PESAN SIDANG KWI 2008
PERIHAL PENGHENTIAN PRAKTIK-PRAKTIK
PERDAGANGAN MANUSIA
Manusia
Citra Allah
Sidang KWI, yang berlangsung pada tanggal 03-13 November 2008 diliputi
suasana keprihatinan terhadap upaya-upaya yang menjadikan manusia sebagai
komoditi perdagangan. Keprihatinan
tersebut mencerminkan kepedulian dan kesadaran
para peserta sidang akan martabat manusia sebagai Citra Allah yang sedang direndahkan.
Peserta sidang melihat dalam diri
manusia, dalam setiap pribadi, citra yang hidup dari Allah sendiri. Karena manusia diciptakan menurut gambar
Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: manusia bukan hanya sesuatu
melainkan seorang. Ia mampu mengenali diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya,
mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.
Dalam tataran kehidupan bersama, suatu
masyarakat akan adil dan sejahtera, apabila
didasarkan pada penghormatan
terhadap martabat manusia. Hanya
pengakuan atas martabat manusia yang
dapat memungkinkan pertumbuhan bersama dan pribadi dari setiap orang. Oleh karena itu, setiap pribadi tidak dapat
dijadikan sebagai alat dan sarana
untuk mencapai tujuan-tujuan yang
diinginkan, baik ekonomi, sosial dan
politik.
Manusia
sebagai Sampah
Dewasa ini umat manusia berada dalam
periode perubahan yang amat mendalam. Pola masyarakat industri lambat laun
makin menyebar, mengubah pengertian-pengertian dan kondisi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, banyak orang dengan pelbagai alasan berpindah tempat untuk
mencari penghidupan yang lebih layak sesuai dengan tuntutan jaman yang sedang
berkembang.
Demi alasan peningkatan kesejahteraan
hidup, orang meninggalkan desa menuju
kota, atau banyak diantara mereka yang memutuskan untuk bekerja di luar negeri
menjadi TKI dan TKW. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak untuk
bermigrasi tetapi bila tanpa bekal
kesehatan, pengetahuan, ketrampilan
dan dasar kerohanian yang kuat akan memunculkan banyak kesulitan. Terjerumus
dalam perdagangan manusia adalah masalah yang sering dihadapi oleh para migran.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
Protokol Palermo menggambarkan perdagangan manusia sebagai perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman
atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan,
penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau
memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk
tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eskploitasi untuk
melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja
atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan,
perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Perbudakan modern merupakan ancaman
serius bagi kehidupan umat manusia. Banyak individu hidup dalam penderitaan
karena hak-hak asasi mereka dilanggar dan direndahkan. Para korban
yang kebanyakan wanita dan anak-anak kehilangan kesempatan untuk
mengembangkan dimensi personal, sosial dan spiritual mereka secara utuh. Nilai-nilai luhur kemartabatan manusia dicampakkan, dipandang
dan diperlakukan seperti seonggok sampah
yang tidak bernilai.
Eskalasi perdagangan manusia dari waktu
ke waktu semakin mengkawatirkan. Hal ini disebabkan kemiskinan yang masih terjadi
dimana-mana, unsur-unsur kriminal,
pemerintahan yang korup, kekacauan sosial, ketidakstabilan politik, bencana
alam, konflik bersenjata dan keinginan
pasar global untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah. Akibatnya semakin
banyak anak-anak bangsa ini yang akan
menanggung penderitaan baik fisik dan
psikologis serta meninggalkan pengaruh
permanen yang dapat mengasingkan hidup mereka dari keluarga dan masyarakat.
Pemulihan
Martabat Manusia
Peserta sidang menyadari bahwa Gereja
sebagai tanda kehadiran Allah yang sedang berziarah di tengah dunia, hadir dan
bergumul dalam persoalan-persoalan kemanusiaan. Melalui ajaran sosialnya Gereja
Katolik ingin mengajak seluruh umat
beriman untuk peka dan peduli pada nasib sesama terutama mereka yang miskin,
menderita, terasing dan terbuang.
Bergerak
bersama
Akhirnya, semua pihak hendaknya dengan
didasari rasa cinta yang dalam terhadap anugerah kehidupan dan penghargaan yang tinggi terhadap keagungan martabat
manusia melakukan tindakan
pencegahan dan melindungi serta membantu
para korban perdagangan manusia
mengalami pemulihan diri yang
penuh.
PARTISIPASI KITA DALAM MEMULIHKAN
MARTABAT MANUSIA DAN ALAM SEMESTA
Pesan
Sidang Para Waligereja Indonesia 2001
P
e n g a n t a r
1.
Pada
tanggal 5 - 14 November
2001, kami, para Waligereja Indonesia berkumpul dan bercakap-cakap bersama
mengenai Gereja, masyarakat dan bangsa serta negara kita Indonesia. Dokumen ini
memuat hasil percakapan itu berupa keprihatinan dan harapan yang dialamatkan,
baik kepada segenap umat Katolik maupun kepada saudara-saudari segenap umat
beriman dan segenap warga masyarakat yang dicipta dan dipelihara oleh Allah
yang sama. Roh Allah yang melayang-layang di atas ciptaan, yang hadir dan
bekerja dalam hidup Yesus, adalah Roh Allah yang hadir dalam manusia dan dunia
sekarang ini.
2.
Kami,
para Waligereja merasa terpanggil untuk ikut bersama dengan semua orang yang
berkehendak baik untuk menanggapi keprihatinan sosial masyarakat, bangsa dan
negara. Tidak jemu-jemu kami berusaha menghayati panggilan dan tugas perutusan
sebagai murid- murid Yesus yang mendengarkan Injil. Kami mengajak seluruh umat
Katolik dan semua umat beriman, segenap masyarakat yang mempunyai kepedulian
untuk menyadari kenyataan hidup kita secara lebih mendalam dan menggulirkan
gerakan yang dapat memperbaiki keadaan.
3.
Percakapan
tersebut kami rangkaikan dalam pokok-pokok tentang kenyataan hidup masyarakat,
bangsa dan negara kita, secercah harapan di tengah keprihatinan, pemberdayaan
komunitas basis yang transformatif, hidup keberagamaan kita, belajar mengolah
dan mentransformasikan konflik serta mengusahakan rekonsiliasi, mensyukuri
panggilan dan mewujudkan tanggungjawab citra Allah, bersama-sama kaum Muslimin
Indonesia berziarah di Jalan Menuju Tuhan.
1.
Keprihatinan Masyarakat, Bangsa dan Negara Kita
4.
Kami
menyadari betapa memprihatinkan kenyataan hidup masyarakat kita sekarang ini.
Kalau kami membagikan pengalaman dan pemahaman kami di sini, kami tidak
bermaksud untuk menambah rasa pesimis dan putus asa yang sekarang ini sudah
meluas, melainkan untuk memelihara kepedulian serta harapan kita, dan untuk
terus meningkatkan keterlibatan kita dalam masyarakat bersama dengan siapapun
yang peduli terhadap saudara-saudari kita yang menderita. Kami mengungkapkan
kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan, karena kami memang mempunyai pilihan
nilai dasar untuk setiakawan terhadap saudara- saudari kita, yaitu mereka yang
menderita, yang bagi kami adalah salah satu tanda kehadiran Kristus sekarang
ini (Mat 25: 31 - 46).
5.
Allah
kita adalah Allah yang menghidupkan, dan yang senantiasa menyertai dan
meneguhkan setiap orang. Allah berkehendak untuk menyelamatkan semua orang.
Namun dalam karya penyelamatan- Nya Ia mendahulukan mereka yang paling
menderita. Itulah yang kita lihat pada hidup dan pekerjaan yang dilakukan oleh
Yesus, Sang Guru dan Teladan kita (Luk 9: 10; Mat 9: 12).
Pada waktu ditanyai oleh dua orang
murid utusan Yohanes Pembaptis, Yesus menjawab: “Pergilah, dan katakanlah kepada
Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh
berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati
dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7: 22).
6.
Banyak
usaha partisipasi yang sudah dijalankan dalam berbagai bidang, baik secara
karitatif dan sosial, maupun melalui pemberdayaan komunitas basis dalam
kerjasama dengan umat beragama lain dan dengan berbagai macam kelompok dan
lembaga dalam masyarakat. Tentu kita perlu senantiasa mensyukuri tindakan atau
gerakan umat kita bersama dengan siapapun yang ikut serta dalam upaya- upaya
mengakhiri penderitaan atau sekurang-kurangnya menguranginya. Tindakan dan
gerakan umat yang positif itu diukur dan digerakkan oleh pilihan nilai dasar
yang sama, yakni meringankan beban hidup mereka yang menderita. Memang ada
penderitaan yang berjangka waktu lama, bahkan rasanyatak mungkin dihilangkan.
Bagi mereka ini setidak- tidaknya kita berusaha untuk menjadi teman yang setia
dalam penderitaan.
7.
Pengalaman
penderitaan dan kondisi yang memprihatinkan bisa ditemukan di seluruh wilayah
negara kita. Persoalan-persoalan di setiap daerah itu terlahir antara lain oleh
karena kita belum memahami dengan baik tentang konflik dan rekonsiliasi. Sikap
mental-kultural kita yang sangat patriarkal dan feodal menghambat kita untuk
menghayati arti dan makna terdalam dari konflik dan rekonsiliasi.
8.
Oleh
karena kita tidak terbiasa untuk mengolah konflik dan mentransformasikannya,
maka perbedaan-perbedaan dan keanekaragaman, yang menjadi jati diri dan
kekayaan bangsa dan negara kita, tidak menjadi suatu kebanggaan kita, melainkan
justeru menghantar kita kepada saling curiga dan ketakutan. Kecurigaan dan
ketakutan melumpuhkan komunikasi yang sehat, membentuk sikap defensif,
menaburkan jiwa agresif dan menyulut semangat kekerasan.
9.
Sementara
itu keutamaan rekonsiliasi masih belum dihayati dengan sungguh-sungguh.
Acapkali kita menolak dan tidak mau memulai mengambil langkah-langkah ke arah
rekonsiliasi. Kita tidak bersedia berdamai, mengakui kesalahan, memohon dan
memberikan maaf. Di dalam masyarakat dan kebiasaan kita terdapat pula
rekonsiliasi dan kerukunan semu, di mana rekonsiliasi seakan dipaksakan kepada
manusia lain, secara khusus kepada korban dengan maksud agar segera melupakan
kesalahan pelaku, di mana kerukunan seolah mau diperjuangkan tanpa
memperhatikan keadilan dan kebenaran. Dengan cara ini para pelaku tindakan
amoral, kriminal, asosial dan penyebab suatu penderitaan dan kesulitan
menghindar dari tanggungjawabnya atas kesalahan itu. Rekonsiliasi dan kerukunan
semu ini sangat rentan bagi timbulnya kekerasan-kekerasan baru.
10.
Ada
kecenderungan yang luas di masyarakat kita, di mana kekerasan seolah-olah telah
menjadi jalan lumrah satu-satunya bagi penyelesaian perbedaan pendapat dan
kepentingan. Di sini kami menyadari akan keterbatasan kemampuan pikiran,
kekebalan hati nurani dan kerendahan watak pada sebagian manusia bangsa kita
dalam menghadapi konflik.
11.
Setiap
daerah kita mempunyai pengalaman unik dan masalah tersendiri. Meskipun demikian
kami mempunyai kepedulian yang sama, yakni untuk berpartisipasi dan ikut serta
memperbaiki kehidupanmanusia sebagai citra Allah yang dirusak di tengah-tengah
kehidupan kita. Beberapa hal dapatdisebutkan sebagai kondisi umum yang
memprihatinkan. Fakta kemiskinan yang diakibatkanolehsistem dan struktur sosial
yang tidak adil; para petani, kaum buruh, nelayan, kaum perempuan, Tenaga Kerja
Wanita, dan anak-anak menjadi korban ketidakadilan itu. Penderitaan sebagian
sesama warga negara di tempat-tempat pengungsian akibat konflik-konflik serta dampaknya
yangberkepanjangan di Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Tengah, Aceh, Tanah Papua dan NTT merupakan wajah buram lain yang sungguh
memprihatinkan.
Kekerasan-kekerasan dalam segala
bentuk terjadi hampir pada segala lapisan masyarakat. Kekerasankarena aparat
keamanan melawan masyarakat sipil dan kekerasan akibat pertikaian antar suku
dan antara kelompok orang-orang yang mengatas-namakan agama- agama belum juga
kunjung berakhir. Pada tingkat yang lebih rendah kita menyaksikan pula
kekerasan-kekerasan karena pertikaian antarkampung
dan antar kelompok dalam masyarakat. Tak boleh dilupakan kekerasan-kekerasanyangterjadi
dalam lingkungan keluarga yang mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan
masyarakat dan hilangnya kondisi perkembangan pribadi secara sehat.
Di mana-mana kita masih menyaksikan
dengan rasa prihatin penginjak-injakan hak asasi manusia,ketidakpastian hukum,
korupsi, suap, nepotisme, ketidakadilan terhadap kaum perempuan, yangditekan,
didiskriminasikan, dilecehkan, dipaksa dalam dunia pekerjaan dan keluarga, dan
ketidakadilan gender secara menyeluruh. Masalah-masalah sosial-budaya pun tak
kalah memprihatinkan. Banyakanak usia sekolah
terpaksa tidak mendapatkan kesempatan belajar. Mereka yang belajarpun hanya
mendapatkan kondisi umum pendidikan yang rendah dan tidak kompetitif. Semangat
sukuisme, benturan nilai-nilai, gaya hidup tanpa moralitas, masalah pekerjaan,
bentuk-bentuk perjudian, serta meluasnya pengedaran dan penggunaan narkotika
dan minuman-minuman keras, merupakan pula masalah yang sungguh memprihatinkan.
Lingkungan hidup kita mengalami
pengrusakan besar-besaran. Hutan-hutan dibabat dan dibakar, air sungai dan
danau dibuangi sampah, laut diracuni merkuri, penggalian tambang semakin liar,
dan pembuangan limbah dan sampah kian tak terkontrol. Namun situasi sulit ini
justeru mendorong kami untuk semakin giat dan tekun menemukan tanda-tanda
harapan yang tidak kurang jumlahnya di tengah masyarakat kita, dan secara tulus
mengakuinya.
2.
Secercah Harapan Di Tengah Keprihatinan
12.
Dalam
usaha untuk memahami kenyataan hidup yang sedang kita alami bersama, kami
didampingi oleh para ahli ilmu-ilmu kemasyarakatan dan keagamaan. Mereka
membantu kami untuk melihat dan percaya, bahwa dalam kegelapan yang meliputi
berbagai bidang kehidupan, masih bersinar secercah cahaya yang berkedip. Apa
yang terungkap di sini sebagai pemahaman kami mengenai masyarakat bukanlah hal
yang tidak mungkin keliru. Namun kami harap pemahaman ini dapat menggulirkan
diskusi yang luas untuk pemahaman yang lebih mendalam lagi dan untuk mencari
jalan bagi gerakan perbaikan kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya rakyat
kecil dan miskin, lemah dan tidak berdaya.
13.
Dari
berbagai masukan dan diskusi kami menemukan, bahwa masalah kemiskinan fisik
berkaitan dengan permasalahan ekonomi dan keuangan Indonesia yang berakar pada
beban hutang luar negeri, budaya korupsi dan dampaknya terhadap produktivitas
nasional, kesenjangan pendapatan karena kepemilikan modal hanya ada pada
sebagian kecil masyarakat, dan kesenjangan pembangunan antara daerah- daerah di
Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia, sistem perekonomian terpusat, dan
ancaman persaingan global yang berdampak pada marginalisasi rakyat kecil dan
lemah. Sebagai upaya mengatasi kondisi yang buruk itu, ekonomi kerakyatan
sebagai alternatif telah digulir, meskipun belum optimal karena masih sangat
banyak membutuhkan pemikiran.
Strategi bertahap dan aksi
keberpihakan telah menjadi suatu gerakan yang lebih luas. Begitu pula kita
alami banyaknya usaha-usaha kecil-kecilan di antara rakyat, industri rumah
tangga, credit union, dan pembaharuan sistem pertanian. Semua itu dapat menjadi
modal partisipasi rakyat dalam kehidupan ekonomi secara lebih luas dan nyata.
14.
Erat
berhubungan dengan keadaan ekonomi masyarakat kita adalah kenyataan politik dan
hukum, misalnya kaitan sumber daya alam dengan politik pembangunan. Ketika
pemerintah mulai membangun tatanan ekonomi dan politik pada awal tahun 1970-an,
kekuatan digantungkan hanya pada sumber daya alam, khususnya minyak dan gas
bumi, dan pada bantuan dan utang luar negeri. Fakta ini ternyata tidak saja
menjauhkan pemerintah dari rakyat, melainkan juga mengkondisikan strategi
industrialisasi dan pola hubungan negara dengan masyarakat, yang pada
gilirannya hanya menguntungkan segelintir elit dan penguasa. Inilah salah satu
sebabnya, mengapa demokrasi tak kunjung berkembang secara sehat dan mengapa
rakyat serta kepentingannya lebih sering terasing dari kebijakan-kebijakan
publik pemerintah. Inilah pula sebabnya mengapa tuntutan-tuntutan reformasi tak
terpenuhi. Tak mengherankan jika ada perasaan yang cukup meluas di masyarakat,
bahwa pemimpin-pemimpin dan para elit bangsa dan negara ini benar- benar
terasing dari masyarakat.
15.
Hambatan
reformasi itu juga datang dari sisa-sisa pemerintahan lama yang represif dan
berpola militeristis. Reformasi di kalangan militer memang telah mulai
diupayakan selama empat tahun terakhir ini, namun belum menampakkan hasil-hasil
seperti yang diharapkan. Kendati telah menganut paradigma baru, kepolisian
belum sepenuhnya mampu menjalankan peran sebagai penjaga keamanan, sehingga
kerap kali peranan itu masih harus dijalankan oleh tentara. Kita masih
memerlukan reformasi tata politik dan hukum secara menyeluruh, agar militer tak
lagi terlibat dalam politik dan ekonomi, dan agar diskriminasi antara sipil dan
militer dihilangkan secara wajar.
16.
Perlindungan
hukum secara optimal terhadap warga negara seringkali menuntut adanya perubahan
dan amandemen terhadap Undang-undang yang kita miliki. Bahkan kadang-kadang
kita sungguh-sungguh memerlukan Undang-undang yang baru sesuai tuntutan
perkembangan peradaban. Kita bersyukur, bahwa telah dibentuk dua institusi
hukum yang penting, yaitu Ombudsman sebagai lembaga independen pengontrol para
penegak hukum, dan Komisi Hukum Nasional sebagai lembaga pengkaji dan pengusul
rancangan rencana pembaharuan di bidang hukum. Namun budaya hukum yang adil dan
tidak dikotori korupsi, suap, kolusi dan nepotisme, masih memerlukan perubahan
budaya secara luas. Hal itu tidak mudah dan memerlukan waktu, sebab kondisi
umum masyarakat kita menyatakan adanya kekosongan hati nurani dan kekeringan
moralitas.
17.
Kuatnya
dominasi kekuasaan negara di hadapan rakyat merupakan hasil berlangsungnya
korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) selama ini. Kekuasaan menghasilkan KKN dan KKN
mengawetkan kekuasaan. Tak mengherankan jika kekerasan, korupsi, kolusi dan
nepotisme dianggap telah melembaga di Indonesia. Karena itu perubahan yang mau
mengedepankan peran rakyat akan menghadapi tantangan. Maka yang diperlukan
adalah perubahan mendasar pada sistem dan struktur kehidupan bernegara dan
berbangsa. Ini tentu merupakan suatu proses jangka panjang. Perubahan itu harus
berorientasi pada pembangunan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
18.
Perubahan
konstitusi dan upaya memajukan masyarakat kewargaan (civil society) dapat merupakan langkah ke arah
perubahan struktural itu.
Penyelenggaraan pemerintahan secara
demokratis, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, merupakan harapan yang
perlu diwujudkan dengan niat baik. Namun perlu dicatat, bahwa perubahan
struktur politik dan ekonomi pada umumnya harus terjadi baik di pusat maupun
daerah.
19.
Semakin
bertambahnya jaringan aksi, aliansi, kelompok solidaritas dan relawan,
organisasi/LSM lintas etnis, golongan dan agama, yang bergerak di bidang
pemberian bantuan hukum dan pemberdayaan kaum perempuan dan masyarakat kecil
umumnya, merupakan modal bagi gerakan yang lebih luas dalam masyarakat.
Keberadaan dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan semacam itu sangat didukung dan
terus didorong. Kepedulian terhadap kaum kecil dan hak- hak asasi telah
mengundang keterlibatan langsung banyak orang berkehendak baik, termasuk
orang-orang kristen, baik kaum awam maupun para kaum religius dan orang-orang
tertahbis. Selain memberikan bantuan dan pendampingan mereka juga menghimbau
dan menggugah lewat pelbagai cara institusi-institusi dan para penguasa negara
untuk bertindak sesuai dengan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepada
mereka.
20.
Kenyataan
psikologis masyarakat sekarang ini tidak terlepas dari pengalaman sejarah.
Terasa adanya krisis identitas bangsa yang mendalam sekarang ini. Karena itu,
sebagai warga satu bangsa dan negara, kita perlu memasuki dan menyelami
kesadaran sejarah bersama (memori kolektif bangsa) dan dari sana kita bergerak
mencari identitas dari dalam diri sendiri.
Sejarah hendaknya tidak menjadi hal
yang berlalu dan sekedar mengisi masa lampau bangsa kita, melainkan ia
hendaknya berfungsi bagi penemuan dan pembentukan jiwa, watak dan nurani bangsa
kita. Sejarah mesti berguna bagi manusia Indonesia masa kini.
21.
Suatu
bangsa yang beradab menjadikan sejarahnya guru yang baik. Kita mengingat
sejarah positif bangsa kita untuk melahirkan motivasi perjuangan masa kini.
Kita mengingat sejarah suram dan gelap bangsa ini, agar kita tidak mengulanginya
lagi di masa sekarang. Harus diakui, bahwa benang merah kekerasan yang tidak
pernah diselesaikan secara tuntas, telah meninggalkan pengalaman traumatis
berkepanjangan.
22.
Maka
diperlukan keberanian untuk mengakui dan menyadari wajah kita sekarang ini, dan
kemudian bertanya, apakah kita masih mau bersatu sebagai bangsa, apakah kita
masih memerlukan kehadiran orang-orang lain. Kita harus mulai dengan
keterbukaan satu kepada yang lain sebagai sesama manusia. Dalam keterbukaan itu
kita saling mengakui dan saling menawarkan kepedulian secara mendalam dan
tulus. Kita bisa saling memaafkan tanpa melupakan kesalahan. Kita mengingat
sejarah kita secara baru. Kita memaafkan, karena kita ingat akan kekerasan dan
pengalaman traumatis. Dalam konteks inilah kita menggandengkan moralitas dan
hukum, etika kepedulian dan etika keadilan. Jadi hukum dapat ditegakkan demi
keadilan, tanpa kebencian ataupun niat membalas dendam.
23.
Berkenaan
dengan pemahaman kita tentang gereja dan strategi pastoral kita sekarang ini,
maka kami melihat, bahwa semua sikap dan perbuatan-perbuatan terpuji di atas
dapat diemban oleh komunitas basis dan mendapatkan tempat perwujutannya di
sana. Oleh karena itu pemberdayaan komunitas basis yang transformatif menjadi
satu masukan dalam pertemuan ini dan pokok percakapan kami.
3.
Pemberdayaan Komunitas Basis Yang Transformatif
24.
Kita
berada dan hidup dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang terdiri
dari kelompok-kelompok orang yang berbeda-beda identitasnya, terutama dari segi
sosial-budaya dan dari segi agama. Dalam lingkungan Gereja sendiri, iman dalam
Kristus dan panggilan yang satu kita hayati dalam kelompok atau persekutuan
yang berbeda-beda bentuk dan semangatnya. Dan karena itu kita pahami Gereja
kita sebagai persekutuan dari komunitas-komunitas (communion of communities).
Kita adalah suatu persekutuan dalam iman akan rahmat baptisan yang satu dan
sama. Kita adalah persekutuan setiapkali kita membaca dan merenungkan Sabda
Allah serta merayakan sakramen- sakramen Gereja,khususnya sakramen Ekaristi
Kudus.
25.
Kita
adalah juga persekutuan yang melaksanakan iman kita setiap kali bersaksi dalam
iman dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang adil dan yang menawarkan
perdamaian, serta melalui pelayanan sosial yang menyatakan kesetiakawanan kita
kepada mereka yang menderita dalam masyarakat. Kita benar-benar berharap, bahwa
karena kesaksian dan pelayanan kita itu, masyarakat yang selama ini terabaikan
dan dipinggirkan serta terinjak-injak dapat berubah dari tidak berdaya menjadi
berdaya.
26.
Dalam
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2000 (SAGKI 2000) yang lalu kita
telah menetapkan pengembangan komunitas basis sebagai arah proses pemberdayaan
umat Katolik dalam konteks bangsa kita yang sedang dalam pergumulan mewujudkan
suatu Indonesia baru yang lebih adil, lebih manusiawi, lebih damai dan memiliki
kepastian hukum. Pengembangan komunitas basis itu didasarkan atas keyakinan,
bahwa daya hidup Gereja terletak pada basisnya dan pembaharuan Gereja harus
berasal dari basisnya. Atau, seperti dikatakan oleh para Uskup se-Asia:
"Gereja hanya bisa menjadi Gereja bila mendarah-daging dalam suatu bangsa
dan kebudayaannya, di tempat yang khusus dan pada waktu yang khusus pula"
(Seri Dokumentasi FABC no. 1).
27.
Karena
Gereja hidup dalam masyarakat majemuk, maka secara prinsipiil diharapkan agar
dalam proses pengembangan komunitas- komunitas basis diperhatikan semangat
keterbukaan yang menentukan upaya-upaya membaharui diri dan membangun
persaudaraan sejati, sehingga Kerajaan Allah semakin dirasakan kehadiranNya
melalui perjuangan kebenaran dan keadilan dengan perspektif gender, hak asasi
manusia dan lingkungan hidup. Ternyata komunitas-komunitas basis yang ada telah
membangun komunitas bersama umat beragama lain melalui dialog kehidupan, dialog
karya dan dialog iman. Dengan ini diharapkan, bahwa usaha menumbuhkan
komunitas-komunitas basis bisa menjadi salah satu cara bagi Gereja untuk
berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan
manusiawi.
28.
Komunitas
semacam ini disebut juga komunitas transformatif, karena memiliki kesadaran
kritis, mempunyai harga diri dan daya kekuatan kolektif, sehingga tidak
diombang-ambingkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar. Komunitas basispun
bersifat transformatif, karena melalui komunitas ini kita bertekad merubah diri
dan mengubah kondisi kehidupan dari tidak sejahtera menjadi lebih sejahtera,
dari tidak mempunyai akses terhadap sumber hidup menjadi memiliki akses
terhadap sumber kehidupan, dari tanpa kesadaran kritis menjadi bersikap kritis,
dari lemah karena tidak bersatu menjadi kuat karena persatuan, dan dari hidup
yang terombang-ambing menjadi hidup yang mampu mengontrol pengaruh-pengaruh
dari luar. Dengan kata lain, komunitas ini transformatif, karena mengubah kehidupan
bersama menjadi lebih manusiawi, adil dan merdeka.
29.
Dalam
kehidupan umat kita terdapat penekanan yang berbeda-beda pada dimensi-dimensi
kehidupan komunitas basis. Variasi penitikberatan dimensi ini menimbulkan
pemahaman mengenai komunitas basis yang berbeda-beda menurut waktu dan tempat.
Kami berharap, bahwa hal itu tidak menjadi halangan untuk mengembangkan
pemberdayaan komunitas basis, melainkan sebaliknya dapat saling belajar dan
mengajar demi pelaksanaan yang lebih menjawab tantangan kontekstual. Setiap
komunitas dapat melihat kekuatan dan kelemahan sendiri, peluang dan ancaman
dari luar yang dihadapi, supaya melalui evaluasi semacam itu gerakan yang tepat
dapat bergulir secara berkesinambungan.
30.
Agar
komunitas basis bisa bertumbuh dan berkembang menjadi komunitas yang
transformatif, pemberdayaan umat harus berlangsung terus menerus, terutama
melalui proses pendidikan dan pembinaan bagi umat. Dalam proses itu perhatian
khusus hendaknya diberikan kepada pendidikan nilai pada umumnya dan pendidikan
hati nurani dan pembentukan watak pada khususnya. Kami berharap, bahwa
pendidikan di manapun mengusahakan pembinaan hati nurani (GS 16) dan keutamaan
kesetiakawanan sosial ini.
31.
Keutamaan-keutamaan
sosial seperti yang kuat melindungi yang lemah, memperhatikan hal yang baik
bagi orang lain, dan rasa bertanggungjawab bersama demi kesejahteraan umum,
harus pula ditumbuhkan dalam dan melalui proses pendidikan. Dengan demikian
budaya cinta (civilization of love) secara sungguh-sungguh semakin meluas, dan
generasi mendatang semakin dapat menikmati kehidupan bersama yang lebih
sejahtera dan lebih demokratis. Karya pendidikan pada lembaga-lembaga
pendidikan formal kita, pendidikan para calon imam dan biarawan-biarawati, dan
kaderisasi pemimpin-pemimpin umat, kami harapkan juga direformasikan seirama
dengan orientasi pemberdayaan komunitas basis ini.
32.
Tidak
lupa kami berharap, bahwa sumber-sumber dana yang kita miliki, misalnya dana
yang terkumpul melalui Aksi Puasa Pembangunan Nasional (APP) dipergunakan juga
dengan prioritas pemberdayaan komunitas basis. Dana APP dikumpulkan untuk
mendukung gerakan pemberdayaan umat, bukan untuk dijadikan modal lembaga. Maka
kamipun merefleksikan secara khusus dan kritis tentang hidup kebergamaan kita
pada umumnya.
4.
Hidup Keberagamaan Kita
33.
Kita
perlu bertanya, mengapa hidup keberagamaan kita kurang menggerakkan transformasi
sosial, perubahan kehidupan bersama menjadi lebih manusiawi, adil dan merdeka.
Kita perlu menyadari kembali visi kita mengenai Gereja dan pekerjaan pastoral
yang kita jalankan. Kita memahami Gereja sebagai communio, yang terbuka bagi
semua manusia dan melampaui batas-batas jemaat kristiani sendiri. Gereja
sebagai communio mendapatkan perwujutannya dalam komunitas basis. Gereja kita
semakin bertumbuh dan berkembang sebagai Gereja, kalau bersetiakawan dengan
kaum miskin tak berdaya, tanda kehadiran Kristus sekarang ini. Pekerjaan
pastoral kita sungguh melayani umat, kalau petugas-petugas pastoral menemani
dan mendorong umat untuk mewujudkan hidup menggereja seperti itu.
34.
Visi
semacam itu akan memprioritaskan tindakan mencintai sesama secara nyata sebagai
indikator untuk mengukur kemajuan hidup sebagai Gereja yang terbuka terhadap
karya Roh Allah yang menghidupkan. Barang kali hingga kini kita mempunyai hanya
satu indikator untuk mengukur kemajuan hidup Gereja kita, yakni banyak dan
meluasnya kegiatan-kegiatan kultis dan kesalehan. Di sini terdapat kesalahan
dan kepincangan dalam pemahaman tentang liturgi. Mungkin juga praktek kesalehan
dan devosi kita kurang digerakkan oleh iman yang hidup dan menggerakkan hidup
yang beriman. Sebaliknya, ia lebih tinggal sebatas praktek ritual.
35.
Spiritualitas
hidup beriman kita sekurang-kurangnya mengandung lima aspek, yak ni kerigma,
liturgia, koinonia, diakonia dan martiria, yang dihidupi dalam tiga dimensi,
yakni doa pribadi, doa komunal, terutama liturgi dan tindakan nyata mencintai
Allah dan sesama. Kalau kita melihat nilai dasar yang kita pilih, yakni bersama
para korban yang men derita, yang menjadi tanda kehadiran atau wakil-wakil
Kristus di dunia sekarang ini, maka tindakan mencintai Allah dan sesama
selayaknya menjadi pusat perhatian kita.
Doa pribadi,
pengalaman kontemplatif merupakan pendalaman personal atau internalisasi dari
cinta itu; sementara doa komunal atau liturgi merupakan sosialisasi atau
pendalaman komunal-gerejani dari cinta itu. Kesetiakawanan sosial menjadi
keutamaan yang harus terus-menerus kita kembangkan.
36.
Pemahaman
kita tentang gereja sebagai komunitas basis menempatkan Kitab Suci di pusat
kehidupannya. Untuk itu kita juga perlu meninjau kembali cara kita membaca
Kitab Suci yang selalu terja di dalam liturgi. Kitab Suci kita perlakukan
secara tepat sebagai Firman Allah, ka lau ia menghantar umat ke Firman Allah
yang telah menjadi manusia, yakni Yesus. Dengan kata lain Kitab Suci menjadi
sarana untuk mengikuti Yesus. Dengan demikian, kita kembali lagi ke panggilan
pada kehadiran Kristus di dunia sekarang ini, yang antara lain berada dalam
diri para korban. Membaca Kitab Suci demikian memungkinkan kita menemukan
Kristus dalam diri para korban dan melihat dunia dari titik pandang mereka.
37.
Per
lakuan terhadap Kitab Suci yang tidak seperti itu merupakan manipulasi untuk
melayani kepentingan para pembacanya dan untuk memenuhi praktek kesalehan yang
ritual semata. Membaca Kitab Suci sebagai Firman Tuhan berarti antara lain
membiarkan diri disapa, ditantang dan dirobah olehnya. Ia juga menjadi sumber
kekuatan bagi kita untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup kita. Ia
mendorong kita untuk mengolah, mentransformasikan konflik dan selanjutnya
mengusahakan rekonsiliasi.
5.
Belajar Mengolah dan Mentransformasikan Konflik Serta Mengusahakan Rekonsiliasi
38.
Selama
ini warga masyarakat yang berbeda suku, agama, ras dan antar golongan (SARA)
tidak pernah mendapat kesempatan untuk sungguh-sungguh mengolah konflik,karena
konflik diselesaikan dengan tekanan dari atas. Cara tunggal penyelesaian
konflik adalahkekerasan, baik ilegal maupun legal.
SARA yang
seharusnya dapat menjadi perbedaan yang saling memperkaya telah dijadikan bahan
untuk mengadu domba, menjadi komoditas politik kekuasaan.
Maka bagi
kita hingga dewasa ini konflik hanya bernilai destruktif. Konflik adalah kutuk.
39.
Sekarang
ini selayaknya kita lebih belajar mengolah dan mentransformasikan konflik
sebagai seni untuk mencari dan menemukan kebenaran, sebagai sarana produktif
untuk kemajuan bersama, terutama untuk mencapai perubahan dan perbaikan sistem
dan struktur ke arah yang semakin adil. Suatu masyarakat baru yang
dicita-citakan dan diperjuangkan hendaknya memberikan tempat secara sadar
kepada konflik dan mengarahkan penyelesaiannya ke dalam kebudayaan baru, yaitu
kebudayaan cintakasih, kebudayaan rekonsiliasi. Masyarakat kita yang majemuk
dengan sendirinya merupakan lahan subur dan medan empuk bagi konflik.
Mengingkari konflik berarti mengingkari kemajemukan ini. Strategi menekan
konflik adalah strategi yang mau menyeragamkan masyarakat lewat ideologi
kesatuan dan persatuan. Konflik sendiri bukanlah suatu masalah. Yang menjadi
masalah adalah cara penanggulangan dan pengolahan konflik.
40.
Kami
berharap konflik sekitar syariat Islam, etnik, ketidakadilan sosial dan
kepentingan politik kekuasaan menjadi kesempatan semacam itu. Konflik tidak
usah dihindari, melainkan diolah bersama. Masyarakat kita hendaknya tidak takut
terhadap konflik dan menekan konflik. Dalam upaya memberikan tempat yang wajar
bagi konflik dan penyelesaiannya dalam kebudayaan, kita perlu mengolah dan
mentransformasikan kebudayaan, yang sedang kita anut dan hidupi sekarang, dan
meninggalkan secara sadar meskipun perlahan pola sikap patriarkal dan feodal.
41.
Kita
belajar menghidupi pola laku baru, tata etiket baru, yang menjadi acuan model
gereja komunitas basis, yakni pola laku kaum miskin, yang menjadikan
kesetaraan, kesejajaran dan kesetiakawanan sebagai pola dan etika pergaulan
mereka. Tata krama pergaulan dalam semangat kemitraan dan persaudaraan sejati
hendaklah dikembangkan dan dihidupi secara sadar. Untuk itu kita mesti meninjau
kembali dengan kritis pola-pola pergaulan antar kita selama ini, yang sering
ditandai oleh batas-batas dan sekat-sekat kekayaan, kedudukan dan kepentingan.
42.
Kita
memajukan cara-cara penyelesaian konflik yang beradab. Komunitas basis, lewat
pelbagai macam kegiatannya, menjadi tempat dan kekuatan pertumbuhan etika baru,
yang berkenaan dengan konflik dan rekonsiliasi. Yang perlu kita hindari ada lah
tindakan kekerasan dalam pelbagai bentuknya, seperti peperangan, intimidasi,
teror, pembunuhan, bom, penculikan, penghilangan, penodongan, tawuran,
penghinaan, pengusiran, penggusuran, pembakaran, pengrusakan, razia KTP dan
orang asing, perampasan, pembredelan, penggrebekan, fitnahan, penghinaan,
pengucilan, pemaksaan, pemerkosaan, pelecehan, diskriminasi, premanisme,
rasisme atau kecongkakan suku dan kebudayaan.
43.
Diungkapkan
dan diteguhkan melalui sakramen-sakramen, secara khusus lagi sakramen tobat,
yang merupakan sakramen rekonsiliasi, warga kristen komunitas basis menampilkan
diri sebagai kekuatan rekonsiliasi di tengah masyarakat negara yang
tercabik-cabik oleh pelbagai pertentangan kepentingan. Memperbaiki citra Allah
dalam hal ini berarti tidak melibatkan diri dalam tindakan-tindakan kekerasan
terhadap siapa dan apapun, bersedia menyelesaikan konflik secara damai,
berinisiatif untuk melakukan proses rekonsiliasi, bersedia berfungsi bagaikan
penangkal petir untuk menarik dan meredam bahaya kekerasan di tengah masyarakat
serta rela menanggung akibat ledakan konflik ke dalam kekerasan, jikalau hal
itu demi menghantar masyarakat umumnya kepada kedamaian.
44.
Di
sini nampak fungsi penebusan kita bagi masyarakat dan dunia, sebagaimana yang
sudah dilakukan secara sempurna oleh Sang Guru lewat wafatNya di Salib dan yang
diamanatkanNya kepada pengikut-pengikutNya: Tidak ada kasih yanglebih besar
dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh
15: 13). Sakramen pembaptisan, penguatan, imamat dan kaul-kaul kebiaraan
sesungguhnya menjadikan kita peserta dalam karya penebusan Allah di dalam Yesus
Kristus, menjadikan kita pekerja dalam menciptakan rekonsiliasi. Kita menyalahi
perutusan kristiani, jikalau kita hanya menjadi penonton di tengah pertikaian.
Perasaan kasihan, sedih, terkejut, tidak puas, ya bahkan kemarahan yang secara
alamiah timbul begitu saja dalam batin kita hendaknya dipahami sebagai dorongan
awal bagi kita untuk mencari jalan-jalan rekonsiliasi dan ditanggapi sebagai
panggilan dari Roh Kudus kepada kita untuk mengolah konflik dalam upaya
mencapai kebenaran yang semakin sempurna, yang menyata dalam kerukunan,
perdamaian dan persaudaran sejati.
45.
Untuk
itu kita meninggalkan dan melepaskan gambaran mengenai Allah dan Yesus Kristus
yang sempit dan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok sendiri, yang
seolah-olah menganak maskan kita dan menganak tirikan yang lain. Allah adalah
pencipta segala, kecuali dosa. Dalam mengupayakan dan mewujudkan rekonsiliasi
kita memuliakan Allah dan memulihkan citraNya dalam manusia dan alam.
Sebaliknya dalam perseteruan, permusuhan, kekerasan dan sikap congkak Allah
terus menderita dalam PuteraNya dan citraNya. Mengolah dan mentransformasikan
konflik serta mengusahakan rekonsiliasi adalah tanda syukur kita terhadap
panggilan citra Allah dan merupakan perwujudan tanggungjawab citra Allah
tersebut.
6.
Mensyukuri Panggilan dan Mewujudkan Tanggungjawab Citra Allah
46.
Usaha-usaha
positif yang sudah dijalankan perlu sosialisasi demi gerakan yang semakin
meluas. Kiranya kesadaran akan makna citra Allah dapat membantu usaha itu,
sekurang-kurangnya di kalangan umat kristiani.
Penafsiran
yang salah kaprah dan berpusatkan pada diri sendiri mengenai gambaran manusia
sebagai puncak dan mahkota karya cip taan Allah telah ikut andil dalam
kerusakan alam yang sangat parah sekarang ini. Secara individual manusia adalah
imago Dei. Maka ia mempunyai martabat luhur dan hak-hak asasi manusia. Hidup,
yang tidak berpusat pada Allah yang hadir dalam seluruh alam semesta, melainkan
yang berpusat pada manusia semata dan secara khusus laki-laki, bersama dengan
kemajuan teknologi dan keserakahan manusia beserta jaringan- jaringan yang
mendukungnya telah ikut mendorong manusia un tuk berlaku sewenang-wenang ter
hadap alam dan menghan curkan lingkungan hidupnya sendiri.
47.
Pemahaman
alternatif dapat kita timba dari gambaran Alkitabiah yang berada dalam
paradigma holistik atau pola pikir dan sikap yang menyatu dengan yang lain.
Ciri ma nusia sebagai citra Allah dalam Kej 1: 26 - 31 terletak pada panggilan
dan perutusan bersama penuh tanggungjawab dalam tindakan Allah yang kreatif dan
liberatif terhadap bumi dan seluruh isinya.
Dengan
demikian makhluk non-human, seluruh lingkungan hidup langsung mendapat tempat
dalam tanggungjawab manusia. Adam dan Hawa adalah pribadi kolektif. Di dalam
model kepribadian ini kita semua di panggil untuk bersama Allah
bertanggungjawab atas ciptaan dan masyarakat manusia.
48.
Manusia
bermartabat luhur dan mempunyai hak-hak asasi bukan saja oleh karena pemahaman
diri manusia itu sebagai citra Allah, melainkan martabat dan hak tersebut
terikat pada panggilan dan perutusan. Model holistik Alkitabiah mengemukakan
jalan pikiran, bahwa manusia adalah citra Allah, karena ia mempunyai
tanggungjawab bersama untuk ikut serta Allah dalam meme lihara seluruh ciptaan.
Di situlah letak keluhuran mar tabat manusia.
Perjanjian
atau tanggungjawab bersama dalam kitab Kejadian tidak memunculkan hak,
melainkan kewajiban menjadi penjaga adik yang le mah, saudara-saudari yang
tidak berdaya (Kej 4: 9). Kewajiban ini didasarkan pada perjanjian dan berakar
dalam cinta, yang menjadi dasar percakapan mengenai hak. Sebagai citra Allah
manusia ikut serta menanggung pemeliharaan kreatif terhadap alam semesta dan
lingkungan hidup kita. Pemahaman manusia citra Allah memiliki dua dimensi,
yakni dimensi pembentukan jati diri setiap manusia dan dimensi panggilan dan
perutusan sosial manusia.
49.
Di
mana tempat hak individu? Hak individu merupakan seruan: “ Dalam
keseluruhan alam semesta ini saya mempunyai tempat untuk hidup serta
berkembang, dan saya hendak berpartisipasi sebagai wujud tanggungjawab saya.
Jangan merampas tempat dan partisipasi saya.” Dalam paradigma holistik, percakapan
mengenaikewajiban terutama menunjuk pada tanggungjawab yang kuat terhadap yang
lemah dan tak berdaya. Sedangkan kewa jiban yang lemah dan tidak berdaya adalah
memberdayakan diri dan menuntut partisipasi.
Partisipasi
merupakan keutamaan pokok dalam paradigma holistik. Tema sidang para Waligereja
tahun ini merupakan tema Alkitabiah yang berada dalam paradigma holistik.
50.
Bagi
orang beriman kristiani partisipasi dalam keseluruhan me nyangkut transformasi
hidup beriman sendiri, yakni perobahan ke arah semakin serupa dengan Kristus,
yang adalah gambar Allah yang tak kelihatan (Kol 1: 15).
Semakin
bersatu dan semakin se rupa dengan Kristus berarti juga semakin masuk dalam
kepeduli anNya, yakni Kerajaan Allah. Yesus memperjuangkan Kerajaan Allah, di
mana Allah yang penuh belaskasih meraja dalam manusia dan dunia, di mana kuasa
dan tindakan Allah menyelamatkan manusia sehingga manusia menjadi utuh
manusiawi. Yesus melindungi manusia dari semua yang membuat manusia kurang manu
siawi atau bahkan tidak manusiawi. Itulah yang dirumus kan dengan hak-hak
asasi, hak-hak mendasar; kalau hak itu dirampas, manusia tidak manusiawi lagi.
51.
Perjuangan
hak-hak asasi manusia sebagaimana selayaknya kita prioritaskan adalah sesuai
dengan rencana dan kehendak Allah yang mau menyelamatkan semua orang. Cara
Allah bertindak menyelamat kan adalah dengan men dahulukan yang paling
menderita, yakni kaum miskin dan tertindas. Maka dari itu dari sisi manapun
didekati pilihan untuk mendahulukan dan bersama dengan kaum miskin terus-menerus
merupakan acuan perjuangan hak-hak asasi manusia.
7.
Bersama-sama Kaum Muslimin Indonesia Berziarah di Jalan Menuju Tuhan
52.
Dalam
pertemuan tahunan ini kami, para Waligereja Katolik Indonesia, menanggapi rasa
hati dan mendengarkan suara umat Katolik yang bertanya mengenai sikap Gereja
Katolik sehubungan dengan maraknya wacana Syariat Islam melalui media menjelang
sidang Tahunan MPR 2001. Masalah ini belum juga diselesaikan secara tuntas.
Dengan demikian masih akan muncul lagi di masa mendatang. Kami menyadari, bahwa
kami perlu memahami permasalahan mengenai Syarikat Islam ini secara mendalam.
Setelah mempelajari bahan-bahan tertulis, kami mengundang saudara yang beragama
Islam untuk memberi penjelasan mengenai Syariat Islam dari perspektif Islam
sendiri.
7.
1. Jalan Menuju Tuhan
53.
Akidah,
Syariat, dan Akhlak merupakan inti keislaman. Syariat Islam bagi kaum Muslimin
pada dasarnya adalah �Jalan Menuju Tuhan.�
Syariat Islam ini secara komprehensif mengatur perilaku dan kehidupan kaum
Muslimin dalam kedudukannya sebagai abdi Allah. Kami bisa memahami dan
menghargai usaha kaum Muslimin Indonesia untuk hidup konsekuen di �Jalan
Menuju Tuhan ini,� sebagaimana kaum Kristiani berusaha
hidup konsekuen untuk mengikuti Yesus yang diimani sebagai Jalan, Kebenaran dan
Kehidupan. St. Paulus juga mengajak kaum kristiani ketika dia menulis: �Jauhilah
yang jahat dan lakukanlah yang baik� (Rm 12: 9).
7.
2. Penghargaan Gereja Katolik Atas Akidah, Syariah, dan Akhlak Islami
54.
Penghargaan
Gereja Katolik atas usaha kaum Muslimin ini secara jelas digariskan oleh
Konsili Vatikan II (NA no. 2), yang menjadi panduan umat katolik. Pertama,
Gereja Katolik menghargai butir-butir Iman Islam: “Gereja
juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah yang satu-satunya, yang hidup
dan berdaulat penuh belaskasihan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang
telah bersabda kepada manusia. Kaum Muslimin berusaha menyerahkan diri dengan
segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia,
seperti dahulu Abraham “ iman Islam dengan suka rela mengacu
kepadanya “
telah menyerahkan diri kepada Allah”.
55.
Dalam
hal iman memang diakui, bahwa ada perbedaan dasariah mengenai siapa dan peran Yesus,
namun kepercayaan pada nabi-mabi merupakan bagian dari iman Islami juga: “Memang
mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, akan tetapi menghormatinya sebagai
nabi.” Gereja
Katolik amat menghargai penghormatan Kaum Muslimin kepada Bunda Maria: “Mereka
juga menghormati Bundanya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu
dengan khidmat berseru kepadanya.”
56.
Masih
dalam hal iman, Gereja Katolik juga mengimani adanya Hari Pengadilan Terakhir: “Selain
itu mereka mendambakan hari Pengadilan, bila Allah mengganjar semua orang yang
telah bangkit." Kemudian dalam satu kalimat yang padat, Gereja Katolik
menyentuh peran Akhlak Islami, dan butir-butir Syariat Islam yang patut
dihargai. “Mereka
juga menjunjung tinggi kehidupan akhlak dan beribadat kepada Allah terutama
dalam sembahyang, dengan memberi sedekah, dan berpuasa.”
57.
Diakui bahwa ada bagian-bagian yang suram
dalam sejarah hubungan antara kaum Kristiani dengan Muslimin. Dalam hal ini
Gereja Katolik mengajak untuk melihat ke depan, dan bekerjasama dalam mengembangkan
masyarakat yang adil dengan penghargaan atas hak- hak asasi manusia, khususnya
perhatian kepada korban, kaum miskin dan tertindas. “Memang
benar di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan
antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili Suci ini mendorong mereka
semua supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri
untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan
keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan
kebebasan.”
7.
3. Pemberlakuan Suatu Hukum Agama Bagi Seluruh Warganegara
58.
Kendatipun
kami memegang teguh, bahwa jalan yang diberikan Allah kepada manusia itu harus
kita ikuti, namun kewajiban ini tidak pernah boleh dipaksakan oleh otoritas
manapun. Karena agama dan penghayatannya harus selalu berlindung di wilayah
kebebasan manusia. Oleh sebab itu penyerahan pelaksanaan agama kepada kekuasaan
negara akan semakin besar membuka peluang untuk kezaliman, kekerasan, dan
ketidakadilan oleh negara dan aparat-aparatnya, apalagi jika tindakan- tindakan
di atas mendapat legimitasi oleh agama.
59.
Dalam
konteks Indonesia kita perlu mengingat, bahwa Negara ini bukan Negara Agama
Islam. Penduduk negara ini menganut banyak agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Buddha, Kong Hu Chu, Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan juga
mereka, yang dari hati nuraninya sendiri memilih untuk tidak mengikuti salah
satu lembaga keagamaan apapun.
Pemberlakuan
Syariat Islam dengan argumen, bahwa hanya berlaku untuk kaum Muslimin saja
kiranya tidak bisa dipertahankan, karena kaum Muslimin hidup bersama dengan
kaum beragama lain, dengan demikian pastilah ada wilayah- wilayah kehidupan
kaum Muslimin yang bersinggungan dengan warganegara yang beragama lain.
60.
Namun
dalam perjumpaan dan kehidupan bersama kaum beragama bisa menemukan nilai-nilai
yang menyatukan dan dimiliki bersama. Nilai-nilai universal yang bersumberpada
tradisi keagamaan inilah yang perlu diperjuangkan bersama, melalui jalur-jalur
demokratis agar dituangkan dalam perundang-undangan yang berlaku untuk semua
warganegara.
61.
Oleh
karena itu, kami mendukung usaha-usaha terpuji dalam arah di atas. Kami
menganjurkan, agar umat Katolik mempelajari dan memahami masalah Syariat Islam
ini secara mendalam, agar setelah mengerti permasalahannya kita bisa bersama
kaum beragama yang lain menemukan nilai-nilai, yang mampu mengentaskan bangsa
ini dari keterpurukan dan memulihkan citra Allah yang telah dirusak.
7.
4. Bagi Kita
62.
Bagi
kita orang Indonesia, kita melaksanakan itu dalam kerangka Negara Republik
Indonesia. Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tahun 1945 adalah
negara Pancasila, bukan negara Islam atau negara agama.
Negara
Republik Indonesia secara hakiki dinyatakan dalam Mukadimah UUD 45. Maka setiap
perubahan Mukadimah tersebut merupakan perubahan dari hakekat Negara Republik
Indonesia.
63.
Selama
ini telah kita melihat, bahwa ada usaha-usaha, juga dengan cara kekerasan
senjata untuk memaksakan berdirinya negara Islam, antara lain dengan
mengusahakan masuknya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Mukadimah UUD 45 dan
memberlakukan syariat Islam ke dalam ayat-ayat serta peraturan-peraturan yang
berlaku untuk umum.
64.
Usaha
ini kita nilai sebagai sebuah usaha untuk mengubah hakekat Negara Republik
Indonesia. Usaha ini kami pandang sebagai usaha untuk tidak menjamin kebebasan
dan kelayakan hidup orang- orang yang menganut berbagai agama, Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan juga mereka yang menghayati
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai jalan hidupnya.
65.
Sementara
itu terhadap agama-agama umumnya, termasuk Hinduisme dan
Buddhisme
kita memiliki pedoman sikap, sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II:
"Sudah
sejak dahulu kala hingga sekarang ini di antara pelbagai bangsa terdapat suatu
kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah
dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan
terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi ataupun Bapa.... Gereja katolik tidak
menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap
hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup,
kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari
apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan
sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya
mewartakan dan wajib mewartakan Kristus,
yakni “ jalan,
kebenaran dan hidup “ (Yoh 14: 6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup
keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya
(2Kor 5: 18 - 19)" (NA no. 2).
66.
Maka
dengan ini, kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut: Tetap berpegang teguh
pada keputusan para Bapak Bangsa untuk mendirikan negara berdasarkan Pancasila,
untuk berjuang sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya baik dalam bidang
legislatif, eksekutif, yudikatif dan media massa.
Mengingatkan
kepada siapa saja, yang mau memasukkan ajaran khusus agamanya secara formal
menjadi ketentuan yang harus berlaku untuk umum, agar tidak melanjutkan usaha
seperti itu, karena hal yang demikian itu berlawanan dengan hakekat negara
kesatuan Republik Indonesia Tidak menyetujui siapa saja, termasuk bila ada dari
kalangan katolik sendiri, yang berusaha memaksakan secara formal ketentuan
partikular agamanya ke dalam ketentuan- ketentuan umum karena hal itu dapat
dipandang sebagai usaha untuk membubarkan Negara Republik Indonesia.
Mendesak
agar pemerintah berusaha dengan tegas dan tidak ragu-ragu untuk membela Negara
Republik Indonesia dari usaha-usaha mengubah hakekatnya.
Mengajak
umat katolik khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk berdoa dan
berusaha melalui jalan tanpa kekerasan, agar Negara Republik Indonesia tetap
berdiri dan umatnya sejahtera lahir batin.
P E N U T U P
67.
Berbagai
analisis yang dikemukakan oleh para ahli dari berbagai bidang memperlihatkan
masalah yang kompleks dan reformasi yang belum menunjukkan kemajuan dan belum
berhasil sepenuhnya. Namun mereka juga mengemukakan usaha-usaha di pelbagai
bidang yang dapat merupakan langkah untuk gerakan selanjutnya. Umat Katolik
komunitas basis dapat saja bergerak dalam semua bidang kehidupan bernegara dan
berbangsa. Pilihan nilai dasar kesetiakawanan dan keberpihakan kepada yang
miskin, lemah dan menderita mempersatukan kita semua dalam kebersamaan dengan
sesama warga masyarakat, yang mencita-citakan hal yang sama, namun acapkali
berbeda dalam cara memperjuangkannya.
68.
Penghayatan
hidup citra Allah akan mendukung dan mengusahakan politik dan ekonomi yang
berwawasan penghargaan terhadap martabat manusia, berorientasi kerakyatan dan
bertumpu pada partisipasi nyata dari rakyat.
Penghayatan
citra Allah juga mendorong perkembangan budaya kesetiakawanan dan solidaritas
sosial. Harapan dan cita-cita kita adalah bahwa orang-orang yang bergerak di
bidang politik, ekonomi dan organisasi serta lembaga kemasyarakatan dapat
menyatu dalam kepedulian yang sama, yakni kemajuan rakyat yang lestari berkesi nambung
an, kendatipun mereka memiliki kepentingan dan cara kerja yang berbeda.
69.
Daya
kekuatan Allah yang menghidupkan hadir dan bertindak dalam manusia dan dunia
sekarang ini. Gambaran kristiani mengenai Allah yang berfirman melalui Yesus
Kristus dan hadir dalam Roh adalah Allah yang menghen daki keadilan dan
belaskasih; Ia yang ha dir dan terus mencipta menghendaki agar manusia
bertindak tanpa kekerasan. Ia adalah Allah kehidupan dan bukan Allah perusakan;
Allah rekonsiliasi, yang tak henti-hentinya mengulurkan tangan belaskasihNya
untuk memperdamaikan manusia dengan DiriNya, manusia dengan sesama dan manusia
dengan alam ciptaan. Ia bukan Allah kekerasan. Marilah kita tanggap dan ikut
serta.
Jakarta 15 November
2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar