Modus perdagangan orang yang juga banyak
terjadi adalah penipuan yang dilakukan oleh penyalur Jasa Tenaga KerjanIndonesia
(PJTKI) terhadap para calon TKI dan PJTKI yang menjadikan TKW hamil sebagai
asset. Dalam kasus buruh migran yang menjadi korban traficking, baik buruh
migran yang illegal (undocumented workers) ataupun buruh migran yang kehilangan
passport/passportnya ditahan oleh majikan, negara transit dan negara
penerima/tujuan memperlakukan mereka sebagai imigran gelap dan
memulangkan/mendeportasi mereka tanpa memberikan kesempatan kepada buruh migran
untuk tetap berada di negara penerima/negara transit dan memperoleh kesempatan
untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Bentuk-Bentuk
Perdagangan Orang
Dilihat dari bentuknya, perdagangan orang dapat terjadi
dalam berbagai peristiwa sebagai berikut:
Penjualan anak –
Penjualan anak adalah setiap tindakan atau transaki
seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapapun atau kelompok, demi
keuntungan atau dalam bentuk lain.
Penyelundupan manusia –
Penyelundupan manusia adalah usaha untuk mendapatkan,
sebagai cara untuk memperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung,
keuntungan berupa uang atau materi lain,
terhadap masuknya seseorang secara tidak
resmi ke dalam sebuah kelompok negara, orang tersebut bukanlah warga negara
tersebut atau wraga negara tetap.
Migrasi dengan tekanan –
Migrasi, baik yang
bersifat legal maupun ilegal adalah proses orang atas kesadaran mereka sendiri
memilih untuk meninggalkan satu tempat dan pergi ke tempat lain. Perdagangan
perempuan
dan anak merupakan bentuk migrasi dengan tekanan, yaitu orang
yang diperdagangkan direkrut dan dipindahkan ke tempat kain secara
paksa, ancaman kekerasan atau penipuan.
Prostitusi anak –
Prostitusi anak adalah anak yang dilacurkan, menggunakan anak untuk
aktivitas seksual demi keuntungan atau dalam bentuk lain. Pengertian tersebut
meliputi: menawarkan, mendapatkan dan menyediakan anak untuk prostitusi.
Prostitusi perempuan dewasa –
Prostitusi perempuan dewasa yang masuk kategori perdagangan orang adalah
perempuan yang ditipu.
Selain itu ada beberapa bentuk perdagangan
manusia yang sering kali terjadi pada perempuan dan anak-anak :
Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks –
Baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus,
perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja
restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian
dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam
kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks
tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah
paksaan dan tidak diperbolehkan menolak
bekerja.
Sudah menjadi rahasia umum para perempuan yang bekerja di panti-panti
pijat di Indonesia dapat diminta memberikan layanan seks kepada para pelanggan
mereka. Tidak diketahui dengan jelas tentang kewajiban mereka untuk memenuhi permintaan tersebut,
apakah karena keterikatan mereka dengan tempat tersebut, atau karena kebutuhan
akan pendapatan tambahan.
Dalam kasus lokalisasi, tempat-tempat pelacuran lainnya, serta
prostitusi di warung penjual teh botol, ketika dipilih oleh seorang pelanggan,
perempuan atau anak perempuan tersebut harus memberikan pelayanan seks dengan
pembayaran di tempat, atau di luar, seperti di hotel, taman dan tempat terbuka.
Ini adalah jenis prostitusi, yang mendorong cara perekrutan perempuan dan anak
perempuan melalui praktik trafiking, mengingat ini adalah sebuah sumber
pendapatan yang besar bagi mereka yang terlibat di dalam proses perekrutan,
pengangkutan, dan penampungan para perempuan dan anak perempuan yang didapatkan
untuk tujuan tersebut.
Keuntungan besar, tidak seperti dalam kasus PRT, timbul karena
pemanfaatan berulang-ulang perempuan atau anak perempuan yang diperdagangkan
selama beberapa tahun untuk menghasilkan uang tunai secara terus-menerus.
Sampai sekarang masih terlalu sulit untuk memperkirakan jumlah perempuan
dan anak perempuan yang terlibat di dalam prostitusi di luar lokalisasi. Hampir
semua kajian propinsi yang dilakukan oleh ACILS dan ICMC menyimpulkan bahwa
kemungkinan jumlah perempuan dan anak perempuan yang ditempatkan di
tempat-tempat karaoke dan kafe yang dikurung dan dipaksa untuk memberikan
layanan seksual adalah lebih besar. Jeratan utang sering digunakan untuk
memaksa mereka masuk ke dalam prostitusi.
Ada dua negara yang dikenal sebagai tempat tujuan utama perdagangan
orang untuk eksploitasi seksual komersial. Kedua negara itu adalah Malaysia dan
Jepang. Meskipun ada banyak laporan yang mengatakan bahwa eksploitasi seksual
juga terjadi di Singapura. Namun ada perbedaan cara perekrutannya.
- Untuk tujuan Malaysia dan Singapura, korban direkrut dengan janji akan dipekerjakan di tempat-tempat karaoke, sebagai penyanyi di rumah makan, pelayan, dan hostes atau penghibur, atau bahkan dijanjikan sebagai PRT;
- Untuk Jepang mereka dibawa dengan alasan sebagai duta seni budaya atau penari tradisional, kemudian dipaksa untuk memberikan pelayanan seksual.
Pembantu Rumah Tangga (PRT) –
Baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri
maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang
termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang
tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan
fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang
makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar
agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk
memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
Hampir 35% dari 2,6 juta pekerja rumah tangga berusia di bawah 18 tahun
– 93% diantaranya adalah anak perempuan.
Merekrut dan memindahkan seseorang untuk pekerjaan rumah tangga dalam
negeri memakan biaya lebih rendah, sehingga kurang menguntungkan bagi para
pelaku perdagangan orang yang cenderung menaikkan biaya demi melanggengkan
pengendalian mereka atas para perempuan dan anak perempuan yang menjadi klien
mereka.
Pada gilirannya, risiko pekerja rumah tangga dalam negeri yang terkena
jeratan hutang juga lebih rendah.
Menurut Laporan Human Rights Watch (Juni, 2005b), agen-agen penyalur
seperti itu bisa mengenakan tarif sebesar Rp 350.000,00 kepada majikan untuk
mendapatkan seorang pekerja rumah tangga. Sebagai gantinya, para perekrut
dibayar sampai dengan Rp 190.000,00 untuk setiap perempuan atau anak perempuan
yang dibawa ke agen penyalur tersebut. Banyak agen penyalur memilih untuk
menjaring para perempuan muda pedesaan pada saat mereka tiba di kota-kota besar
untuk mencari pekerjaan daripada “datang menebarkan jaring-jaring” ke desa-desa
terpencil. Agen-agen tersebut bekerja, terutama, di terminal-terminal bis dan
stasiun-stasiun kereta api antarkota dengan membagikan selebaran kepada
sasaran-sasaran mereka.
Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan di luar negeri mengalami hal hal
sebagai berikut dapat dikategorikan sebagai korban perdagangan orang. :
- Jika ada perekrutan yang dilakukan dengan memberi informasi yang salah tentang upah dan kondisi-kondisi kerja
- Jika tidak ada kejelasan tentang tugas-tugas kerja, jam kerja, libur mingguan dan cuti;
- Jika ada pemotongan gaji, atau
- Penahanan pembayaran upah yang tidak dijelaskan,
- Pengurungan melalui penyitaan dokumen-dokumen perjalanan atau lainnya, dan/atau kekerasan seksual;
- Jika perekrut, agen pengiriman tenaga kerja, agen penempatan di luar negeri, petugas yang terkait dengan proses pemindahan, atau
- Jika majikan mengambil keuntungan finansial yang tidak semestinya dengan menggunakan jasa dari orang yang bersangkutan.
Itu semuanya dapat dikategorisasikan sebagai korban
perdagangan orang.
Menurut para pejabat Malaysia, tahun 2004 terdapat 240.000 pekerja rumah
tangga migran perempuan di Malaysia dan lebih dari 90 persen di antaranya
adalah orang Indonesia (Human Rights Watch, Juli, 2004a: 13).
Menurut laporan Human Rights Watch (Ibid.), ada cukup bukti bahwa
- Para perekrut memberikan informasi yang tidak benar tentang kondisi kerja dan upah yang akan diterima para migran perempuan di Malaysia.
- Para calon buruh migran diperlakukan buruk di tempat-tempat penampungan.
- Tidak lama setelah dipekerjakan, mereka sering disiksa oleh para majikan dengan tingkatan yang berbeda.
- Banyak agensi dan majikan Malaysia menunda pembayaran gaji para pekerja sampai dengan akhir kontrak dua tahun (standar).
Database IOM menyebutkan setidaknya 0,1% korban perdagangan orangyang
kembali dari Malaysia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ini
menimbulkan dugaan kemungkinan adanya kekerasan seksual di tempat kerja.
Bisa dikatakan bahwa resiko perempuan dan anak perempuan korban
trafiking dalam kondisi serupa perbudakan rumah tangga, khususnya di Malaysia
sangat tinggi, tetapi bukan berarti hal tersebut tidak dapat terjadi di
negara-negara lain.
Disebutkan bahwa isu-isu kerja paksa PRT di Timur Tengah dan
negara-negara Teluk mencakup seperti :
- Ketiadaan tugas-tugas yang jelas,
- Jam kerja sangat panjang—kadang-kadang sampai 14 – 16 jam dalam sehari,
- Mengatur pekerja dengan kekerasan fisik dan kata-kata kasar, dan
- Pembayaran upah yang lebih kecil daripada yang telah dijanjikan.
- Kurangnya privasi dan rasa aman (terutama karena adanya paksaan-paksaan seksual oleh majikan laki-laki),
- Makanan yang tidak mencukupi dan terkadang tidak layak,
- Tidak peduli akan kondisi sakit pekerjanya termasuk tidak memberikan akses ke perawatan kesehatan,
- Larangan bersosialisasi, dan
- Tidak mengijinkan pekerjanya untuk melakukan kebiasaan atau tradisi.
Baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang
Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan
pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage,
atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja
yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak
dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu
melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya –
Terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja
sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat
kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks
atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
Pengantin Pesanan –
Terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang
bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan
perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru
ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau
menjual mereka ke industri seks.
Sepuluh tahun terakhir, telah terjadi peningkatan tajam arus perkawinan
lintas- wilayah antar-Asia di antara Asia Tenggara dan Asia Timur. Perkawinan
tersebut memiliki dua karakteristk:
- Ketidakseimbangan jender dan geografis – mayoritas prianya berasal dari negara-negara yang lebih kaya dan perempuannya dari negara yang ekonominya kurang berkembang;
- Mayoritas pasangan dikenalkan dengan niat awal untuk dikawinkan dengan masa perkenalan yang singkat.
Pada tahun-tahun belakangan ini, saat jumlah pengantin asing meningkat
dramatis, demikian juga tingkat kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat
dengan tajam. Hal ini sangat mungkin karena para korban terisolasi oleh bahasa,
latar belakang budaya berbeda, dan kurangnya informasi.
Sungguh, pengantin-pengantin asing diperlakukan sebagai barang dagangan
yang diimpor ke Taiwan. Selain ancaman kekerasan dalam rumah tangga, hak
bekerja, hak milik, dan hak untuk mengasuh anak mereka sama sekali diabaikan.
Kelompok korban kekerasan ini mudah terabaikan dan dengan demikian
memerlukan perhatian lebih banyak”.
Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak –
Terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di
jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan
bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat
ini.
- Lingkaran Pengemis Terorganisasi
(......"Salah satu contoh perdagangan anak adalah
adanya wanita yang sengaja hamil dan melahirkan bayi untuk disewakan kepada
pengemis," ......)
- Salah satu bentuk perdagangan anak laki-laki lainnya yang diketahui di Indonesia adalah di jermal-jermal.
Database IOM juga menyebutkan sejumlah laki-laki dan perempuan
diperdagangkan untuk bekerja sebagai penjaga toko, pedagang kaki lima, dan
sebagainya. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa hal ini belum meluas atau masih
belum banyak diketahui. Dari beberapa kesaksian buruh migran PRT diketahui
bahwa selain pekerjaan rumah (Human Rights Watch, 2004a), mereka juga diminta
untuk mengelola toko yang dimiliki oleh majikan mereka. Kebanyakan hal ini
disebutkan dalam konteks daftar pekerjaan rumah yang mereka harus kerjakan, dan
bukan sebagai sesuatu yang mereka tidak suka. Selama penjajakan lapangan di
propinsi Sulawesi Selatan, beberapa informasi menyebutkan bahwa kadang-kadang
perempuan migran yang tidak berdokumen dipekerjakan di Malaysia sebagai penjaga
toko dan penjual sayuran. Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang kondisi
hidup dan kerja mereka.
Sampai pada variasi yang lebih terbaru yaitu anak jalanan (pengemis)
sebagai komoditas seks, target kaum pedophilia atau korban perdagangan organ
tubuh manusia.
Trafficking/penjualan Bayi –
Baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran
Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian
mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus
yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang
melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.
Dari laporan-laporan yang ada menunjukkan bahwa penjualan bayi telah
terjadi di Indonesia paling tidak sejak tahun 1998. Pada 12 November 2002,
Jakarta Post memuat sebuah berita tentang “Penyergapan Jaringan Perdagangan
Bayi”, yang melaporkan bahwa Kepolisian Tanjung Pinang menggagalkan sebuah
sindikat yang sering menjual bayi yang didapat dari lokalisasi Batu 15 di Pulau
Bintan sejak 1998 (Baby Traffickers, 2002). Jaringan penjualan bayi juga
ditemukan di Kalimantan Barat (Indonesian Targeted, 2002) di Indonesia dan
Sarawak (Baby Factory, 2002) di Malaysia. Batam nampaknya menjadi tempat
transit untuk banyak bayi yang secara gelap dijual ke pasangan-pasangan dari
Singapura dan Malaysia. Bayi-bayi tersebut didapatkan dari banyak daerah di
Indonesia. Tabel 2.2 menunjukkan bahwa, selama tahun 2005, kasus penjualan bayi
dilaporkan oleh sedikitnya 11 propinsi termasuk Kepulauan Riau. Salah satu
faktor pendorong di balik meluasnya penjualan bayi adalah tingginya harga bayi
yang dijual di pasar gelap karena telah berhasil menghindari prosedur panjang
yang biasanya dikaitkan dengan adopsi anak internasional. Dilaporkan bahwa
seorang bayi dapat dijual dengan harga antara US$4,000 sampai US$5,000 di
Malaysia - dengan kurs saat ini (Baby Factory, 2002).
Penting untuk dicatat bahwa 34 kasus, lebih dari seperempat kasus
“perdagangan orang” yang tercatat di Indonesia selama tahun 2005, terkait
dengan penjualan bayi (Tabel 2.2). Pada saat yang sama, 12 bayi dan seorang
anak yang diduga telah dijual, dipulihkan oleh IOM selama 16 bulan sampai Juli
2006. Laporan Kajian Propinsi dari Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan
Kepulauan Riau juga mengkonfirmasikan bahwa penjualan bayi memang telah
terjadi. Kasus-kasus penjualan bayi yang lahir dari perempuan yang bekerja
sebagai pekerja seks, dari perempuan-perempuan yang berada di tempat-tempat
penampungan agen pengiriman tenaga kerja, dan dari buruh migran perempuan di
luar negeri, telah dilaporkan dari Kajian Propinsi Kepulauan Riau. LSM-LSM
menyatakan bahwa bayi-bayi itu dipisahkan dari ibunya sebagai cara dari
pembayaran “hutang”. Oleh karena itu, tampak dalam beberapa kasus, penjualan
bayi adalah akibat dari jeratan hutang
“Penjualan bayi yang terkadang digunakan sebagai cara untuk menghindari
persyaratan resmi adopsi, mencakup pemindahan seorang anak dengan paksaan atau
bujukan, atau situasi di mana penipuan atau kompensasi berlebihan digunakan
untuk mempengaruhi pelepasan seorang anak. Penjualan bayi bukan jalan adopsi
yang bisa diterima dan melibatkan banyak hal yang sama dengan unsur perdagangan
orang/trafiking” (U.S. Departement of State, 2005).
Hal ini dilaporkan sebagai sebuah kecenderungan baru. Sayangnya tidak
tersedia informasi yang memadai tentang sejauh mana permasalahan tersebut, dan
sifat eksploitasi apa yang dialami pengemis-pengemis anak tersebut.
Kawin Kontrak
Kawin kontrak merupakan fenomena “setempat” yang melibatkan perempuan
dan anak perempuan. Sebagian besar
mengalami eksploitasi seksual dan reproduktif. Selain mengerjakan pekerjaan
rumah tangga seperti memasak dan mencuci, para
“istri kontrak” juga memberikan layanan seksual “kapan saja”. Setelah
kontrak berakhir mereka ditinggalkan. .
Keuntungan dari praktek kawin kontrak sebagian besar didapat oleh
keluarga perempuan, tetapi ada juga yang diperoleh calo yang mengatur
perkawinan dengan pekerja asing. Meskipun hal ini dapat menyebabkan kekerasan
yang dilakukan oleh keluarga dan suaminya tetap saja sulit menggolongkan kawin
kontrak sebagai perdagangan orang karena tidak melibatkan perpindahan si
perempuan. Sebagaimana yang ditemui dalam laporan-laporan yang ada, mereka
bebas dan tidak dilarang untuk menemui keluarga dan teman mereka.
Beberapa Modus operandi dari tindak pidana
trafficking yang sering kali terjadi adalah sebagai berikut:
- Merekrut calon pekerja wanita 16-25 tahun;
- Dijanjikan bekerja di restoran, salon kecantikan, karyawan hotel, pabrik dengan gaji rm 500 s/d rm 1.000;
- Identitas dipalsukan;
- Biaya administrasi, transportasi, dan akomodasi ditipu oleh pihak agen;
- Tanpa ada calling visa atau working permit atau menggunakan visa kunjungan singkat;
- Korban dijual, disekap, dan dipekerjakan sebagai PSK..
- Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri;
- Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi;
- Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur;
- Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya;
- Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong;
- Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib; dan
- Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;
- Penculikan anak melalui situs jejaring sosial yang terjadi akhir-akhir ini.
- Dijanjikan Umroh namun saat tiba didaerah Timur Tengah sering kali tidak pernah sampai tujuan.
- Perempuan muda dijual ke luar negeri setelah sebelumnya dinikahi secara siri
HENTIKAN PERDAGANGAN MANUSIA....!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar