VISI KAMI

“ AGAR HAK DAN MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH DIAKUI DAN DIHORMATI. ”

Bentuk dan Modus Operandi TPPO

Korban perdagangan perempuan dan anak sebagian besar mengalami eksploitasi seksual dan dijadikan perempuan yang dilacurkan (pedila) yang tersebar disejumlah tempat-tempat prostitusi.
Modus perdagangan orang yang juga banyak terjadi adalah penipuan yang dilakukan oleh penyalur Jasa Tenaga KerjanIndonesia (PJTKI) terhadap para calon TKI dan PJTKI yang menjadikan TKW hamil sebagai asset. Dalam kasus buruh migran yang menjadi korban traficking, baik buruh migran yang illegal (undocumented workers) ataupun buruh migran yang kehilangan passport/passportnya ditahan oleh majikan, negara transit dan negara penerima/tujuan memperlakukan mereka sebagai imigran gelap dan memulangkan/mendeportasi mereka tanpa memberikan kesempatan kepada buruh migran untuk tetap berada di negara penerima/negara transit dan memperoleh kesempatan untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

Bentuk-Bentuk Perdagangan Orang
Dilihat dari bentuknya, perdagangan orang dapat terjadi dalam berbagai peristiwa sebagai berikut:
Penjualan anak –
Penjualan anak adalah setiap tindakan atau transaki seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapapun atau kelompok, demi keuntungan atau dalam bentuk lain.
Penyelundupan manusia –
Penyelundupan manusia adalah usaha untuk mendapatkan, sebagai cara untuk memperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung, keuntungan berupa  uang atau materi lain, terhadap  masuknya seseorang secara tidak resmi ke dalam sebuah kelompok negara, orang tersebut bukanlah warga negara tersebut atau wraga negara tetap.
Migrasi dengan tekanan –
Migrasi, baik  yang bersifat legal maupun ilegal adalah proses orang atas kesadaran mereka sendiri memilih untuk meninggalkan satu tempat dan pergi ke tempat lain. Perdagangan perempuan
dan anak merupakan bentuk migrasi dengan tekanan,  yaitu orang  yang diperdagangkan direkrut dan dipindahkan ke tempat kain secara paksa, ancaman kekerasan atau penipuan.
Prostitusi anak –
Prostitusi anak adalah anak  yang dilacurkan, menggunakan anak untuk aktivitas seksual demi keuntungan atau dalam bentuk lain. Pengertian tersebut meliputi: menawarkan, mendapatkan dan menyediakan anak untuk prostitusi.
Prostitusi perempuan dewasa –
Prostitusi perempuan dewasa  yang masuk kategori perdagangan orang adalah perempuan  yang ditipu.

Selain itu ada beberapa bentuk perdagangan manusia yang sering kali terjadi pada perempuan dan anak-anak :

Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks –

Baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan  menolak bekerja.
Sudah menjadi rahasia umum para perempuan yang bekerja di panti-panti pijat di Indonesia dapat diminta memberikan layanan seks kepada para pelanggan mereka. Tidak diketahui dengan jelas tentang kewajiban  mereka untuk memenuhi permintaan tersebut, apakah karena keterikatan mereka dengan tempat tersebut, atau karena kebutuhan akan pendapatan tambahan.
Dalam kasus lokalisasi, tempat-tempat pelacuran lainnya, serta prostitusi di warung penjual teh botol, ketika dipilih oleh seorang pelanggan, perempuan atau anak perempuan tersebut harus memberikan pelayanan seks dengan pembayaran di tempat, atau di luar, seperti di hotel, taman dan tempat terbuka. Ini adalah jenis prostitusi, yang mendorong cara perekrutan perempuan dan anak perempuan melalui praktik trafiking, mengingat ini adalah sebuah sumber pendapatan yang besar bagi mereka yang terlibat di dalam proses perekrutan, pengangkutan, dan penampungan para perempuan dan anak perempuan yang didapatkan untuk tujuan tersebut.
Keuntungan besar, tidak seperti dalam kasus PRT, timbul karena pemanfaatan berulang-ulang perempuan atau anak perempuan yang diperdagangkan selama beberapa tahun untuk menghasilkan uang tunai secara terus-menerus.
Sampai sekarang masih terlalu sulit untuk memperkirakan jumlah perempuan dan anak perempuan yang terlibat di dalam prostitusi di luar lokalisasi. Hampir semua kajian propinsi yang dilakukan oleh ACILS dan ICMC menyimpulkan bahwa kemungkinan jumlah perempuan dan anak perempuan yang ditempatkan di tempat-tempat karaoke dan kafe yang dikurung dan dipaksa untuk memberikan layanan seksual adalah lebih besar. Jeratan utang sering digunakan untuk memaksa mereka masuk ke dalam prostitusi.
Ada dua negara yang dikenal sebagai tempat tujuan utama perdagangan orang untuk eksploitasi seksual komersial. Kedua negara itu adalah Malaysia dan Jepang. Meskipun ada banyak laporan yang mengatakan bahwa eksploitasi seksual juga terjadi di Singapura. Namun ada perbedaan cara perekrutannya.
  1. Untuk tujuan Malaysia dan Singapura, korban direkrut dengan janji akan dipekerjakan di tempat-tempat karaoke, sebagai penyanyi di rumah makan, pelayan, dan hostes atau penghibur, atau bahkan dijanjikan sebagai PRT;
  2. Untuk  Jepang mereka dibawa dengan alasan sebagai duta seni budaya atau penari tradisional, kemudian dipaksa untuk memberikan pelayanan seksual.

 Pembantu Rumah Tangga (PRT) –

Baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri. 
Hampir 35% dari 2,6 juta pekerja rumah tangga berusia di bawah 18 tahun – 93% diantaranya adalah anak perempuan.
Merekrut dan memindahkan seseorang untuk pekerjaan rumah tangga dalam negeri memakan biaya lebih rendah, sehingga kurang menguntungkan bagi para pelaku perdagangan orang yang cenderung menaikkan biaya demi melanggengkan pengendalian mereka atas para perempuan dan anak perempuan yang menjadi klien mereka.
Pada gilirannya, risiko pekerja rumah tangga dalam negeri yang terkena jeratan hutang juga lebih rendah.
Menurut Laporan Human Rights Watch (Juni, 2005b), agen-agen penyalur seperti itu bisa mengenakan tarif sebesar Rp 350.000,00 kepada majikan untuk mendapatkan seorang pekerja rumah tangga. Sebagai gantinya, para perekrut dibayar sampai dengan Rp 190.000,00 untuk setiap perempuan atau anak perempuan yang dibawa ke agen penyalur tersebut. Banyak agen penyalur memilih untuk menjaring para perempuan muda pedesaan pada saat mereka tiba di kota-kota besar untuk mencari pekerjaan daripada “datang menebarkan jaring-jaring” ke desa-desa terpencil. Agen-agen tersebut bekerja, terutama, di terminal-terminal bis dan stasiun-stasiun kereta api antarkota dengan membagikan selebaran kepada sasaran-sasaran mereka.
Pekerja rumah tangga yang dipekerjakan di luar negeri mengalami hal hal sebagai berikut dapat dikategorikan sebagai korban perdagangan orang. :
  1. Jika ada perekrutan yang dilakukan dengan memberi informasi yang salah tentang upah dan kondisi-kondisi kerja
  2. Jika tidak ada kejelasan tentang tugas-tugas kerja, jam kerja, libur mingguan dan cuti;
  3. Jika ada pemotongan gaji, atau
  4. Penahanan pembayaran upah yang tidak dijelaskan,
  5. Pengurungan melalui penyitaan dokumen-dokumen perjalanan atau lainnya, dan/atau kekerasan seksual;
  6. Jika perekrut, agen pengiriman tenaga kerja, agen penempatan di luar negeri, petugas yang terkait dengan proses pemindahan, atau
  7. Jika majikan mengambil keuntungan finansial yang tidak semestinya dengan menggunakan jasa dari orang yang bersangkutan.

Itu semuanya dapat dikategorisasikan sebagai korban perdagangan orang.

Menurut para pejabat Malaysia, tahun 2004 terdapat 240.000 pekerja rumah tangga migran perempuan di Malaysia dan lebih dari 90 persen di antaranya adalah orang Indonesia (Human Rights Watch, Juli, 2004a: 13).
Menurut laporan Human Rights Watch (Ibid.), ada cukup bukti bahwa
  1. Para perekrut memberikan informasi yang tidak benar tentang kondisi kerja dan upah yang akan diterima para migran perempuan di Malaysia.
  2. Para calon buruh migran diperlakukan buruk di tempat-tempat penampungan.
  3. Tidak lama setelah dipekerjakan, mereka sering disiksa oleh para majikan dengan tingkatan yang berbeda.
  4. Banyak agensi dan majikan Malaysia menunda pembayaran gaji para pekerja sampai dengan akhir kontrak dua tahun (standar).
Itu semua, berarti meniadakan hak-hak pekerja atas upah mereka dan menciptakan kondisi pemaksaan yang membuat banyak pekerja tidak dapat meninggalkan tempat kerja mereka.

Database IOM menyebutkan setidaknya 0,1% korban perdagangan orangyang kembali dari Malaysia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ini menimbulkan dugaan kemungkinan adanya kekerasan seksual di tempat kerja.
Bisa dikatakan bahwa resiko perempuan dan anak perempuan korban trafiking dalam kondisi serupa perbudakan rumah tangga, khususnya di Malaysia sangat tinggi, tetapi bukan berarti hal tersebut tidak dapat terjadi di negara-negara lain.
Disebutkan bahwa isu-isu kerja paksa PRT di Timur Tengah dan negara-negara Teluk mencakup seperti :
  • Ketiadaan tugas-tugas yang jelas,
  • Jam kerja sangat panjang—kadang-kadang sampai 14 – 16 jam dalam sehari,
  • Mengatur pekerja dengan kekerasan fisik dan kata-kata kasar, dan
  • Pembayaran upah yang lebih kecil daripada yang telah dijanjikan.
  • Kurangnya privasi dan rasa aman (terutama karena adanya paksaan-paksaan seksual oleh majikan laki-laki),
  • Makanan yang tidak mencukupi dan terkadang tidak layak,
  • Tidak peduli akan kondisi sakit pekerjanya termasuk tidak memberikan akses ke perawatan kesehatan,
  • Larangan bersosialisasi, dan
  • Tidak mengijinkan pekerjanya untuk melakukan kebiasaan atau tradisi.
 Bentuk Lain dari Kerja Migran –
Baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.

Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya –
Terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

Pengantin Pesanan –
Terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
Sepuluh tahun terakhir, telah terjadi peningkatan tajam arus perkawinan lintas- wilayah antar-Asia di antara Asia Tenggara dan Asia Timur. Perkawinan tersebut memiliki dua karakteristk:
  • Ketidakseimbangan jender dan geografis – mayoritas prianya berasal dari negara-negara yang lebih kaya dan perempuannya dari negara yang ekonominya kurang berkembang;
  • Mayoritas pasangan dikenalkan dengan niat awal untuk dikawinkan dengan masa perkenalan yang singkat.

Pada tahun-tahun belakangan ini, saat jumlah pengantin asing meningkat dramatis, demikian juga tingkat kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat dengan tajam. Hal ini sangat mungkin karena para korban terisolasi oleh bahasa, latar belakang budaya berbeda, dan kurangnya informasi.
Sungguh, pengantin-pengantin asing diperlakukan sebagai barang dagangan yang diimpor ke Taiwan. Selain ancaman kekerasan dalam rumah tangga, hak bekerja, hak milik, dan hak untuk mengasuh anak mereka sama sekali diabaikan.
Kelompok korban kekerasan ini mudah terabaikan dan dengan demikian memerlukan perhatian lebih banyak”.

Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak –
Terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
  • Lingkaran Pengemis Terorganisasi
Sejumlah kajian propinsi menemukan bukti bahwa anak-anak miskin direkrut dan dibawa ke tempat lain oleh sejumlah orang yang menangguk keuntungan dari penghasilan mereka. Dalam beberapa kasus, mereka dipindahkan masih di dalam propinsi yang sama (contohnya di Bali), atau ke propinsi-propinsi lain (seperti dari Sulawesi Selatan ke Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau).
(......"Salah satu contoh perdagangan anak adalah adanya wanita yang sengaja hamil dan melahirkan bayi untuk disewakan kepada pengemis," ......)
  • Salah satu bentuk perdagangan anak laki-laki lainnya yang diketahui di Indonesia adalah di jermal-jermal. 
Jermal adalah tempat pemancingan di lepas pantai sepanjang pantai timur Sumatera Utara. Meskipun secara signifikan telah berkurang karena upaya-upaya berkelanjutan Organisasi Buruh Internasional (ILO), tetapi praktik mempekerjakan anak-anak kecil untuk bekerja di jermal-jermal ini tetap berlanjut.

Database IOM juga menyebutkan sejumlah laki-laki dan perempuan diperdagangkan untuk bekerja sebagai penjaga toko, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa hal ini belum meluas atau masih belum banyak diketahui. Dari beberapa kesaksian buruh migran PRT diketahui bahwa selain pekerjaan rumah (Human Rights Watch, 2004a), mereka juga diminta untuk mengelola toko yang dimiliki oleh majikan mereka. Kebanyakan hal ini disebutkan dalam konteks daftar pekerjaan rumah yang mereka harus kerjakan, dan bukan sebagai sesuatu yang mereka tidak suka. Selama penjajakan lapangan di propinsi Sulawesi Selatan, beberapa informasi menyebutkan bahwa kadang-kadang perempuan migran yang tidak berdokumen dipekerjakan di Malaysia sebagai penjaga toko dan penjual sayuran. Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang kondisi hidup dan kerja mereka.
Sampai pada variasi yang lebih terbaru yaitu anak jalanan (pengemis) sebagai komoditas seks, target kaum pedophilia atau korban perdagangan organ tubuh manusia.

Trafficking/penjualan Bayi –
Baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.
Dari laporan-laporan yang ada menunjukkan bahwa penjualan bayi telah terjadi di Indonesia paling tidak sejak tahun 1998. Pada 12 November 2002, Jakarta Post memuat sebuah berita tentang “Penyergapan Jaringan Perdagangan Bayi”, yang melaporkan bahwa Kepolisian Tanjung Pinang menggagalkan sebuah sindikat yang sering menjual bayi yang didapat dari lokalisasi Batu 15 di Pulau Bintan sejak 1998 (Baby Traffickers, 2002). Jaringan penjualan bayi juga ditemukan di Kalimantan Barat (Indonesian Targeted, 2002) di Indonesia dan Sarawak (Baby Factory, 2002) di Malaysia. Batam nampaknya menjadi tempat transit untuk banyak bayi yang secara gelap dijual ke pasangan-pasangan dari Singapura dan Malaysia. Bayi-bayi tersebut didapatkan dari banyak daerah di Indonesia. Tabel 2.2 menunjukkan bahwa, selama tahun 2005, kasus penjualan bayi dilaporkan oleh sedikitnya 11 propinsi termasuk Kepulauan Riau. Salah satu faktor pendorong di balik meluasnya penjualan bayi adalah tingginya harga bayi yang dijual di pasar gelap karena telah berhasil menghindari prosedur panjang yang biasanya dikaitkan dengan adopsi anak internasional. Dilaporkan bahwa seorang bayi dapat dijual dengan harga antara US$4,000 sampai US$5,000 di Malaysia - dengan kurs saat ini (Baby Factory, 2002).

Penting untuk dicatat bahwa 34 kasus, lebih dari seperempat kasus “perdagangan orang” yang tercatat di Indonesia selama tahun 2005, terkait dengan penjualan bayi (Tabel 2.2). Pada saat yang sama, 12 bayi dan seorang anak yang diduga telah dijual, dipulihkan oleh IOM selama 16 bulan sampai Juli 2006. Laporan Kajian Propinsi dari Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau juga mengkonfirmasikan bahwa penjualan bayi memang telah terjadi. Kasus-kasus penjualan bayi yang lahir dari perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks, dari perempuan-perempuan yang berada di tempat-tempat penampungan agen pengiriman tenaga kerja, dan dari buruh migran perempuan di luar negeri, telah dilaporkan dari Kajian Propinsi Kepulauan Riau. LSM-LSM menyatakan bahwa bayi-bayi itu dipisahkan dari ibunya sebagai cara dari pembayaran “hutang”. Oleh karena itu, tampak dalam beberapa kasus, penjualan bayi adalah akibat dari jeratan hutang
“Penjualan bayi yang terkadang digunakan sebagai cara untuk menghindari persyaratan resmi adopsi, mencakup pemindahan seorang anak dengan paksaan atau bujukan, atau situasi di mana penipuan atau kompensasi berlebihan digunakan untuk mempengaruhi pelepasan seorang anak. Penjualan bayi bukan jalan adopsi yang bisa diterima dan melibatkan banyak hal yang sama dengan unsur perdagangan orang/trafiking” (U.S. Departement of State, 2005).
Hal ini dilaporkan sebagai sebuah kecenderungan baru. Sayangnya tidak tersedia informasi yang memadai tentang sejauh mana permasalahan tersebut, dan sifat eksploitasi apa yang dialami pengemis-pengemis anak tersebut.

Kawin Kontrak
Kawin kontrak merupakan fenomena “setempat” yang melibatkan perempuan dan anak perempuan.  Sebagian besar mengalami eksploitasi seksual dan reproduktif. Selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci, para  “istri kontrak” juga memberikan layanan seksual “kapan saja”. Setelah kontrak berakhir mereka ditinggalkan. .
Keuntungan dari praktek kawin kontrak sebagian besar didapat oleh keluarga perempuan, tetapi ada juga yang diperoleh calo yang mengatur perkawinan dengan pekerja asing. Meskipun hal ini dapat menyebabkan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga dan suaminya tetap saja sulit menggolongkan kawin kontrak sebagai perdagangan orang karena tidak melibatkan perpindahan si perempuan. Sebagaimana yang ditemui dalam laporan-laporan yang ada, mereka bebas dan tidak dilarang untuk menemui keluarga dan teman mereka.

Beberapa Modus operandi dari tindak pidana trafficking yang sering kali terjadi adalah sebagai berikut:
  • Merekrut calon pekerja wanita 16-25 tahun;
  • Dijanjikan bekerja di restoran, salon kecantikan, karyawan hotel, pabrik dengan gaji rm 500 s/d rm 1.000;
( ...... Adapun modus yang digunakan pelaku untuk menjerat RP yakni mengajaknya berjalan-jalan ke Surabaya. Di tempat ini pelaku membelikan pakaian dan kebutuhan RP. Selanjutnya korban ditawari pekerjaan yang menggiurkan di luar negeri sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Sementara seluruh persyaratan adminitrasi dan kelengkapan dokumen akan diurus pelaku. .....
  • Identitas dipalsukan;
(.... Satuan Reskrim Polrestabes Surabaya bongkar pemalsuan paspor yang biasa digunakan untuk pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. ............)
  • Biaya administrasi, transportasi, dan akomodasi ditipu oleh pihak agen;
  • Tanpa ada calling visa atau working permit atau menggunakan visa kunjungan singkat;
  • Korban dijual, disekap, dan dipekerjakan sebagai PSK..
(......."Mereka tidak boleh kemana-mana," kata pria yang bekerja sebagai kasir kafe itu .......)
  • Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri;
(.....Mereka dipekerjakan dan dieksploitasi sebagai pembantu rumah tangga di Brunei. Namun, majikannya tidak mau membayar upah kepada mereka. Pasalnya, sang majikan beralasan telah membayar gaji mereka ke agen yang membawanya ke Brunei. ......)
  • Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi;
  • Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur;
  • Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya;
(....... "Korban sempat menolak karena jaraknya terlalu jauh. Tapi karena ada ancaman dan harus membayar utang ibunya (pelaku) akhirnya korban mau juga" jelas Sandi.......)
  • Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong;
  • Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib; dan
  • Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;
  • Penculikan anak melalui situs jejaring sosial yang terjadi akhir-akhir ini.
(.....Modusnya, foto 2 gadis itu dipasang dan ditawarkan melalui facebook sebagai gadis “siap booking”. Jika ada peminat maka menghubungi dan bertransaksi harga melalui Afif. Dan setelah terjadi kesepakatan harga maka Afif meminta Vey untuk mengantarkan kedua gadis remaja itu ke lokasi kesepakatan dengan pelanggan.....
  • Dijanjikan Umroh namun saat tiba didaerah Timur Tengah sering kali tidak pernah sampai tujuan.
(......Penggunaan visa umroh menjadi modus warga Indonesia untuk bekerja di Arab Saudi tanpa prosedur semestinya. Ibadah umroh dijadikan kedok untuk mencari majikan. Dengan dibantu oleh keluarga atau kenalan, maka mereka datang ke Arab Saudi, dengan niat untuk bekerja......)
  • Perempuan muda dijual ke luar negeri setelah sebelumnya dinikahi secara siri
(..... SY telah dinikahi siri oleh Ruhan sejak Februari 2011, dan hingga kini pria tak bertanggung jawab itu masih buron. Menurut Ariest, ini merupakan modus operandi baru perdagangan anak di Indonesia. Pasalnya korban terlebih dulu dinikahi oleh tersangka dengan menambahkan umur dari 15 tahun menjadi 22 tahun....)

HENTIKAN PERDAGANGAN MANUSIA....!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar