur kriminal, pemerintahan yang korup, kekacauan sosial, ketidakstabilan politik, bencana alam, konflik bersenjata dan  keinginan pasar global untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah. Akibatnya semakin banyak  anak-anak bangsa ini yang akan menanggung penderitaan baik  fisik dan psikologis serta  meninggalkan pengaruh permanen yang  dapat mengasingkan  hidup mereka dari keluarga dan masyarakat.
Pemulihan Martabat Manusia
Peserta sidang menyadari bahwa Gereja sebagai tanda kehadiran Allah yang sedang berziarah di tengah dunia, hadir dan bergumul dalam persoalan-persoalan kemanusiaan. Melalui ajaran sosialnya Gereja Katolik ingin mengajak  seluruh umat beriman untuk peka dan peduli pada nasib sesama terutama mereka yang miskin, menderita, terasing dan terbuang.
Bergerak bersama
Akhirnya, semua pihak hendaknya dengan didasari rasa cinta yang dalam terhadap anugerah kehidupan dan penghargaan  yang tinggi terhadap keagungan martabat manusia  melakukan tindakan pencegahan  dan melindungi serta membantu para korban perdagangan manusia  mengalami pemulihan diri yang  penuh.

PARTISIPASI KITA DALAM MEMULIHKAN
MARTABAT  MANUSIA DAN ALAM SEMESTA

Pesan Sidang Para Waligereja Indonesia 2001

P e n g a n t a r
1.         Pada tanggal 5 - 14 November 2001, kami, para Waligereja Indonesia berkumpul dan bercakap-cakap bersama mengenai Gereja, masyarakat dan bangsa serta negara kita Indonesia. Dokumen ini memuat hasil percakapan itu berupa keprihatinan dan harapan yang dialamatkan, baik kepada segenap umat Katolik maupun kepada saudara-saudari segenap umat beriman dan segenap warga masyarakat yang dicipta dan dipelihara oleh Allah yang sama. Roh Allah yang melayang-layang di atas ciptaan, yang hadir dan bekerja dalam hidup Yesus, adalah Roh Allah yang hadir dalam manusia dan dunia sekarang ini.
2.         Kami, para Waligereja merasa terpanggil untuk ikut bersama dengan semua orang yang berkehendak baik untuk menanggapi keprihatinan sosial masyarakat, bangsa dan negara. Tidak jemu-jemu kami berusaha menghayati panggilan dan tugas perutusan sebagai murid- murid Yesus yang mendengarkan Injil. Kami mengajak seluruh umat Katolik dan semua umat beriman, segenap masyarakat yang mempunyai kepedulian untuk menyadari kenyataan hidup kita secara lebih mendalam dan menggulirkan gerakan yang dapat memperbaiki keadaan.
3.         Percakapan tersebut kami rangkaikan dalam pokok-pokok tentang kenyataan hidup masyarakat, bangsa dan negara kita, secercah harapan di tengah keprihatinan, pemberdayaan komunitas basis yang transformatif, hidup keberagamaan kita, belajar mengolah dan mentransformasikan konflik serta mengusahakan rekonsiliasi, mensyukuri panggilan dan mewujudkan tanggungjawab citra Allah, bersama-sama kaum Muslimin Indonesia berziarah di Jalan Menuju Tuhan.
1. Keprihatinan Masyarakat, Bangsa dan Negara Kita
4.         Kami menyadari betapa memprihatinkan kenyataan hidup masyarakat kita sekarang ini. Kalau kami membagikan pengalaman dan pemahaman kami di sini, kami tidak bermaksud untuk menambah rasa pesimis dan putus asa yang sekarang ini sudah meluas, melainkan untuk memelihara kepedulian serta harapan kita, dan untuk terus meningkatkan keterlibatan kita dalam masyarakat bersama dengan siapapun yang peduli terhadap saudara-saudari kita yang menderita. Kami mengungkapkan kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan, karena kami memang mempunyai pilihan nilai dasar untuk setiakawan terhadap saudara- saudari kita, yaitu mereka yang menderita, yang bagi kami adalah salah satu tanda kehadiran Kristus sekarang ini (Mat 25: 31 - 46).
5.         Allah kita adalah Allah yang menghidupkan, dan yang senantiasa menyertai dan meneguhkan setiap orang. Allah berkehendak untuk menyelamatkan semua orang. Namun dalam karya penyelamatan- Nya Ia mendahulukan mereka yang paling menderita. Itulah yang kita lihat pada hidup dan pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus, Sang Guru dan Teladan kita (Luk 9: 10; Mat 9: 12).
Pada waktu ditanyai oleh dua orang murid utusan Yohanes Pembaptis, Yesus menjawab: Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7: 22).
6.         Banyak usaha partisipasi yang sudah dijalankan dalam berbagai bidang, baik secara karitatif dan sosial, maupun melalui pemberdayaan komunitas basis dalam kerjasama dengan umat beragama lain dan dengan berbagai macam kelompok dan lembaga dalam masyarakat. Tentu kita perlu senantiasa mensyukuri tindakan atau gerakan umat kita bersama dengan siapapun yang ikut serta dalam upaya- upaya mengakhiri penderitaan atau sekurang-kurangnya menguranginya. Tindakan dan gerakan umat yang positif itu diukur dan digerakkan oleh pilihan nilai dasar yang sama, yakni meringankan beban hidup mereka yang menderita. Memang ada penderitaan yang berjangka waktu lama, bahkan rasanyatak mungkin dihilangkan. Bagi mereka ini setidak- tidaknya kita berusaha untuk menjadi teman yang setia dalam penderitaan.
7.         Pengalaman penderitaan dan kondisi yang memprihatinkan bisa ditemukan di seluruh wilayah negara kita. Persoalan-persoalan di setiap daerah itu terlahir antara lain oleh karena kita belum memahami dengan baik tentang konflik dan rekonsiliasi. Sikap mental-kultural kita yang sangat patriarkal dan feodal menghambat kita untuk menghayati arti dan makna terdalam dari konflik dan rekonsiliasi.
8.         Oleh karena kita tidak terbiasa untuk mengolah konflik dan mentransformasikannya, maka perbedaan-perbedaan dan keanekaragaman, yang menjadi jati diri dan kekayaan bangsa dan negara kita, tidak menjadi suatu kebanggaan kita, melainkan justeru menghantar kita kepada saling curiga dan ketakutan. Kecurigaan dan ketakutan melumpuhkan komunikasi yang sehat, membentuk sikap defensif, menaburkan jiwa agresif dan menyulut semangat kekerasan.
9.         Sementara itu keutamaan rekonsiliasi masih belum dihayati dengan sungguh-sungguh. Acapkali kita menolak dan tidak mau memulai mengambil langkah-langkah ke arah rekonsiliasi. Kita tidak bersedia berdamai, mengakui kesalahan, memohon dan memberikan maaf. Di dalam masyarakat dan kebiasaan kita terdapat pula rekonsiliasi dan kerukunan semu, di mana rekonsiliasi seakan dipaksakan kepada manusia lain, secara khusus kepada korban dengan maksud agar segera melupakan kesalahan pelaku, di mana kerukunan seolah mau diperjuangkan tanpa memperhatikan keadilan dan kebenaran. Dengan cara ini para pelaku tindakan amoral, kriminal, asosial dan penyebab suatu penderitaan dan kesulitan menghindar dari tanggungjawabnya atas kesalahan itu. Rekonsiliasi dan kerukunan semu ini sangat rentan bagi timbulnya kekerasan-kekerasan baru.
10.      Ada kecenderungan yang luas di masyarakat kita, di mana kekerasan seolah-olah telah menjadi jalan lumrah satu-satunya bagi penyelesaian perbedaan pendapat dan kepentingan. Di sini kami menyadari akan keterbatasan kemampuan pikiran, kekebalan hati nurani dan kerendahan watak pada sebagian manusia bangsa kita dalam menghadapi konflik.
11.      Setiap daerah kita mempunyai pengalaman unik dan masalah tersendiri. Meskipun demikian kami mempunyai kepedulian yang sama, yakni untuk berpartisipasi dan ikut serta memperbaiki kehidupanmanusia sebagai citra Allah yang dirusak di tengah-tengah kehidupan kita. Beberapa hal dapatdisebutkan sebagai kondisi umum yang memprihatinkan. Fakta kemiskinan yang diakibatkanolehsistem dan struktur sosial yang tidak adil; para petani, kaum buruh, nelayan, kaum perempuan, Tenaga Kerja Wanita, dan anak-anak menjadi korban ketidakadilan itu. Penderitaan sebagian sesama warga negara di tempat-tempat pengungsian akibat konflik-konflik serta dampaknya yangberkepanjangan di Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Aceh, Tanah Papua dan NTT merupakan wajah buram lain yang sungguh memprihatinkan.
Kekerasan-kekerasan dalam segala bentuk terjadi hampir pada segala lapisan masyarakat. Kekerasankarena aparat keamanan melawan masyarakat sipil dan kekerasan akibat pertikaian antar suku dan antara kelompok orang-orang yang mengatas-namakan agama- agama belum juga kunjung berakhir. Pada tingkat yang lebih rendah kita menyaksikan pula kekerasan-kekerasan karena pertikaian  antarkampung dan antar kelompok dalam masyarakat. Tak boleh dilupakan kekerasan-kekerasanyangterjadi dalam lingkungan keluarga yang mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan masyarakat dan hilangnya kondisi perkembangan pribadi secara sehat.
Di mana-mana kita masih menyaksikan dengan rasa prihatin penginjak-injakan hak asasi manusia,ketidakpastian hukum, korupsi, suap, nepotisme, ketidakadilan terhadap kaum perempuan, yangditekan, didiskriminasikan, dilecehkan, dipaksa dalam dunia pekerjaan dan keluarga, dan ketidakadilan gender secara menyeluruh. Masalah-masalah sosial-budaya pun tak kalah memprihatinkan. Banyakanak usia  sekolah terpaksa tidak mendapatkan kesempatan belajar. Mereka yang belajarpun hanya mendapatkan kondisi umum pendidikan yang rendah dan tidak kompetitif. Semangat sukuisme, benturan nilai-nilai, gaya hidup tanpa moralitas, masalah pekerjaan, bentuk-bentuk perjudian, serta meluasnya pengedaran dan penggunaan narkotika dan minuman-minuman keras, merupakan pula masalah yang sungguh memprihatinkan.
Lingkungan hidup kita mengalami pengrusakan besar-besaran. Hutan-hutan dibabat dan dibakar, air sungai dan danau dibuangi sampah, laut diracuni merkuri, penggalian tambang semakin liar, dan pembuangan limbah dan sampah kian tak terkontrol. Namun situasi sulit ini justeru mendorong kami untuk semakin giat dan tekun menemukan tanda-tanda harapan yang tidak kurang jumlahnya di tengah masyarakat kita, dan secara tulus mengakuinya.
2. Secercah Harapan Di Tengah Keprihatinan
12.      Dalam usaha untuk memahami kenyataan hidup yang sedang kita alami bersama, kami didampingi oleh para ahli ilmu-ilmu kemasyarakatan dan keagamaan. Mereka membantu kami untuk melihat dan percaya, bahwa dalam kegelapan yang meliputi berbagai bidang kehidupan, masih bersinar secercah cahaya yang berkedip. Apa yang terungkap di sini sebagai pemahaman kami mengenai masyarakat bukanlah hal yang tidak mungkin keliru. Namun kami harap pemahaman ini dapat menggulirkan diskusi yang luas untuk pemahaman yang lebih mendalam lagi dan untuk mencari jalan bagi gerakan perbaikan kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya rakyat kecil dan miskin, lemah dan tidak berdaya.
13.      Dari berbagai masukan dan diskusi kami menemukan, bahwa masalah kemiskinan fisik berkaitan dengan permasalahan ekonomi dan keuangan Indonesia yang berakar pada beban hutang luar negeri, budaya korupsi dan dampaknya terhadap produktivitas nasional, kesenjangan pendapatan karena kepemilikan modal hanya ada pada sebagian kecil masyarakat, dan kesenjangan pembangunan antara daerah- daerah di Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia, sistem perekonomian terpusat, dan ancaman persaingan global yang berdampak pada marginalisasi rakyat kecil dan lemah. Sebagai upaya mengatasi kondisi yang buruk itu, ekonomi kerakyatan sebagai alternatif telah digulir, meskipun belum optimal karena masih sangat banyak membutuhkan pemikiran.
Strategi bertahap dan aksi keberpihakan telah menjadi suatu gerakan yang lebih luas. Begitu pula kita alami banyaknya usaha-usaha kecil-kecilan di antara rakyat, industri rumah tangga, credit union, dan pembaharuan sistem pertanian. Semua itu dapat menjadi modal partisipasi rakyat dalam kehidupan ekonomi secara lebih luas dan nyata.
14.      Erat berhubungan dengan keadaan ekonomi masyarakat kita adalah kenyataan politik dan hukum, misalnya kaitan sumber daya alam dengan politik pembangunan. Ketika pemerintah mulai membangun tatanan ekonomi dan politik pada awal tahun 1970-an, kekuatan digantungkan hanya pada sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi, dan pada bantuan dan utang luar negeri. Fakta ini ternyata tidak saja menjauhkan pemerintah dari rakyat, melainkan juga mengkondisikan strategi industrialisasi dan pola hubungan negara dengan masyarakat, yang pada gilirannya hanya menguntungkan segelintir elit dan penguasa. Inilah salah satu sebabnya, mengapa demokrasi tak kunjung berkembang secara sehat dan mengapa rakyat serta kepentingannya lebih sering terasing dari kebijakan-kebijakan publik pemerintah. Inilah pula sebabnya mengapa tuntutan-tuntutan reformasi tak terpenuhi. Tak mengherankan jika ada perasaan yang cukup meluas di masyarakat, bahwa pemimpin-pemimpin dan para elit bangsa dan negara ini benar- benar terasing dari masyarakat.
15.      Hambatan reformasi itu juga datang dari sisa-sisa pemerintahan lama yang represif dan berpola militeristis. Reformasi di kalangan militer memang telah mulai diupayakan selama empat tahun terakhir ini, namun belum menampakkan hasil-hasil seperti yang diharapkan. Kendati telah menganut paradigma baru, kepolisian belum sepenuhnya mampu menjalankan peran sebagai penjaga keamanan, sehingga kerap kali peranan itu masih harus dijalankan oleh tentara. Kita masih memerlukan reformasi tata politik dan hukum secara menyeluruh, agar militer tak lagi terlibat dalam politik dan ekonomi, dan agar diskriminasi antara sipil dan militer dihilangkan secara wajar.
16.      Perlindungan hukum secara optimal terhadap warga negara seringkali menuntut adanya perubahan dan amandemen terhadap Undang-undang yang kita miliki. Bahkan kadang-kadang kita sungguh-sungguh memerlukan Undang-undang yang baru sesuai tuntutan perkembangan peradaban. Kita bersyukur, bahwa telah dibentuk dua institusi hukum yang penting, yaitu Ombudsman sebagai lembaga independen pengontrol para penegak hukum, dan Komisi Hukum Nasional sebagai lembaga pengkaji dan pengusul rancangan rencana pembaharuan di bidang hukum. Namun budaya hukum yang adil dan tidak dikotori korupsi, suap, kolusi dan nepotisme, masih memerlukan perubahan budaya secara luas. Hal itu tidak mudah dan memerlukan waktu, sebab kondisi umum masyarakat kita menyatakan adanya kekosongan hati nurani dan kekeringan moralitas.
17.      Kuatnya dominasi kekuasaan negara di hadapan rakyat merupakan hasil berlangsungnya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) selama ini. Kekuasaan menghasilkan KKN dan KKN mengawetkan kekuasaan. Tak mengherankan jika kekerasan, korupsi, kolusi dan nepotisme dianggap telah melembaga di Indonesia. Karena itu perubahan yang mau mengedepankan peran rakyat akan menghadapi tantangan. Maka yang diperlukan adalah perubahan mendasar pada sistem dan struktur kehidupan bernegara dan berbangsa. Ini tentu merupakan suatu proses jangka panjang. Perubahan itu harus berorientasi pada pembangunan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
18.      Perubahan konstitusi dan upaya memajukan masyarakat kewargaan (civil  society) dapat merupakan langkah ke arah perubahan struktural itu.
Penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, merupakan harapan yang perlu diwujudkan dengan niat baik. Namun perlu dicatat, bahwa perubahan struktur politik dan ekonomi pada umumnya harus terjadi baik di pusat maupun daerah.
19.      Semakin bertambahnya jaringan aksi, aliansi, kelompok solidaritas dan relawan, organisasi/LSM lintas etnis, golongan dan agama, yang bergerak di bidang pemberian bantuan hukum dan pemberdayaan kaum perempuan dan masyarakat kecil umumnya, merupakan modal bagi gerakan yang lebih luas dalam masyarakat. Keberadaan dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan semacam itu sangat didukung dan terus didorong. Kepedulian terhadap kaum kecil dan hak- hak asasi telah mengundang keterlibatan langsung banyak orang berkehendak baik, termasuk orang-orang kristen, baik kaum awam maupun para kaum religius dan orang-orang tertahbis. Selain memberikan bantuan dan pendampingan mereka juga menghimbau dan menggugah lewat pelbagai cara institusi-institusi dan para penguasa negara untuk bertindak sesuai dengan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepada mereka.
20.      Kenyataan psikologis masyarakat sekarang ini tidak terlepas dari pengalaman sejarah. Terasa adanya krisis identitas bangsa yang mendalam sekarang ini. Karena itu, sebagai warga satu bangsa dan negara, kita perlu memasuki dan menyelami kesadaran sejarah bersama (memori kolektif bangsa) dan dari sana kita bergerak mencari identitas dari dalam diri sendiri.
Sejarah hendaknya tidak menjadi hal yang berlalu dan sekedar mengisi masa lampau bangsa kita, melainkan ia hendaknya berfungsi bagi penemuan dan pembentukan jiwa, watak dan nurani bangsa kita. Sejarah mesti berguna bagi manusia Indonesia masa kini.
21.      Suatu bangsa yang beradab menjadikan sejarahnya guru yang baik. Kita mengingat sejarah positif bangsa kita untuk melahirkan motivasi perjuangan masa kini. Kita mengingat sejarah suram dan gelap bangsa ini, agar kita tidak mengulanginya lagi di masa sekarang. Harus diakui, bahwa benang merah kekerasan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas, telah meninggalkan pengalaman traumatis berkepanjangan.
22.      Maka diperlukan keberanian untuk mengakui dan menyadari wajah kita sekarang ini, dan kemudian bertanya, apakah kita masih mau bersatu sebagai bangsa, apakah kita masih memerlukan kehadiran orang-orang lain. Kita harus mulai dengan keterbukaan satu kepada yang lain sebagai sesama manusia. Dalam keterbukaan itu kita saling mengakui dan saling menawarkan kepedulian secara mendalam dan tulus. Kita bisa saling memaafkan tanpa melupakan kesalahan. Kita mengingat sejarah kita secara baru. Kita memaafkan, karena kita ingat akan kekerasan dan pengalaman traumatis. Dalam konteks inilah kita menggandengkan moralitas dan hukum, etika kepedulian dan etika keadilan. Jadi hukum dapat ditegakkan demi keadilan, tanpa kebencian ataupun niat membalas dendam.
23.      Berkenaan dengan pemahaman kita tentang gereja dan strategi pastoral kita sekarang ini, maka kami melihat, bahwa semua sikap dan perbuatan-perbuatan terpuji di atas dapat diemban oleh komunitas basis dan mendapatkan tempat perwujutannya di sana. Oleh karena itu pemberdayaan komunitas basis yang transformatif menjadi satu masukan dalam pertemuan ini dan pokok percakapan kami.
3. Pemberdayaan Komunitas Basis Yang Transformatif
24.      Kita berada dan hidup dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok orang yang berbeda-beda identitasnya, terutama dari segi sosial-budaya dan dari segi agama. Dalam lingkungan Gereja sendiri, iman dalam Kristus dan panggilan yang satu kita hayati dalam kelompok atau persekutuan yang berbeda-beda bentuk dan semangatnya. Dan karena itu kita pahami Gereja kita sebagai persekutuan dari komunitas-komunitas (communion of communities). Kita adalah suatu persekutuan dalam iman akan rahmat baptisan yang satu dan sama. Kita adalah persekutuan setiapkali kita membaca dan merenungkan Sabda Allah serta merayakan sakramen- sakramen Gereja,khususnya sakramen Ekaristi Kudus.
25.      Kita adalah juga persekutuan yang melaksanakan iman kita setiap kali bersaksi dalam iman dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang adil dan yang menawarkan perdamaian, serta melalui pelayanan sosial yang menyatakan kesetiakawanan kita kepada mereka yang menderita dalam masyarakat. Kita benar-benar berharap, bahwa karena kesaksian dan pelayanan kita itu, masyarakat yang selama ini terabaikan dan dipinggirkan serta terinjak-injak dapat berubah dari tidak berdaya menjadi berdaya.
26.      Dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2000 (SAGKI 2000) yang lalu kita telah menetapkan pengembangan komunitas basis sebagai arah proses pemberdayaan umat Katolik dalam konteks bangsa kita yang sedang dalam pergumulan mewujudkan suatu Indonesia baru yang lebih adil, lebih manusiawi, lebih damai dan memiliki kepastian hukum. Pengembangan komunitas basis itu didasarkan atas keyakinan, bahwa daya hidup Gereja terletak pada basisnya dan pembaharuan Gereja harus berasal dari basisnya. Atau, seperti dikatakan oleh para Uskup se-Asia: "Gereja hanya bisa menjadi Gereja bila mendarah-daging dalam suatu bangsa dan kebudayaannya, di tempat yang khusus dan pada waktu yang khusus pula" (Seri Dokumentasi FABC no. 1).
27.      Karena Gereja hidup dalam masyarakat majemuk, maka secara prinsipiil diharapkan agar dalam proses pengembangan komunitas- komunitas basis diperhatikan semangat keterbukaan yang menentukan upaya-upaya membaharui diri dan membangun persaudaraan sejati, sehingga Kerajaan Allah semakin dirasakan kehadiranNya melalui perjuangan kebenaran dan keadilan dengan perspektif gender, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Ternyata komunitas-komunitas basis yang ada telah membangun komunitas bersama umat beragama lain melalui dialog kehidupan, dialog karya dan dialog iman. Dengan ini diharapkan, bahwa usaha menumbuhkan komunitas-komunitas basis bisa menjadi salah satu cara bagi Gereja untuk berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi.
28.      Komunitas semacam ini disebut juga komunitas transformatif, karena memiliki kesadaran kritis, mempunyai harga diri dan daya kekuatan kolektif, sehingga tidak diombang-ambingkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar. Komunitas basispun bersifat transformatif, karena melalui komunitas ini kita bertekad merubah diri dan mengubah kondisi kehidupan dari tidak sejahtera menjadi lebih sejahtera, dari tidak mempunyai akses terhadap sumber hidup menjadi memiliki akses terhadap sumber kehidupan, dari tanpa kesadaran kritis menjadi bersikap kritis, dari lemah karena tidak bersatu menjadi kuat karena persatuan, dan dari hidup yang terombang-ambing menjadi hidup yang mampu mengontrol pengaruh-pengaruh dari luar. Dengan kata lain, komunitas ini transformatif, karena mengubah kehidupan bersama menjadi lebih manusiawi, adil dan merdeka.
29.      Dalam kehidupan umat kita terdapat penekanan yang berbeda-beda pada dimensi-dimensi kehidupan komunitas basis. Variasi penitikberatan dimensi ini menimbulkan pemahaman mengenai komunitas basis yang berbeda-beda menurut waktu dan tempat. Kami berharap, bahwa hal itu tidak menjadi halangan untuk mengembangkan pemberdayaan komunitas basis, melainkan sebaliknya dapat saling belajar dan mengajar demi pelaksanaan yang lebih menjawab tantangan kontekstual. Setiap komunitas dapat melihat kekuatan dan kelemahan sendiri, peluang dan ancaman dari luar yang dihadapi, supaya melalui evaluasi semacam itu gerakan yang tepat dapat bergulir secara berkesinambungan.
30.      Agar komunitas basis bisa bertumbuh dan berkembang menjadi komunitas yang transformatif, pemberdayaan umat harus berlangsung terus menerus, terutama melalui proses pendidikan dan pembinaan bagi umat. Dalam proses itu perhatian khusus hendaknya diberikan kepada pendidikan nilai pada umumnya dan pendidikan hati nurani dan pembentukan watak pada khususnya. Kami berharap, bahwa pendidikan di manapun mengusahakan pembinaan hati nurani (GS 16) dan keutamaan kesetiakawanan sosial ini.
31.      Keutamaan-keutamaan sosial seperti yang kuat melindungi yang lemah, memperhatikan hal yang baik bagi orang lain, dan rasa bertanggungjawab bersama demi kesejahteraan umum, harus pula ditumbuhkan dalam dan melalui proses pendidikan. Dengan demikian budaya cinta (civilization of love) secara sungguh-sungguh semakin meluas, dan generasi mendatang semakin dapat menikmati kehidupan bersama yang lebih sejahtera dan lebih demokratis. Karya pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan formal kita, pendidikan para calon imam dan biarawan-biarawati, dan kaderisasi pemimpin-pemimpin umat, kami harapkan juga direformasikan seirama dengan orientasi pemberdayaan komunitas basis ini.
32.      Tidak lupa kami berharap, bahwa sumber-sumber dana yang kita miliki, misalnya dana yang terkumpul melalui Aksi Puasa Pembangunan Nasional (APP) dipergunakan juga dengan prioritas pemberdayaan komunitas basis. Dana APP dikumpulkan untuk mendukung gerakan pemberdayaan umat, bukan untuk dijadikan modal lembaga. Maka kamipun merefleksikan secara khusus dan kritis tentang hidup kebergamaan kita pada umumnya.
4. Hidup Keberagamaan Kita
33.      Kita perlu bertanya, mengapa hidup keberagamaan kita kurang menggerakkan transformasi sosial, perubahan kehidupan bersama menjadi lebih manusiawi, adil dan merdeka. Kita perlu menyadari kembali visi kita mengenai Gereja dan pekerjaan pastoral yang kita jalankan. Kita memahami Gereja sebagai communio, yang terbuka bagi semua manusia dan melampaui batas-batas jemaat kristiani sendiri. Gereja sebagai communio mendapatkan perwujutannya dalam komunitas basis. Gereja kita semakin bertumbuh dan berkembang sebagai Gereja, kalau bersetiakawan dengan kaum miskin tak berdaya, tanda kehadiran Kristus sekarang ini. Pekerjaan pastoral kita sungguh melayani umat, kalau petugas-petugas pastoral menemani dan mendorong umat untuk mewujudkan hidup menggereja seperti itu.
34.      Visi semacam itu akan memprioritaskan tindakan mencintai sesama secara nyata sebagai indikator untuk mengukur kemajuan hidup sebagai Gereja yang terbuka terhadap karya Roh Allah yang menghidupkan. Barang kali hingga kini kita mempunyai hanya satu indikator untuk mengukur kemajuan hidup Gereja kita, yakni banyak dan meluasnya kegiatan-kegiatan kultis dan kesalehan. Di sini terdapat kesalahan dan kepincangan dalam pemahaman tentang liturgi. Mungkin juga praktek kesalehan dan devosi kita kurang digerakkan oleh iman yang hidup dan menggerakkan hidup yang beriman. Sebaliknya, ia lebih tinggal sebatas praktek ritual.
35.      Spiritualitas hidup beriman kita sekurang-kurangnya mengandung lima aspek, yak ni kerigma, liturgia, koinonia, diakonia dan martiria, yang dihidupi dalam tiga dimensi, yakni doa pribadi, doa komunal, terutama liturgi dan tindakan nyata mencintai Allah dan sesama. Kalau kita melihat nilai dasar yang kita pilih, yakni bersama para korban yang men derita, yang menjadi tanda kehadiran atau wakil-wakil Kristus di dunia sekarang ini, maka tindakan mencintai Allah dan sesama selayaknya menjadi pusat perhatian kita.
Doa pribadi, pengalaman kontemplatif merupakan pendalaman personal atau internalisasi dari cinta itu; sementara doa komunal atau liturgi merupakan sosialisasi atau pendalaman komunal-gerejani dari cinta itu. Kesetiakawanan sosial menjadi keutamaan yang harus terus-menerus kita kembangkan.
36.      Pemahaman kita tentang gereja sebagai komunitas basis menempatkan Kitab Suci di pusat kehidupannya. Untuk itu kita juga perlu meninjau kembali cara kita membaca Kitab Suci yang selalu terja di dalam liturgi. Kitab Suci kita perlakukan secara tepat sebagai Firman Allah, ka lau ia menghantar umat ke Firman Allah yang telah menjadi manusia, yakni Yesus. Dengan kata lain Kitab Suci menjadi sarana untuk mengikuti Yesus. Dengan demikian, kita kembali lagi ke panggilan pada kehadiran Kristus di dunia sekarang ini, yang antara lain berada dalam diri para korban. Membaca Kitab Suci demikian memungkinkan kita menemukan Kristus dalam diri para korban dan melihat dunia dari titik pandang mereka.
37.      Per lakuan terhadap Kitab Suci yang tidak seperti itu merupakan manipulasi untuk melayani kepentingan para pembacanya dan untuk memenuhi praktek kesalehan yang ritual semata. Membaca Kitab Suci sebagai Firman Tuhan berarti antara lain membiarkan diri disapa, ditantang dan dirobah olehnya. Ia juga menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup kita. Ia mendorong kita untuk mengolah, mentransformasikan konflik dan selanjutnya mengusahakan rekonsiliasi.
5. Belajar Mengolah dan Mentransformasikan Konflik Serta Mengusahakan Rekonsiliasi
38.      Selama ini warga masyarakat yang berbeda suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) tidak pernah mendapat kesempatan untuk sungguh-sungguh mengolah konflik,karena konflik diselesaikan dengan tekanan dari atas. Cara tunggal penyelesaian konflik adalahkekerasan, baik ilegal maupun legal.
SARA yang seharusnya dapat menjadi perbedaan yang saling memperkaya telah dijadikan bahan untuk mengadu domba, menjadi komoditas politik kekuasaan.
Maka bagi kita hingga dewasa ini konflik hanya bernilai destruktif. Konflik adalah kutuk.
39.      Sekarang ini selayaknya kita lebih belajar mengolah dan mentransformasikan konflik sebagai seni untuk mencari dan menemukan kebenaran, sebagai sarana produktif untuk kemajuan bersama, terutama untuk mencapai perubahan dan perbaikan sistem dan struktur ke arah yang semakin adil. Suatu masyarakat baru yang dicita-citakan dan diperjuangkan hendaknya memberikan tempat secara sadar kepada konflik dan mengarahkan penyelesaiannya ke dalam kebudayaan baru, yaitu kebudayaan cintakasih, kebudayaan rekonsiliasi. Masyarakat kita yang majemuk dengan sendirinya merupakan lahan subur dan medan empuk bagi konflik. Mengingkari konflik berarti mengingkari kemajemukan ini. Strategi menekan konflik adalah strategi yang mau menyeragamkan masyarakat lewat ideologi kesatuan dan persatuan. Konflik sendiri bukanlah suatu masalah. Yang menjadi masalah adalah cara penanggulangan dan pengolahan konflik.
40.      Kami berharap konflik sekitar syariat Islam, etnik, ketidakadilan sosial dan kepentingan politik kekuasaan menjadi kesempatan semacam itu. Konflik tidak usah dihindari, melainkan diolah bersama. Masyarakat kita hendaknya tidak takut terhadap konflik dan menekan konflik. Dalam upaya memberikan tempat yang wajar bagi konflik dan penyelesaiannya dalam kebudayaan, kita perlu mengolah dan mentransformasikan kebudayaan, yang sedang kita anut dan hidupi sekarang, dan meninggalkan secara sadar meskipun perlahan pola sikap patriarkal dan feodal.
41.      Kita belajar menghidupi pola laku baru, tata etiket baru, yang menjadi acuan model gereja komunitas basis, yakni pola laku kaum miskin, yang menjadikan kesetaraan, kesejajaran dan kesetiakawanan sebagai pola dan etika pergaulan mereka. Tata krama pergaulan dalam semangat kemitraan dan persaudaraan sejati hendaklah dikembangkan dan dihidupi secara sadar. Untuk itu kita mesti meninjau kembali dengan kritis pola-pola pergaulan antar kita selama ini, yang sering ditandai oleh batas-batas dan sekat-sekat kekayaan, kedudukan dan kepentingan.
42.      Kita memajukan cara-cara penyelesaian konflik yang beradab. Komunitas basis, lewat pelbagai macam kegiatannya, menjadi tempat dan kekuatan pertumbuhan etika baru, yang berkenaan dengan konflik dan rekonsiliasi. Yang perlu kita hindari ada lah tindakan kekerasan dalam pelbagai bentuknya, seperti peperangan, intimidasi, teror, pembunuhan, bom, penculikan, penghilangan, penodongan, tawuran, penghinaan, pengusiran, penggusuran, pembakaran, pengrusakan, razia KTP dan orang asing, perampasan, pembredelan, penggrebekan, fitnahan, penghinaan, pengucilan, pemaksaan, pemerkosaan, pelecehan, diskriminasi, premanisme, rasisme atau kecongkakan suku dan kebudayaan.
43.      Diungkapkan dan diteguhkan melalui sakramen-sakramen, secara khusus lagi sakramen tobat, yang merupakan sakramen rekonsiliasi, warga kristen komunitas basis menampilkan diri sebagai kekuatan rekonsiliasi di tengah masyarakat negara yang tercabik-cabik oleh pelbagai pertentangan kepentingan. Memperbaiki citra Allah dalam hal ini berarti tidak melibatkan diri dalam tindakan-tindakan kekerasan terhadap siapa dan apapun, bersedia menyelesaikan konflik secara damai, berinisiatif untuk melakukan proses rekonsiliasi, bersedia berfungsi bagaikan penangkal petir untuk menarik dan meredam bahaya kekerasan di tengah masyarakat serta rela menanggung akibat ledakan konflik ke dalam kekerasan, jikalau hal itu demi menghantar masyarakat umumnya kepada kedamaian.
44.      Di sini nampak fungsi penebusan kita bagi masyarakat dan dunia, sebagaimana yang sudah dilakukan secara sempurna oleh Sang Guru lewat wafatNya di Salib dan yang diamanatkanNya kepada pengikut-pengikutNya: Tidak ada kasih yanglebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15: 13). Sakramen pembaptisan, penguatan, imamat dan kaul-kaul kebiaraan sesungguhnya menjadikan kita peserta dalam karya penebusan Allah di dalam Yesus Kristus, menjadikan kita pekerja dalam menciptakan rekonsiliasi. Kita menyalahi perutusan kristiani, jikalau kita hanya menjadi penonton di tengah pertikaian. Perasaan kasihan, sedih, terkejut, tidak puas, ya bahkan kemarahan yang secara alamiah timbul begitu saja dalam batin kita hendaknya dipahami sebagai dorongan awal bagi kita untuk mencari jalan-jalan rekonsiliasi dan ditanggapi sebagai panggilan dari Roh Kudus kepada kita untuk mengolah konflik dalam upaya mencapai kebenaran yang semakin sempurna, yang menyata dalam kerukunan, perdamaian dan persaudaran sejati.
45.      Untuk itu kita meninggalkan dan melepaskan gambaran mengenai Allah dan Yesus Kristus yang sempit dan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok sendiri, yang seolah-olah menganak maskan kita dan menganak tirikan yang lain. Allah adalah pencipta segala, kecuali dosa. Dalam mengupayakan dan mewujudkan rekonsiliasi kita memuliakan Allah dan memulihkan citraNya dalam manusia dan alam. Sebaliknya dalam perseteruan, permusuhan, kekerasan dan sikap congkak Allah terus menderita dalam PuteraNya dan citraNya. Mengolah dan mentransformasikan konflik serta mengusahakan rekonsiliasi adalah tanda syukur kita terhadap panggilan citra Allah dan merupakan perwujudan tanggungjawab citra Allah tersebut.
6. Mensyukuri Panggilan dan Mewujudkan Tanggungjawab Citra Allah
46.      Usaha-usaha positif yang sudah dijalankan perlu sosialisasi demi gerakan yang semakin meluas. Kiranya kesadaran akan makna citra Allah dapat membantu usaha itu, sekurang-kurangnya di kalangan umat kristiani.
Penafsiran yang salah kaprah dan berpusatkan pada diri sendiri mengenai gambaran manusia sebagai puncak dan mahkota karya cip taan Allah telah ikut andil dalam kerusakan alam yang sangat parah sekarang ini. Secara individual manusia adalah imago Dei. Maka ia mempunyai martabat luhur dan hak-hak asasi manusia. Hidup, yang tidak berpusat pada Allah yang hadir dalam seluruh alam semesta, melainkan yang berpusat pada manusia semata dan secara khusus laki-laki, bersama dengan kemajuan teknologi dan keserakahan manusia beserta jaringan- jaringan yang mendukungnya telah ikut mendorong manusia un tuk berlaku sewenang-wenang ter hadap alam dan menghan curkan lingkungan hidupnya sendiri.
47.      Pemahaman alternatif dapat kita timba dari gambaran Alkitabiah yang berada dalam paradigma holistik atau pola pikir dan sikap yang menyatu dengan yang lain. Ciri ma nusia sebagai citra Allah dalam Kej 1: 26 - 31 terletak pada panggilan dan perutusan bersama penuh tanggungjawab dalam tindakan Allah yang kreatif dan liberatif terhadap bumi dan seluruh isinya.
Dengan demikian makhluk non-human, seluruh lingkungan hidup langsung mendapat tempat dalam tanggungjawab manusia. Adam dan Hawa adalah pribadi kolektif. Di dalam model kepribadian ini kita semua di panggil untuk bersama Allah bertanggungjawab atas ciptaan dan masyarakat manusia.
48.      Manusia bermartabat luhur dan mempunyai hak-hak asasi bukan saja oleh karena pemahaman diri manusia itu sebagai citra Allah, melainkan martabat dan hak tersebut terikat pada panggilan dan perutusan. Model holistik Alkitabiah mengemukakan jalan pikiran, bahwa manusia adalah citra Allah, karena ia mempunyai tanggungjawab bersama untuk ikut serta Allah dalam meme lihara seluruh ciptaan. Di situlah letak keluhuran mar tabat manusia.
Perjanjian atau tanggungjawab bersama dalam kitab Kejadian tidak memunculkan hak, melainkan kewajiban menjadi penjaga adik yang le mah, saudara-saudari yang tidak berdaya (Kej 4: 9). Kewajiban ini didasarkan pada perjanjian dan berakar dalam cinta, yang menjadi dasar percakapan mengenai hak. Sebagai citra Allah manusia ikut serta menanggung pemeliharaan kreatif terhadap alam semesta dan lingkungan hidup kita. Pemahaman manusia citra Allah memiliki dua dimensi, yakni dimensi pembentukan jati diri setiap manusia dan dimensi panggilan dan perutusan sosial manusia.
49.      Di mana tempat hak individu? Hak individu merupakan seruan: Dalam keseluruhan alam semesta ini saya mempunyai tempat untuk hidup serta berkembang, dan saya hendak berpartisipasi sebagai wujud tanggungjawab saya. Jangan merampas tempat dan partisipasi saya. Dalam paradigma holistik, percakapan mengenaikewajiban terutama menunjuk pada tanggungjawab yang kuat terhadap yang lemah dan tak berdaya. Sedangkan kewa jiban yang lemah dan tidak berdaya adalah memberdayakan diri dan menuntut partisipasi.
Partisipasi merupakan keutamaan pokok dalam paradigma holistik. Tema sidang para Waligereja tahun ini merupakan tema Alkitabiah yang berada dalam paradigma holistik.
50.      Bagi orang beriman kristiani partisipasi dalam keseluruhan me nyangkut transformasi hidup beriman sendiri, yakni perobahan ke arah semakin serupa dengan Kristus, yang adalah gambar Allah yang tak kelihatan (Kol 1: 15).
Semakin bersatu dan semakin se rupa dengan Kristus berarti juga semakin masuk dalam kepeduli anNya, yakni Kerajaan Allah. Yesus memperjuangkan Kerajaan Allah, di mana Allah yang penuh belaskasih meraja dalam manusia dan dunia, di mana kuasa dan tindakan Allah menyelamatkan manusia sehingga manusia menjadi utuh manusiawi. Yesus melindungi manusia dari semua yang membuat manusia kurang manu siawi atau bahkan tidak manusiawi. Itulah yang dirumus kan dengan hak-hak asasi, hak-hak mendasar; kalau hak itu dirampas, manusia tidak manusiawi lagi.
51.      Perjuangan hak-hak asasi manusia sebagaimana selayaknya kita prioritaskan adalah sesuai dengan rencana dan kehendak Allah yang mau menyelamatkan semua orang. Cara Allah bertindak menyelamat kan adalah dengan men dahulukan yang paling menderita, yakni kaum miskin dan tertindas. Maka dari itu dari sisi manapun didekati pilihan untuk mendahulukan dan bersama dengan kaum miskin terus-menerus merupakan acuan perjuangan hak-hak asasi manusia.
7. Bersama-sama Kaum Muslimin Indonesia Berziarah di Jalan Menuju Tuhan
52.      Dalam pertemuan tahunan ini kami, para Waligereja Katolik Indonesia, menanggapi rasa hati dan mendengarkan suara umat Katolik yang bertanya mengenai sikap Gereja Katolik sehubungan dengan maraknya wacana Syariat Islam melalui media menjelang sidang Tahunan MPR 2001. Masalah ini belum juga diselesaikan secara tuntas. Dengan demikian masih akan muncul lagi di masa mendatang. Kami menyadari, bahwa kami perlu memahami permasalahan mengenai Syarikat Islam ini secara mendalam. Setelah mempelajari bahan-bahan tertulis, kami mengundang saudara yang beragama Islam untuk memberi penjelasan mengenai Syariat Islam dari perspektif Islam sendiri.
7. 1. Jalan Menuju Tuhan
53.      Akidah, Syariat, dan Akhlak merupakan inti keislaman. Syariat Islam bagi kaum Muslimin pada dasarnya adalah Jalan Menuju Tuhan. Syariat Islam ini secara komprehensif mengatur perilaku dan kehidupan kaum Muslimin dalam kedudukannya sebagai abdi Allah. Kami bisa memahami dan menghargai usaha kaum Muslimin Indonesia untuk hidup konsekuen di Jalan Menuju Tuhan ini, sebagaimana kaum Kristiani berusaha hidup konsekuen untuk mengikuti Yesus yang diimani sebagai Jalan, Kebenaran dan Kehidupan. St. Paulus juga mengajak kaum kristiani ketika dia menulis: Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik (Rm 12: 9).
7. 2. Penghargaan Gereja Katolik Atas Akidah, Syariah, dan Akhlak Islami
54.      Penghargaan Gereja Katolik atas usaha kaum Muslimin ini secara jelas digariskan oleh Konsili Vatikan II (NA no. 2), yang menjadi panduan umat katolik. Pertama, Gereja Katolik menghargai butir-butir Iman Islam: Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah yang satu-satunya, yang hidup dan berdaulat penuh belaskasihan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada manusia. Kaum Muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham iman Islam dengan suka rela mengacu kepadanya telah menyerahkan diri kepada Allah.
55.      Dalam hal iman memang diakui, bahwa ada perbedaan dasariah mengenai siapa dan peran Yesus, namun kepercayaan pada nabi-mabi merupakan bagian dari iman Islami juga: Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, akan tetapi menghormatinya sebagai nabi. Gereja Katolik amat menghargai penghormatan Kaum Muslimin kepada Bunda Maria: Mereka juga menghormati Bundanya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya.”
56.      Masih dalam hal iman, Gereja Katolik juga mengimani adanya Hari Pengadilan Terakhir: Selain itu mereka mendambakan hari Pengadilan, bila Allah mengganjar semua orang yang telah bangkit." Kemudian dalam satu kalimat yang padat, Gereja Katolik menyentuh peran Akhlak Islami, dan butir-butir Syariat Islam yang patut dihargai. Mereka juga menjunjung tinggi kehidupan akhlak dan beribadat kepada Allah terutama dalam sembahyang, dengan memberi sedekah, dan berpuasa.
57.       Diakui bahwa ada bagian-bagian yang suram dalam sejarah hubungan antara kaum Kristiani dengan Muslimin. Dalam hal ini Gereja Katolik mengajak untuk melihat ke depan, dan bekerjasama dalam mengembangkan masyarakat yang adil dengan penghargaan atas hak- hak asasi manusia, khususnya perhatian kepada korban, kaum miskin dan tertindas. Memang benar di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili Suci ini mendorong mereka semua supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.
7. 3. Pemberlakuan Suatu Hukum Agama Bagi Seluruh Warganegara
58.      Kendatipun kami memegang teguh, bahwa jalan yang diberikan Allah kepada manusia itu harus kita ikuti, namun kewajiban ini tidak pernah boleh dipaksakan oleh otoritas manapun. Karena agama dan penghayatannya harus selalu berlindung di wilayah kebebasan manusia. Oleh sebab itu penyerahan pelaksanaan agama kepada kekuasaan negara akan semakin besar membuka peluang untuk kezaliman, kekerasan, dan ketidakadilan oleh negara dan aparat-aparatnya, apalagi jika tindakan- tindakan di atas mendapat legimitasi oleh agama.
59.      Dalam konteks Indonesia kita perlu mengingat, bahwa Negara ini bukan Negara Agama Islam. Penduduk negara ini menganut banyak agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan juga mereka, yang dari hati nuraninya sendiri memilih untuk tidak mengikuti salah satu lembaga keagamaan apapun.
Pemberlakuan Syariat Islam dengan argumen, bahwa hanya berlaku untuk kaum Muslimin saja kiranya tidak bisa dipertahankan, karena kaum Muslimin hidup bersama dengan kaum beragama lain, dengan demikian pastilah ada wilayah- wilayah kehidupan kaum Muslimin yang bersinggungan dengan warganegara yang beragama lain.
60.      Namun dalam perjumpaan dan kehidupan bersama kaum beragama bisa menemukan nilai-nilai yang menyatukan dan dimiliki bersama. Nilai-nilai universal yang bersumberpada tradisi keagamaan inilah yang perlu diperjuangkan bersama, melalui jalur-jalur demokratis agar dituangkan dalam perundang-undangan yang berlaku untuk semua warganegara.
61.      Oleh karena itu, kami mendukung usaha-usaha terpuji dalam arah di atas. Kami menganjurkan, agar umat Katolik mempelajari dan memahami masalah Syariat Islam ini secara mendalam, agar setelah mengerti permasalahannya kita bisa bersama kaum beragama yang lain menemukan nilai-nilai, yang mampu mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan dan memulihkan citra Allah yang telah dirusak.
7. 4. Bagi Kita
62.      Bagi kita orang Indonesia, kita melaksanakan itu dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tahun 1945 adalah negara Pancasila, bukan negara Islam atau negara agama.
Negara Republik Indonesia secara hakiki dinyatakan dalam Mukadimah UUD 45. Maka setiap perubahan Mukadimah tersebut merupakan perubahan dari hakekat Negara Republik Indonesia.
63.      Selama ini telah kita melihat, bahwa ada usaha-usaha, juga dengan cara kekerasan senjata untuk memaksakan berdirinya negara Islam, antara lain dengan mengusahakan masuknya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Mukadimah UUD 45 dan memberlakukan syariat Islam ke dalam ayat-ayat serta peraturan-peraturan yang berlaku untuk umum.
64.      Usaha ini kita nilai sebagai sebuah usaha untuk mengubah hakekat Negara Republik Indonesia. Usaha ini kami pandang sebagai usaha untuk tidak menjamin kebebasan dan kelayakan hidup orang- orang yang menganut berbagai agama, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan juga mereka yang menghayati Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai jalan hidupnya.
65.      Sementara itu terhadap agama-agama umumnya, termasuk Hinduisme dan
Buddhisme kita memiliki pedoman sikap, sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II:
"Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini di antara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi ataupun Bapa.... Gereja katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan  Kristus, yakni jalan, kebenaran dan hidup “ (Yoh 14: 6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (2Kor 5: 18 - 19)" (NA no. 2).
66.      Maka dengan ini, kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut: Tetap berpegang teguh pada keputusan para Bapak Bangsa untuk mendirikan negara berdasarkan Pancasila, untuk berjuang sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya baik dalam bidang legislatif, eksekutif, yudikatif dan media massa.
Mengingatkan kepada siapa saja, yang mau memasukkan ajaran khusus agamanya secara formal menjadi ketentuan yang harus berlaku untuk umum, agar tidak melanjutkan usaha seperti itu, karena hal yang demikian itu berlawanan dengan hakekat negara kesatuan Republik Indonesia Tidak menyetujui siapa saja, termasuk bila ada dari kalangan katolik sendiri, yang berusaha memaksakan secara formal ketentuan partikular agamanya ke dalam ketentuan- ketentuan umum karena hal itu dapat dipandang sebagai usaha untuk membubarkan Negara Republik Indonesia.
Mendesak agar pemerintah berusaha dengan tegas dan tidak ragu-ragu untuk membela Negara Republik Indonesia dari usaha-usaha mengubah hakekatnya.
Mengajak umat katolik khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk berdoa dan berusaha melalui jalan tanpa kekerasan, agar Negara Republik Indonesia tetap berdiri dan umatnya sejahtera lahir batin.
P E N U T U P
67.      Berbagai analisis yang dikemukakan oleh para ahli dari berbagai bidang memperlihatkan masalah yang kompleks dan reformasi yang belum menunjukkan kemajuan dan belum berhasil sepenuhnya. Namun mereka juga mengemukakan usaha-usaha di pelbagai bidang yang dapat merupakan langkah untuk gerakan selanjutnya. Umat Katolik komunitas basis dapat saja bergerak dalam semua bidang kehidupan bernegara dan berbangsa. Pilihan nilai dasar kesetiakawanan dan keberpihakan kepada yang miskin, lemah dan menderita mempersatukan kita semua dalam kebersamaan dengan sesama warga masyarakat, yang mencita-citakan hal yang sama, namun acapkali berbeda dalam cara memperjuangkannya.
68.      Penghayatan hidup citra Allah akan mendukung dan mengusahakan politik dan ekonomi yang berwawasan penghargaan terhadap martabat manusia, berorientasi kerakyatan dan bertumpu pada partisipasi nyata dari rakyat.
Penghayatan citra Allah juga mendorong perkembangan budaya kesetiakawanan dan solidaritas sosial. Harapan dan cita-cita kita adalah bahwa orang-orang yang bergerak di bidang politik, ekonomi dan organisasi serta lembaga kemasyarakatan dapat menyatu dalam kepedulian yang sama, yakni kemajuan rakyat yang lestari berkesi nambung an, kendatipun mereka memiliki kepentingan dan cara kerja yang berbeda.
69.      Daya kekuatan Allah yang menghidupkan hadir dan bertindak dalam manusia dan dunia sekarang ini. Gambaran kristiani mengenai Allah yang berfirman melalui Yesus Kristus dan hadir dalam Roh adalah Allah yang menghen daki keadilan dan belaskasih; Ia yang ha dir dan terus mencipta menghendaki agar manusia bertindak tanpa kekerasan. Ia adalah Allah kehidupan dan bukan Allah perusakan; Allah rekonsiliasi, yang tak henti-hentinya mengulurkan tangan belaskasihNya untuk memperdamaikan manusia dengan DiriNya, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam ciptaan. Ia bukan Allah kekerasan. Marilah kita tanggap dan ikut serta.

Jakarta 15 November 2001


Tidak ada komentar:

Posting Komentar