VISI KAMI

“ AGAR HAK DAN MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH DIAKUI DAN DIHORMATI. ”

Ini Sebagian Kisah Mereka....

Artikel ini sebagian diperoleh dari Internet dan merupakan kisah nyata dari sebagian dari umat manusia yang mendapatkan pelecehan atas martabat mereka sebagai manusia. Martabat yang sebenarnya adalah citra Allah sendiri, namun telah direndahkan oleh sebagian manusianya itu sendiri.
Semoga kumpulan artikel ini bisa menjadi inspirasi dan informasi bagi mereka yang masih peduli atas martabat manuia.

( Kumpulan Kisah dan Cerita tentang PERDAGANGAN ORANG )

1. TKI Korban Trafficking Bersaksi Di PBB
2. Rokiyah Dieksploitasi, Pelaku Trafficking Kebal Hukum
3. Aku Dijual Ibu
4. ”Kemana Aku Harus Mencari?” - Nestapa Marnis, Keluarga Korban Human Trafficking di Solok
5. Dari Cipanas ke Sebangkau Nyaris Dijual
6. Psikolog: Jangan Salahkan Prostitusi via Facebook
7. Pelajar Asal Jakarta Dijadikan PSK
8. Anak TKI Bondowoso selalu menangisi ibunya
9. Derita Kusmiati Korban Perdagangan Manusia
10. Derita TKI: Ketika Pemerintah Tak Bisa Diandalkan

TKI KORBAN TRAFFICKING BERSAKSI DI PBB

TEMPO.CO, Wina - Seorang tenaga kerja wanita dari Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia bersaksi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia menjadi narasumber dalam salah satu acara dalam rangka Konferensi Negara Pihak Konvensi PBB Anti-Kejahatan Teroganisasi Lintas Negara. TKW dengan nama samaran Memey ini merupakan korban perdagangan manusia komplotan yang beroperasi di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Memey awalnya dijanjikan akan bekerja di restoran atau menjadi pembantu rumah tangga. "Ternyata saya disuruh melayani tamu," ujar perempuan 28 tahun itu di kantor PBB di Wina, Austria, Rabu, 17 Oktober 2012.

Memey berangkat ke Malaysia pada Maret 2006 lewat Semarang menuju Entikong, Kalimantan Barat, dengan menggunakan kapal. Sesampainya di Entikong, ia bersama dua rekan lainnya diserahkan ke sekelompok pria di perbatasan Entikong.

Dari Entikong, perempuan asal Temanggung, Jawa Tengah, ini dimasukkan ke rumah penampungan di Kuching, Malaysia. Di sana, ternyata sudah ada lebih dari 10 perempuan lain yang dipaksa menjadi pekerja seks. "Saya melakukan itu selama empat bulan," kata Memey.

Ia akhirnya bisa pulang setelah polisi Malaysia membongkar sindikat tersebut. Memey sempat diberi bekal pelatihan di Konsulat Jenderal Indonesia di Kuching, kemudian di Jakarta. "Saya tidak ingin hal ini terjadi pada perempuan lain," ujar Memey soal alasan membagi kisahnya.

Konferensi Negara Pihak Konvensi PBB Anti-Kejahatan Teroganisasi Lintas Negara dihadiri perwakilan 172 anggota penandatanganan konvensi tersebut. Dalam konferensi kali ini, Duta Besar Indonesia untuk Austria, Rachmat Budiman, didapuk sebagai Presiden Konferensi.

Konferensi yang berlangsung mulai 15 hingga 19 Oktober 2012 ini mengangkat dua isu yang menjadi bahasan utama, yakni mekanismereview implementasi dan partisipasi organisasi non-pemerintah dalam konferensi. Tiga protokol yang di-review implementasinya adalah bentuk dan dimensi baru kejahatan lintas negara, kerja sama internasional, serta aspek finansial dan pendanaan kegiatan.

TITO SIANIPAR (WINA)
Sumber : Tempo
KORBAN TRAFFICKING TAMPIL DI PBB    

TEMPO.CO, Wina -- Suasana ruang rapat sebesar lapangan basket itu serentak berubah sendu. Film pendek tentang perjalanan hidup Memey, bukan nama sebenarnya, baru saja diputar. Sekitar 100 orang yang hadir terdiam, menunggu si Memey yang larut dalam tangis.
"Saya tidak mau ada Memey-Memey lain," kata Memey di forum diskusi yang digelar Kedutaan Besar Indonesia untuk Austria, dalam rangka Konferensi Negara Pihak Konvensi PBB Anti-Kejahatan Terorganisasi Lintas Negara, di Markas PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
Wakil Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad Iqbal, mengatakan, Memey adalah korban trafficking atau perdagangan manusia pertama yang tampil di forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lihat: TKI Korban Trafficking Bersaksi di PBB.
Memey memang sengaja dihadirkan delegasi Indonesia, "Untuk memberi gambaran yang jelas soal korban trafficking," ujar Iqbal, yang mendampingi Memey.
Benar saja. Presentasi film Memey ditambah kesaksiannya di hadapan perwakilan delegasi asing berhasil mendapat simpati luas. Bahkan ada peserta yang sampai menyeka air matanya. "Presentasi Indonesia tadi sangat menyentuh," kata Susan, diplomat asal Hungaria, kepada Tempo.
Di hadapan para delegasi internasional, Memey menyampaikan sepenggal kisah hidupnya. Keberangkatannya untuk bekerja di negeri seberang karena didorong kebutuhan ekonomi. "Saya berasal dari keluarga yang tidak mampu," kata anak ketiga dari enam bersaudara ini.
Perempuan 28 tahun itu juga mengungkapkan betapa pedihnya menjadi korban trafficking. "Tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa," kata perempuang asal Temanggung ini. "Bayangkan saya adalah anak, saudara, atau diri Anda sendiri," ujar Memey.
Oleh karena itu, sebagai korban trafficking, Memey mengajak seluruh delegasi yang hadir untuk berkolaborasi memerangi penyeludupan manusia. "Saya harap Anda semua serius dan bekerja sama melawan human trafficking," kata Memey.
DARI SECANG HINGGA SINGAPURA

Sebelum menjadi korban perdagangan manusia di Malaysia, Memey sempat bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura. Nasibnya juga sial. Ia tak menerima penghasilannya sebagai pembantu rumah tangga.
Seusai memberikan testimoni di hadapan delegasi negara-negara pihak Konvensi PBB Anti-Kejahatan Terorganisasi Lintas Negara, Memey membuka kisah pilunya. "Saya bekerja pertama kali sebagai pembantu rumah tangga di Singapura," ujar Memey kepada Tempo di Markas PBB Wina, Austria, Rabu, 17 Oktober 2012 lalu. Lihat: TKI Korban Trafficking Bersaksi di PBB.
Keberangkatan Memey bekerja di luar negeri didorong oleh keadaan ekonomi keluarganya yang sulit. Sebab, penghasilan orang tua Memey sebagai buruh tani tidak cukup untuk membiayai hidup anak-anaknya. "Saya dijanjikan bisa menerima gaji lebih dari Rp 2 juta setiap bulannya," kata perempuan kelahiran Temanggung, 17 Juli 1984, itu.
Dari perkenalannya dengan seorang pedagang ikan asin di Pasar Secang, Magelang, Memey tergiur ajakan bekerja di luar negeri. Melalui seorang penyalur tenaga kerja, pada 2001, Memey berhasil berangkat ke Singapura ketika masih berusia 17 tahun.
Sebelum ke Singapura, Memey sempat menghuni tempat penampungan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, selama satu bulan. "Paspor dan segala keperluan diurus agen di sana," kata Memey.
Di negeri Singa itu, Memey bekerja selama 1,5 tahun. Ia sempat tiga kali berganti majikan. Tapi, ironisnya, Memey tak pernah mengantongi hasil kerjanya. "Saya tidak terima bulanan," ujarnya. "Saya juga tidak tahu apakah majikan bayar langsung ke agen."
Tak kuat dengan kondisi itu, Memey akhirnya memutuskan pulang. "Ketika pulang, saya cuma dikasih Rp 500 ribu dari agensi," ujar Memey.
Pada 2004, Memey menikah dengan seorang karyawan hotel di Surabaya. Setahun setelah menikah, ia melahirkan putra pertamanya.
TAWARAN KILAT NAN MENGGIURKAN

Berkeluarga tak membuat kondisi ekonomi Memey membaik. Bahkan cekcok dengan suaminya mendorong Memey kembali berangkat sebagai tenaga kerja informal ke luar negeri.

Pada Maret 2006, Memey berangkat ke Malaysia. Kali ini ia dijanjikan akan dipekerjakan sebagai penjaga toko atau pelayan restoran. "Yang membuat saya tergiur adalah karena tidak harus tinggal di penampungan," kata perempuan kelahiran Temanggung, 17 Juli 1984, itu, di Markas PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012. Baca: TKI Korban Trafficking Bersaksi di PBB.
Tawaran bekerja ke Malaysia didapat Memey dari kenalannya, Suyatmi, yang dikenal sebagai calo di salah satu Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). "Kali ini saya berangkat sebagai perorangan, tidak melalui agen," ujarnya.
Dari Suyatmi, Memey diserahkan kepada seorang perempuan yang bernama Sri dari Magelang. Dari Magelang, Memey diberangkatkan menuju Entikong, Kalimantan Barat, dengan menggunakan kapal laut melalui Semarang. "Saya berangkat bertiga, bersama Yayuk dan Ngaliah," ujar Memey.
Di Entikong, seorang pria yang bernama Masnok menjemput dan mengurus segala keperluan mereka, termasuk paspor. "Saya tidak keluar uang, hanya bermodal KTP (kartu tanda penduduk)," kata Memey. Ketiga perempuan belia itu sempat menginap di sebuah rumah penampungan di Entikong selama empat hari.
Setelah semua keperluan beres, Memey bersama dua temannya dibawa ke perbatasan. Di perbatasan, Memey diserahterimakan kepada empat pria tegap yang diketahui sebagai warga Malaysia. "Mereka seperti bodyguard. Kami dibawa ke Kuching, Malaysia," kata Memey.
Di Kuching inilah kisah sengsara Memey dimulai. Menurut Memey, sampai pada titik ini, dia belum sadar sudah diperdagangkan. "Semuanya terasa normal," kata dia.
SAYA DIJUAL SETELAH DIDANDANI

Memey baru sadar menjadi korban perdagangan manusia setelah berada di Kuching, Malaysia. Perempuan-perempuan muda asal Indonesia dipekerjakan sebagai pekerja seks yang harus melayani tamu.
Sesampai di Kuching, Malaysia, pada pertengahan Maret 2006, Memey bersama dua rekannya ditempatkan di penampungan. "Mirip barak. Cuma ruang besar dengan banyak tempat tidur bertingkat yang berbaris," kata Memey di kantor PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
Hari berikutnya, bersama lebih dari 10 perempuan lainnya, Memey dibawa ke mal untuk berbelanja kebutuhan. "Saya beli empat pasang baju, dua sepatu, juga lipstik dan bedak," kata Memey. Setelah dari mal, mereka semua dibawa ke salon untuk didandani.
Seusai berdandan, para perempuan korban perdagangan manusia itu diajak makan malam bersama. "Ternyata di situ kami dipamerkan ke pelanggan-pelanggan," kata dia. Memey kemudian dibawa oleh salah seorang tamu ke sebuah hotel. "Saya belum sadar," ujarnya.
Setelah berada di dalam kamar, Memey baru sadar bahwa dia harus menyerahkan tubuhnya kepada pelanggan tersebut. "Dia bilang sudah beli saya dan berhak atas tubuh saya malam itu," ujarnya. Tangis Memey tak membuat si pria hidung belang mengurungkan niatnya. "Saya pasrah saja. Tak bisa melawan."
Keesokan paginya, bodyguard rumah penampungan sudah menjemput Memey di hotel. Kembali ke penampungan, Memey mendapati temannya, Yayuk, histeris dan menangis terus. "Dia akhirnya disiksa bodyguard," kata Memey. "Bahkan dia juga diperkosa ramai-ramai."
Menjadi pekerja seks dan melayani tamu dilakoni Memey setiap hari. "Bahkan pernah dua kali dalam satu malam," kata dia. Memey hanya libur ketika mendapat haid. "Tamu terus ada setiap malam," kata Memey.
Memey tidak tahu penampungan itu berada di sebelah mana Kota Kuching. Pasalnya, perempuan-perempuan korban trafficking tidak bisa melihat dunia luar, kecuali sedang dibawa tamu. Para bodyguard juga menjaga mereka dengan ketat.
POLISI DAN PELANGGAN BAIK HATI

Rumah penampungan para perempuan korban trafficking pernah digeruduk polisi Malaysia, dan para penghuninya ditangkap. Belakangan mereka dilepas lagi dan kembali beroperasi.
Menurut Memey, penggerebekan berawal dari kaburnya seorang penghuni yang kemudian melapor ke polisi. "Saya tidak ditangkap polisi karena kebetulan sedang ada pelanggan," kata Memey di kantor PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
Memey mengaku tidak ingat nama rekannya yang berhasil kabur itu. Usaha rekannya itu membuahkan hasil: seluruh isi penampungan kosong. Oleh komplotan, Memey kemudian ditransfer ke tempat penampungan lain. "Ternyata mereka punya beberapa tempat penampungan," kata Memey.
Rekan-rekan Memey yang ditangkap baru dilepas sekitar dua hingga tiga pekan kemudian. "Bos besar turun tangan mengurus," kata Memey tanpa memerinci siapa bos besar yang dimaksud. Menurut dia, jenjang di dunia mafia perdagangan manusia tersusun rapi. Yang sehari-hari menjaga mereka hanya lapisan terbawah.
Memey sendiri mengakui tak pernah berusaha kabur karena punya strategi berbeda. "Strategi saya adalah menangis depan pelanggan dan memohon untuk membebaskan saya," kata dia.
Akhirnya, cara itu berbuah hasil. Salah seorang pelanggan Memey iba dan kerap mem-booking atau membawa Memey keluar dari penampungan. Sesampainya di hotel, si pelanggan meminta Memey beristirahat. "Dia tak menyentuh saya. Bahkan saya dilayani dan dibelikan makanan," kata Memey.
Hingga pada suatu waktu, si pelanggan yang baik hati ini memberikan sebuah telepon seluler kepada Memey. "Siapa tahu nanti berguna untuk hubungi keluarga atau siapa pun," kata Memey menirukan ucapan si pelanggan.
Selain si teman yang berusaha kabur dan melapor polisi, ada beberapa cerita lainnya seputar usaha kabur para korban trafficking ini.

TELEPON SELULER YANG MEMBEBASKAN
Telepon seluler yang diberikan oleh seorang pelanggan akhirnya berguna buat Memey. Berkat telepon seluler itu, para korban trafficking bisa lolos dari jerat mafia.
Setelah digerebek polisi, bos besar pelaku perdagangan perempuan berencana mengalihkan bisnis haramnya ke Kuala Lumpur. "Kami mau dijual lagi ke Kuala Lumpur," kata Memey ketika ditemui Tempo di kantor PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
Memey dan teman-temannya mengetahui rencana itu karena menguping dari obrolan di antara pada bodyguard. Rencana itu membuat mereka waswas karena kondisi di Kuala Lumpur tak lebih baik dari di Kuching. "Kami sepakat untuk kabur," kata perempuan asal Temanggung, Jawa Tengah, ini.
Teman Memey, Ade, kemudian menghubungi keluarganya secara diam-diam melalui telepon seluler Memey. Ade adalah korban trafficking yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Kebetulan salah seorang kerabat Ade ada yang bekerja di Kuching, Malaysia.
Sehari setelah sambungan telepon itu, polisi kembali menggerebek lokasi penampungan. "Anehnya, ketika polisi menggerebek, tidak ada satu pun bodyguard yang berjaga," kata Memey. Diduga rencana penggerebekan polisi sudah diketahui jaringan mafia trafficking.
Bersama sekitar 10 perempuan lainnya, Memey ditahan di kantor polisi Kuching selama dua pekan. Setelah itu, mereka dijemput oleh staf Konsulat Jenderal Indonesia di Kuching. "Kami diberi pembekalan satu minggu di KJRI," kata Memey.
Setelah itu, mereka juga mendapat pembekalan dari IOM (International Organization for Migration) selama tiga pekan di Pontianak, Kalimantan Barat. Mereka juga menjalani tes kesehatan. "Tapi kami tidak dikasih tahu hasilnya," kata Memey.
Setelah dari Pontianak, Memey kemudian dibawa ke Jakarta dan menjalani tes kesehatan di Rumah Sakit Polri Kramat Jati. "Di sini baru ketahuan saya mengidap HIV," kata Memey.

HIDUP BARU DENGAN HIV

Lepas dari jeratan mafia perdagangan manusia tak membuat hidup Memey menjadi lebih mudah. Mengidap HIV adalah cobaan berat yang harus dijalaninya sepanjang hidup.

Setelah menjadi korban perdagangan manusia di Kuching, Malaysia, Memey kembali ke kampung halamannya di Temanggung, Jawa Tengah, sekitar akhir 2006. Namun cobaan bertubi-tubi datang. Hubungannya dengan suami tak lagi harmonis.
"Saya akhirnya bercerai dengan suami saya," kata Memey di kantor PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
Menyandang status pengidap HIV dan janda dengan satu anak tak membuat Memey menyerah. Ia berusaha keras mencari tahu soal virus yang menggerogoti kekebalan tubuhnya itu. "Saya bolak-balik Temanggung-Salatiga untuk menjalani rehabilitasi HIV," kata perempuan 28 tahun itu.
Jaringan advokasi pengidap HIV Salatiga didapat Memey dari IOM yang pernah memberi pembekalan di Pontianak. Setelah paham seluk-beluk dunia HIV, pada 2008, Memey akhirnya membentuk kelompok sendiri di Temanggung yang diberi nama Smile Plus. "Awalnya hanya tiga orang, tapi sekarang sudah 54 orang," kata Memey.
Membuat organisasi berisi pengidap HIV bukanlah hal mudah. Bahkan Memey sempat hendak diusir para ulama di sana karena dinilai membawa penyakit. "Tapi akhirnya mereka bisa menerima," kata Memey. Ia bertekad untuk tetap memberi pengertian yang benar soal HIV. "Soalnya pengidap HIV butuh pendampingan," kata dia.
Sebagai penyuluh HIV, pada 2009, Memey bertemu dengan Yogo, sesama pengidap HIV. Mereka kemudian menikah pada 2010 lalu dan dikaruniai anak setahun kemudian.
Bersama-sama mereka menjadi penyuluh HIV di Temanggung dan sekitarnya. "Salah satu wilayah jangkauan yang paling berat adalah Parakan," kata Memey. Di sana, HIV banyak ditularkan melalui jarum suntik.
Memey mengatakan bersedia membeberkan kisah hidupnya agar semua pihak bisa mengerti dan berani melawan mafia perdagangan manusia. Memey juga mengaku tidak dendam dengan orang-orang yang dulu menjerumuskannya. "Memang sudah jalannya," kata dia pasrah.

TITO SIANIPAR (Wina)
Sumber : Tempo
Diedit kembali oleh :
Admin

Rokiyah Dieksploitasi, Pelaku Trafficking Kebal Hukum 1 Maret 2013
by Juwarih -
.Nasib malang kembali menimpa Buruh Migran Indonesia (BMI). Kali ini menimpa Rokiyah B.T Dulkarim (41) perempuan asal Desa Mundu Blok Bucere RT/RW 12/06 Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Tanggal 12 Agustus 2011 Rokiyah pulang dari Yordania dalam kondisi cacat sehumur hidup, setelah jatuh dari lantai dua gedung apartemen milik majikannya, saat sedang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Yordania.
Rokiyah bekerja ke Yordania melalui seponsor, bernama Wartimah (40) asal desa Mundu, Karangampel. Tanggal 22 Agustus 2010 Rokiyah diterbangkan melalui perantara PT. Andalan Mitra Prestasi Bekasi-Jawa Barat. Selama kurang lebih satu tahun Rokiyah bekerja pada majikan yang bernama Suhud dan istrinya Rima. Nasib buruk sepertinya memang menyapa perempuan beranak tiga anak ini. Ia diperlakukan semena-mena oleh majiakannya, dengan bekerja dari pukul 06.00 pagi hingga 03.00 dini hari. Tak hanya itu, dia diperlakukan tak manusiawi karena harus bekerja di tiga rumah berbeda, serta tak mendapat jatah makan yang cukup.
Berita tentang Rokiyah memang sempat ramai dibicarakan oleh beberapa media arus utama. Sekitar akhir tahun 2011 dan awal tahun 2012 Rokiyah di beritakan sehingga mengundang perhatian sejumlah kalangan termasuk pemerintah Kabupaten Indramayu. Saat itu, Bupati Indramayu yang didampingi oleh Kadisnaker, Camat, Kepala Desa beserta jajarannya mendatangi rumah Rokiyah dengan memberikan santunan uang 2,5 juta rupiah. Uang itu kemudian diterima langsung oleh suaminya (Banaji 46).

Berjalannya waktu, membuat kasus Rokiyah tak lagi mendapat perhatian. Bupati Indramayu pun, seolah lepas tangan begitu saja hanya dengan memberikan uang yang jumlahnya sedikit tersebut. Sebagai langkah bantuan, pada 26 Februari 2013 lalu media Cuplik.com kembali melakukan reportase terkait nasib buruk yang menimpa Tenaga Kerja Wanita (TKW) tersebut. Berikut adalah petikan wawancara yang dilakukan reporter Cuplik.com kepada Rokiyah.
Cuplik.com : “Ibu Rokiyah pernah di kunjungi oleh Bupati Indramayu? Bupati memberikan apa saja dan menjanjikan apa?”
Rokiyah : “Iya. Saya diberi uang sebesar 2,5 juta. Tidak di janjikan apa-apa hanya di do’ain saya semoga cepat sembuh. Bupati juga berkunjung sebentar kemudian pulang lagi.”
Cuplik.com : “Apakah Bupati Indramayu akan memperjuangkan atau mengurusi kasusnya Ibu Rokiyah?”
Rokiyah : “Tidak tahu, namun setelah dikunjungi bupati, sekitar empat hari setelahnya ada orang yang kesini membawa saya ke R.S Bhayangkara Losarang. Empat hari di R.S saya hanya diperiksa saja, kemudian di bawa pulang lagi dengan alasan pihak R.S tidak memiliki alat-alat operasinya.”
Cuplik.com : “Bagaimana dengan tanggung jawab dari sponsor yang merekrut Ibu?”
Rokiyah : “Tadinya sponsor tidak mau menaggapi, tapi setelah suami saya sering mengancam, akhirnya sponsor mau kami bawa ke Balai Desa Mundu. Di sana saya disuruh menandatangani semacam surat perjanjian. Saya pun diberikan uang 5 juta rupiah dari sponsor. Sebanarnya saya tak mau menandatanganinya, tetapi saya sendiri butuh uang untuk berobat. Siapa yang mau diberi uang segitu, sedangkan beban yang ditanggung adalah cacat seumur hidup.”
Cuplik.com : “Harapan apa, yang diinginkan Ibu Rokiah?”
Rokiah : “Saya ingin kembali sehat seperti semula, karena saya kasihan pada ketiga anak saya. Jika saya terus seperti ini, siapa yang mengurus anak saya sedangkan suami setiap harinya mengurusi saya saja. Tanah saya sudah habis dijual untuk berobat. Saya juga ingin untuk dibuatkan kamar mandi di dalam rumah agar buang air besar dan kecil tidak susah.”
Menanggapi wawancara yang dilakukan oleh Cuplik.com kepada Rokiyah, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Indramayu, Juwarih (32) menyatakan kekecewaannya. Menurutnya, Bupati Indramayu seharusnya melakukan penuntutan tindak pidana pada sponsor dan PPTKIS perekrut Rokiyah. “Para perekrut itu seharusnya dituntut, karena sudah melanggar peraturan sesuai dengan bunyi UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN dan UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking),” jelas Juwarih.
Hal yang mengherankan adalah perlakuan yang diterima Rokiyah dari pihak pemerintah Kabupaten Indramayu. Seharusnya, Ana Sopana Irianto selaku Ketua Gerakan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Indramayu, memberikan fasilitas advokasi. Namun, Ana yang juga istri Bupati Indramayu tersebut hanya memberi santunan sekedarnya dan memberikan jaminan pengobatan, yang cuma berlangsung empat hari.
Pendapat Juwarih setelah mengunjungi dan berdialog langsung dengan Rokiyah, juga menyimpulkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang telah manfaatkan kasus Rokiyah. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan kasus tersebut, di mana sponsor dan perekrutnya bebas berkeliaran. Selain itu, baik Rokiyah maupun suaminya belum pernah di panggil untuk memberi kesaksian di pengadilan, padahal sudah hampir satu tahun. Artinya, para pelaku perekrut sampai saat ini belum di seret ke meja hijau.
“Wajar saja jika Kabupaten Indramayu sebagai target para trafficker, serta peringkat pertama sebagai banyaknya kasus trafficking dengan modus bekerja keluar negeri. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari pemerintah daerah, untuk memberantas para pelaku trafficking. Seharusnya pemerintah membuat kebijakan untuk melindungi warganya,” ucap Juwarih dengan geram. Selain itu, Juwarih juga menambahkan bahwa santunan yang diberikan Bupati Indramayu hanya pencitraan semata.
DPC SBMI Indramayu, akhirnya sampai pada kesimpulan untuk bertindak dengan mengadakan audiensi dengan instansi-instansi terkait seperti Disnakertrans, DPRD, Pemda, BNP2TKI. Lebih jauh lagi, Juwarih juga menyatakan siap untuk membawa kasus Rokiyah pada Presiden RI. Tak hanya itu, pihaknya juga akan terus menuntut komitmen pemerintah Indramayu dalam memberantas pelaku trafficking. Harapannya, dikemudian hari kasus yang menimpa Rokiyah tidak terulang lagi.
Sumber : Buruhmigran


AKU DIJUAL IBUKU

Gabungan organisasi buruh dan perempuan melakukan aksi longmarch di Bundaran HI menuju Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (8/3). Aksi itu dalam rangka memperingati hari perempuan internasional dan menuntut penghentian kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan diskriminasi yang masih terdapat di sejumlah kebijakan. (Foto: Antara)
KBR68H - Kasus perdagangan manusia seperti puncak gunung es. Banyak yang tak dilaporkan. Banyak pula yang tak tuntas dan berhasil menyeret pelakunya ke bui. Data Kepolisian Indonesia menyebut tahun lalu lebih dari 800 kasus perbudakaan modern tersebut yang dilaporkan. Berikut cerita salah satu korban perdagangan manusia. Karena motif ekonomi, ia dijual sang ibu ke negeri jiran.
Remaja perempuan 17 tahun itu terlihat tak canggung mengendarai sepeda motor sport. Penampilannya terlihat tomboy. Tubuhnya dibalut pakaian casual. Kedua kakinya mengenakan sepatu sport. Di balik wajahnya yang ayu, perempuan yang nama aslinya disamarkan ini menyimpan cerita memilukan. Kisah Ria sebut saja namanya demikian, dimulai empat tahun silam. Saat itu usianya menginjak 13 tahun. Suatu saat ibu kandungnya yang tinggal di Depok, Jawa Barat mengiming-imingi uang ratusan ribu rupiah. Entah dari mana asal uang itu.
Singkat cerita kenang Ria, ia dibawa sang ibu ke sebuah rumah penampungan di Jakarta. Di sana ia melihat banyak remaja perempuan seusianya. Mereka dijanjikan bekerja di perusahaan otomotif Malaysia. Tapi ceritanya lain, Ria justru menjadi korban perdagangan manusia. Ia dijual ibu kandungnya sendiri, penuhi hasrat seksual hidung belang
“Dulu aku dikasih duit dua ratus ribu di Depok main-main game. Tahunya ya sudah dikirim saja ke sana (Malaysia –red). Katanya kerja di showroom, kan aku suka otomotif . Ya udah gak apa-apa aku ke sana. Malah dijual semuanya, dijual badannya, ya semuanya. Sampai ada yang nawar? Iya lah diributin kali disitu, ini ada ini ada ini ada ini, ditawar-tawarin gitu. Kebelilah, satu keperawananan itu berapa tau, dibeli lah. Aku mah udah gak perawan, aku jujur,” katanya lirih.
Lama kelamaan Ria tak tahan dengan pekerjaan yang digelutinya. Sekitar 2010 ia kabur dan melaporkan kasusnya ke Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Akibat pekerjaannya yang berisiko, ia mulai disergap penyakit kelamin. Singkat cerita Ria ditolong oleh pasangan suami-istri asal Indonesia. Kelak mereka menjadi orang tua angkatnya.
“Nah aku kabur itu aku ditolong sama suaminya, terus aku sempet sakit, sakit dikemaluan gitu . Keluar cairan biru, sakit. Gimana sih, kan suka disuntik sini, jadi mungkin karna gak disuntik kali ya. Akhirnya aku dibawa ke dokter sama suaminya, aku bilang aku mau pulang aku gak takut orang aku gak salah. Aku sampai menangis , aku bilang aku gak salah, aku mau pulang. Ya sudah, mau jalan “halus” atau jalan” kasar” dia bilang. Kalau jalan halus kita lapor ke Kedutaan Indonesia, kalau jalan kasar kamu diselundupin lagi. Tapi kamu belum tentu selamat nanti di jalan, kan aku gak punya pasport, pasport aku kan ditahan,” ceritanya.

Tak mudah Ria kembali ke tanah air.Kasusnya kemudian sampai ke pengadilan Malaysia.Ironisnya pelaku yang terlibat dalam jaringan perdagangan manusia tak seluruhnya dihukum. “Bisa balik lagi, wuih perjuangannya gila. Menangin kasus dulu lah, bikin masuk penjara itu. Kan aku dari tangan ke tangan Aku itu naik ke Mahkamah (Pengadilan –red) itu sampai empat atau lima kali. Soalnya mereka itu kuat, justru yang di penjara itu orang-orang Indonesia, orang Malaysianya gak dipenjara. Tapi kalau kita ngomong kaya gitu, mereka selalu merasa diri mereka benar. Percuma ngomong juga,” katanya.
Setibanya di Indonesia bekas korban perdagangan manusia, Ria lantas dipulihkan dari trauma di Bambu Apus, Jakarta. “Pertama di taruh di Jl. Trunojoyo Jakarta, kemudian dikirim ke Bambu Apus. Bambu Apus, itu tempat perlindungan trauma center itu di situ. Berapa lama di sana? Sekitar 3 bulanan. Yang didapatin dari sana apa aja? Banyak juga sih, dapat pembekalan diri, dapat kenalaan orang banyak, lumayan membantu. Kan aku sempat stres ya, ganguan kejiwaan kali,”
Selepas pulih, Ria ingin kembali menata hidup dan menggapai cita-citanya. “Orang pengen sekolah kan pasti punya tujuan hidup lah. Dulu tuh aku suka dihina, disitu pertamanya tuh emang dari awal pas aku masih di Malaysia aku dah punya tekad aku harus bisa sekolah, gimana caranya aku harus bisa sekolah. Kalau aku gak bisa sekolah ya udah ngapain juga hidup. Gitu kan. Secara aku udah gak virgin, aku dah gak punya orang tua, kan gak punya siapa-siapa. Disini kan aku gak punya siapa-siapa. Ya udah kataku, kalau akau diseklahin aku janji bener-bener, tapi Cuma omong-omongan doang. Sampai ada kata-kata kaya gini: Kamu yakin kamu bisa sekolah, kamu yakin mampu, ya udah lah kalau gak sekolah ya udah gak usah sekolah aja. Gak usah kebanyakan mau, katanya digituin.”
Tak semua korban perdagangan manusia bisa bertahan dan memulai hidup baru. Mengapa?
Pemulihan Korban

Kehadiran Ria di tengah keluarga orang tua angkatnya awalnya tak mudah. Gadis yang beranjak dewasa ini, kini duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri di Cibubur. Prestasi akademiknya terbilang cukup baik. Saat ditemui beberapa waktu lalu, ia tengah mengikuti praktek kerja lapangan di salah satu hotel di Bogor.

Tak semua korban perdagangan manusia bisa segera pulih dan kembali bangkit menata hidup seperti Ria. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tak sedikit korban yang kembali lagi ke dunia prostitusi. Ketua KPAI Muhammad Ikhsan menuturkan,”Nah yang biasanya melalui eksploitasi tipuan atau dibohongi itu biasanya mereka melarikan diri dari tempat perdagangan orang atau eksploitasi itu. Kebanyakan karena mereka terlanjur ditipu atau ditempatkan, mereka meneruskan pekerjaan itu. Kebanyakan di daerah-daerah Jakarta, Bogor, kalau diluar kota itu seperti di Batam, bahkan sampai ke Singapore. Nah ini ada dua kemungkinan, kareana mereka tidak punya pilihan lain untuk ke tempat lain, kedua mungkin karena ada ikatan hutang atau ancaman. Kadang sebelum berangkat mereka itu sudah memberikan sesuatu kepada orang tua, jadi ketika ditempatkan tidak bisa pergi begitu saja, karena orang tuanya masih berhubungan dengan mucikarinya itu.”

Peran keluarga untuk menerima korban perdagangan manusia seperti Ria jelas psikolog Tri Swasono Hadi sangat penting.“Kalau kita bilang prostitusi itu buruk, tapi tidak ada kaluarga yang manampung ya sama aja bohong. Sebenarya ini penanganan menyeluruh ya, sehingga keterlibatan bukan hanya Psikolog ya, bukan hanya Dinas Sosisla, tetapi juga pemerintah lebih luas dan juga masyarakat. Cara terbaik menangani ini adalah di level keluarga, Berdasarkan pengalaman saya, kalau sebuah keluarga ini relatif baik yang melakukan ini hanya godaan sesaat. Tetapi keluarganya baik, sistem pendukungnya baik ini bisa pulih ya.”
Kepolisian mengklaim kasus perdagangan manusia sejak 2011 sampai 2012 menurun. Setidaknya pada 2012 dari 850-an kasus yang dilaporkan, lebih dari 600 kasus yang terselesaikan. Kasus perdagangan manusia ibarat seperti puncak gunung es. Kebanyakan para korban enggan untuk melaporkan kasusnya dengan ragam alasan. Seperti yang diungkapkan Ria.
“Kasus aku yang sama orang tua aku, itu kan sampai sekarang belum selesai. Tapi pihak Polisi selalu ngira tuh aku nutup-nutupin, sebenernya iya sih aku nutup-nutupin, aku ngelindungin. Soalnya kan menerut aku dia kan ibu aku ya, udah ngerawat aku negjaga aku, masa mau aku penjarain kan gak lucu kan. Ya udah biarin aja kalau emang mau dipenjarain, ya udah korban lain aja jangan aku. Makanya aku sering kabur-kaburan,” jelas Ria.
Oleh sebabnya atas alasan itu, aparat kesulitan menyeret pelaku ke bui. Juru Bicara Kepolisian Indonesia Agus Rianto menuturkan, “Orang-orang itu enggan untuk melapor karena terkait dirinya sendiri. Kemungkinan karena faktor ekonomi atau ada faktor lain, yang memang lebih banyak kepada dirinya, memang tidak menutup kemungkinan yang terkait itu di lingkungannya. Sehingga kadang-kadang ini yang membua kendala juga. Untuk memperoleh pendapatan yang besar kemungkinan juga dia dikeluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga kadang-kadang dililit hutang, kan macam-macam.”
Meski orang tuanya terlibat perdagangan manusia, hati nurani Ria tak bisa berbohong. Ia masih mencintai sang ibu yang masih buron. “Aku tuh sayang ya, sayang banget dari lubuk hatiku paling dalam. Demi Allah gak ada yang namanya rasa benci, dendam, marah itu gak ada. Sayang, aku sayang banget sama mama, aku pengen mama itu nuerahin diri aja. Korban mama itu udah banyak, bukan hanya aku saja, korban mama itu udah banyak. Sampai sekarang dia ada disini, sampai sekarang dia masih nyari aku, dia pasti kakut, dia pasti merasa bersalah, ketakutan terus nyari aku lah. Dan dia tahu dimana aku, Cuma aku gak tahu dia dimana. Harapan aku sih, jangan ganggu hidupku lagi, itu aja. Kalau aku punya salah aku minta maaf. Sebenarnya niat aku ada untuk meninggalkan keluarga ini, tapi nanti. Lagian aku niggalin juga bukan untuk hal yang buruk, pasti hal yang baik,” pungkasnya.
(Nvy, Fik)
Sumber : portalkbr

Kemana Aku Harus Mencari?”
Nestapa Marnis, Keluarga Korban Human Trafficking di Solok 29 Mei 2012
Diiming-imingi gaji besar di Malaysia, Yanti Dewi, 31, terperangkap sindikat perdagangan manusia (human trafficking). Niat mengubah hidup menjadi petaka. Keluarga korban menunggu dengan putus asa. Bagaimana ceritanya?
Wajah kuyu Marnis, 51, terli­hat te­gang saat menyambut keda­tangan se­jumlah wartawan Solok di ru­mah­nya di Sawahhilie, Jorong Bu­ngo­tan­jung, Nagari Saok­laweh, Keca­ma­tan Kubung, Kabupaten Solok. Ru­mah yang lebih pantas disebut gu­buk ter­sebut tampak reyot seperti peng­hu­n­inya. Dua cucunya berumur 8 dan 5 tahun menggelayut di tubuh­nya yang ku­rus. Wanita pa­ruh baya itu berkali-kali meminta ke­duanya menepi ke tem­pat sua­minya dan anak-anaknya du­duk di ujung ruangan. Namun ke­duanya tak mau beranjak, dan selalu men­­can­dai iyek (panggilan untuk nenek di Solok) mereka itu.
“Ini kedua anaknya. Sejak amak (ibu, red)-nya ke Malaysia, keduanya su­­d­ah seperti anak bagi saya. Selu­ruh bia­yanya harus kami tang­gung sen­diri ka­rena ibunya tidak pernah la­gi me­ngirim uang. Jangankan uang, kabar pun tak pernah lagi kami terima. Entah Yanti masih hidup atau tidak,” ujarnya dengan mata yang mulai berair.
Sejenak, suasana menjadi se­nyap. Se­luruh mata wartawan tertu­ju pada Mar­nis yang sedang menge­lap air ma­tanya. Dengan sedikit me­mak­sakan diri, Marnis menu­turkan ke­dua cucu­nya tersebut bahkan ti­dak per­nah me­nge­nal ibunya. Yang ter­tua diting­gal ibu­nya saat berumur 4,5 ta­hun. Se­men­tara yang bungsu ha­rus ber­pisah dengan ibunya di usia 1 ta­hun dua bu­lan, di saat ia ma­sih erat me­nyusu. Ka­sih sa­yang orang tua ba­gi keduanya se­ma­kin ka­bur saat ke­dua orang tua mereka me­­milih ber­pisah beberapa wak­tu se­be­lum ke­berangkatan Yanti ke Malaysia.
Yanti meninggalkan rumah kela­hi­rannya itu tahun 2008 lalu untuk be­rangkat menjadi tenaga kerja In­do­nesia (TKI) ke Malaysia. Tanpa modal kete­ram­pilan dan pendidikan yang hanya sam­pai kelas 4 SD, mem­buat Yanti ter­perangkap sindi­kat ca­lo TKI ilegal. Ia ter­buai bujuk rayu Nian, 50, calo TKI ile­gal yang masih se­­kampung dengan me­reka. Masih se­gar dalam ingatan Marnis saat Nian datang ke rumahnya di awal ta­hun 2008. Waktu itu kepa­danya Nian meminta agar mere­lakan anak­nya untuk bekerja di negeri jiran. Saat itu Marnis langsung meno­laknya.
“Saya sangat takut karena men­de­ngar cerita-cerita (TKI) yang be­kerja di Malaysia. Di televisi pun saya me­li­hat sendiri kisah TKI-TKI yang di­aniaya di Malaysia. Ada yang di­se­trika, di­pukuli, diperkosa, dihu­kum mati dan sebagainya. Apalagi anak Yanti ma­sih kecil-kecil, yang bung­su pun masih erat menyusu. Na­mun ra­yuan si Nian itu ke Yanti mem­bua­t­nya be­rani menolak semua saran orang.
Beberapa hari kemudian, Yanti me­ninggalkan rumah dan pergi ke ru­­mah Nian. Di rumah Nian, Yanti ti­­dak diperbolehkan keluar rumah. Bah­­kan be­berapa hari kemudian ke­dua anak­nya jatuh sakit. Namun Yan­ti tidak bo­leh keluar rumah un­tuk menengok anak­nya. Beberapa hari kemudian, Yanti bertolak dari Saok­laweh ke Du­mai menggunakan bus. Se­tiba di Du­mai, ia langsung naik ka­pal motor un­tuk menye­be­rang ke Malaysia menje­lang fajar. Se­­tibanya di Malaysia Yanti me­ne­le­pon orang tuanya melalui pon­sel tetangganya.
“Waktu menerima telpon itu, saya bagai tersambar petir. Yanti mengatakan ia sudah di Malaysia ber­sama si Nian itu. Itu adalah kabar ter­akhir darinya dan setelah itu, ti­dak ada kabar lagi hingga seka­rang,” ujarnya.
Selama Yanti di Malaysia, Marnis mengaku pernah menerima uang sebanyak dua kali. Pertama Rp200 ribu setelah tiga bulan. Uang kedua di­­te­ri­ma sebulan kemudian sebesar Rp500 ribu. Uang tersebut dian­tar­kan Nian ke rumahnya. Saat dita­nya pada Nian apa kerja anaknya di sana, Nian men­ja­wab anaknya di­pekerja­kan di salon. Saat mengan­tar­kan uang kali kedua, Nian menyatakan Yan­ti sudah pindah be­kerja menjadi pem­bantu rumah tang­ga. Ketika ditanya dimana alamat anak­nya, Nian menyatakan tidak tahu lagi dimana Yanti bekerja. Hingga saat ini, keberadaan Yanti tidak lagi pernah terlacak. Nian saat ditanya Marnis be­be­rapa kali justru berujar, “Ndak tau”.
“Tak ada lagi kabar yang saya te­rima. Kemana saya harus mencari. Ja­ngankan ke Malaysia, keluar Sum­bar saja saya belum pernah. Saya bodoh, tak pandai tulis baca, tidak pernah se­kolah. Hanya ke sawah saya yang bisa,” ujarnya.
Sebagai warga kampung yang mis­kin, pencarian informasi anaknya di­la­kukan Marnis ke dukun. Dari “pe­ne­­rawangan” dukun, Yanti dikata­kan sa­ngat ingin pulang, namun tidak pu­nya uang. “Penerawangan” dukun juga me­ngatakan Yanti juga sering mena­ngis ingin pulang. Keterangan dukun tersebut membuat Marnis beriba hati, hingga jatuh sakit. Bayangan anaknya yang “marasai” di negeri seberang membuat mukanya semakin kuyu dan badannya semakin kurus.
”Saya langsung bisa merasakan be­tapa marasai anak perempuan saya satu-satunya itu. Tapi tak ada yang bisa sa­ya lakukan. Saya hanya ber­harap anak saya masih hidup dan segera pu­lang. Lebih baik tetap miskin, tapi bisa bersama-sama. Saya bodoh, tak tahu tempat mengadu. Mudah-muda­han dari adik-adik wartawan ini, anak saya bisa pulang. Kasihan anak-anaknya yang tidak kenal wajah ibunya,” ujarnya seraya kembali menangis.
Kemarin, dengan ditemani belasan wartawan Kota dan Kabupaten Solok, Yan­ti melaporkan kasus tersebut ke Ma­polsek Kubung Kabupaten Solok. Di LP No: LP/114/V/2012/Sek Ku­bung, tertanggal 28 Mei 2012, Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Iptu Jon Virwan menyatakan laporan tersebut langsung diterus­kan ke Mapolres Arosuka. Ia menya­ta­­kan kasus ini telah mengarah pada Hu­­man Trafficking (perdagangan ma­nusia) dengan modus TKI ilegal. Le­­bih lanjut ia meyakini perkara ini akan masuk ke Polda Sumbar, ka­re­na sudah termasuk pada tindak pi­dana khusus (Pidsus). (***)
Sumber : padangekspres

Dari Cipanas ke Sebangkau Nyaris Dijual

Pontianak – Berniat membantu perekonomian keluarga dengan mencari pekerjaan halal, HM, gadis 17 tahun asal Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur Jawa Barat ini justru akan dipekerjakan sebagai wanita penghibur.
Anak ke-10 dari 12 bersaudara itu menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya sudah meninggal pada 2002 silam. Ibunya tidak bekerja, hanya mengandalkan pendapatan dari kakak-kakak HM. Gadis berwajah manis itu hanya tamat SMP karena tidak punya biaya untuk melanjutkan ke SMA. Kondisi ini membuat HM berusaha mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarganya.
Nasib kelam yang dialami HM. Ketika sedang lari pagi di Cianjur bersama teman wanitanya, dia bertemu dengan seorang pria berinisial AD, 23. Keduanya mulai dekat dan sering berkomunikasi melalui hp. Merasa sudah saling dekat, HM kemudian menceritakan permasalahannya pada AD dan mengatakan ingin mencari pekerjaan.
Teman prianya tersebut memberi HM nomor ponsel Rima (wanita berusia sekitar 30 tahun yang tinggal di Kota Bandung). AD dan Rima menawarkan HM bekerja ke Pontianak sebagai pelayan kafe dan pekerja karaoke dengan iming-iming hidupnya bakal enak dan akan dibayar dengan gaji tinggi jika mau bekerja ke Pontianak.
Saat minta izin pada orang tuanya, HM dilarang bekerja ke Kalimantan. Namun AD dan Rima terus membujuknya hingga akhirnya pada 12 September 2012, dia nekat kabur dari rumah. Pagi harinya, HM pergi ke kantor desa membuat surat keterangan domisili. Siang harinya, berbekal uang Rp 50 ribu, HM pergi ke Bandung menggunakan mobil travel.
Di Bandung, HM dijemput Rima di Pasar Ciranjang. Dia diajak menginap selama dua hari di rumah Rima karena tiket pesawat menuju Pontianak penuh. HM kemudian berangkat menggunakan pesawat Batavia Air dari Bandara Soekarno Hatta pukul 17.30 dan tiba di Pontianak pukul 19.00. Sesampainya di Bandara Supadio, HM dijemput seorang pria dan dibawa menggunakan mobil ke Sebangkau, Kabupaten Sambas.
HM kemudian diantar ke rumah seorang wanita yang dipanggil “Mami”. Dia tidak tahu alamat rumah tersebut. Dia hanya ingat rumah tersebut bercat oranye dan memiliki tiga lantai. Dua hari pertama, HM hanya ditugaskan mengantarkan minuman pada tamu. Namun hari berikutnya, dia disuruh menemani tamu di kamar. “Saya menolak, tapi malah dimarahi oleh ‘Mami’,” ucapnya lirih.
Untuk mengelabui Mami, wanita tersebut mengaku sedang datang bulan. Alasan itu diutarakannya agar dia bebas dari tugas menemani tamu di kamar. Saat itu, di rumah “Mami” ada empat wanita berusia di atas 20 tahun yang juga bekerja melayani tamu laki-laki. Mereka bercerita kepada HM, dibayar Rp 100-200 ribu sekali melayani laki-laki hidung belang. Tapi jika masih perawan dan remaja seperti HM, dibayar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta.
Saat tiba di rumah Mami, wanita tersebut menahan kartu domisili yang dibuat HM. Mami beralasan ingin mengurus izin tinggalnya dan mengubah status menjadi menikah dan menjadi janda. Padahal HM belum menikah. Tujuan untuk mengelabui petugas agar tidak tertangkap saat razia.
“Menurut cerita Mami, semua yang bekerja harus mengubah statusnya, karena anak bawah umur tidak boleh dipekerjakan melayani nafsu laki-laki hidung belang,” ungkap HM menirukan perkataan wanita yang menampungnya di Sambas.
Selama 10 hari di rumah Mami, HM disuruh bekerja di salah satu kantin di tepi pantai. Saat itu dia mengenal Andi. Pria asal Pontianak ini menawarkan bantuan untuk membawanya keluar dari kediaman Mami.
Senin 24 September 2012, Andi membawa HM lari dari Sambas menggunakan sepeda motor. Ia diajak singgah ke Paloh dan bermalam satu malam di rumah teman wanita Andi. Keesokan hari, Andi membawa HM ke Pontianak menggunakan sepeda motor. Kemudian Andi membawanya singgah ke salah satu hotel di Pontianak Utara.
Saat itulah Andi memaksa HM untuk berhubungan intim. Bahkan mengancam ingin melukainya. Tak ingin kehormatannya terenggut, HM melawan dan lari ketakutan. Dia kabur ke luar kamar dan menemui siapa saja yang berhasil dilihatnya di luar. Karena wanita itu menangis, orang-orang mulai mengerumuninya. Beruntung masih ada yang peduli dengan kesulitan HM, sehingga dia diantar oleh seorang pria ke Polsekta Pontianak Timur.

Gadis Cipanas yang nyaris menjadi korban trafficking ini kini masih ditampung di Shelter YNDN Jalan Ampera, Pontianak Kota. Korban masih shock dengan pengalaman pahit yang masih menghantui ingatannya. Dalam pengawasan Dinas Sosial Kota Pontianak, rencananya HM akan dikembalikan ke daerah asalnya jika kondisinya sudah membaik. (sul)
Sumber : equatornews

Psikolog: Jangan Salahkan Prostitusi via Facebook
TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog Tika Bisono menyatakan masyarakat jangan langsung menggolongkan kegiatan mucikari di bawah umur sebagai tindak kriminal. “Jangan cepat menyalahkan mereka,” ujar Tika ketika dihubungi Tempo hari Kamis, 23 Februari 2012.
Menurut Tika, seharusnya peran orang tua dan para guru dipertanyakan dalam kasus ini. Tika memberikan opininya terkait dengan penangkapan Marlina Yuanita, 19 tahun, oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya karena menjual perempuan di bawah umur melalui Facebook.
Menurut Tika, ada dua hal yang bisa menjadi pemicu perbuatan Marlina tersebut. Pertama, Tika menuturkan kemungkinan Marlina sudah terekspos dengan dunia prostitusi sebelumnya. Tika juga mengatakan ada kemungkinan sejak remaja Marlina telah menjadi pelacur. Kemungkinan kedua, menurut Tika, Marlina meniru lingkungan sekitarnya. Tika menilai dalam diri kebanyakan anak serta remaja ada perilaku meniru yang kental.
Untuk mengantisipasi meluasnya fenomena semacam itu, Tika menilai perlu adanya komunikasi antara orang tua dan anak. Komunikasi dua arah dalam keluarga diyakini dapat menjadi filter agar anak tak terjerumus dalam perilaku negatif. Selama ini Tika melihat komunikasi dalam keluarga di Indonesia kebanyakan masih dilakukan secara searah.
Tika mengatakan komunikasi yang sifatnya dialogis dalam keluarga di Indonesia masih kurang. Sebenarnya komunikasi semacam itu, kata Tika, dapat dilakukan dengan sederhana. Misalnya dengan membicarakan soal kegiatan di sekolah atau tempat kerja dengan orang tua.
Pada hari Rabu, 22 Februari 2012, pihak kepolisian merencanakan sebuah pertemuan dengan Marlina di Hotel Fiducia, Pancoran, Jakarta Selatan. Anggota reserse kepolisian menyamar sebagai lelaku hidung belang yang ingin menyewa enam gadis sekaligus. Sebelumnya pada hari Senin, 6 Februari 2012, tanpa disadari Marlina, dirinya mengirimkan foto-foto perempuan yang ditawarkan, kepada polisi melalui Facebook.

Dua pekan kemudian, polisi menemui Marlina di ITC Cibinong, Depok. Untuk setiap perempuan yang ditawarkan, Marlina mendapatkan Rp 200 ribu. Sedangkan masing-masing perempuan yang dibawanya akan menerima Rp 600 ribu.
Sumber : tempo


Pelajar Asal Jakarta Dijadikan PSK

SUKARAMI - Tiga anak baru gede (ABG) asal Jakarta, yakni satu pelajar, satu dibawah umur dan seorang wanita muda, dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di eks lokalisasi Teratai Putih alias Kampung Baru, Jalan Kolonel H Barlian, Kecamatan Sukarami. Ketiganya merasa ditipu oleh seorang mucikari, dengan alasan mau mempekerjakan di salon dan diskotek dengan gaji Rp 9 juta perbulan, namun malah dijual untuk melayani tamu laki-laki hidung belang. Ketiga korban perdagangan perempuan itu, Rahmawati (15), pelajar kelas III SMP swasta di Jakarta Pusat, warga Jalan Johar Baru, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat.

Kemudian, Dede Rianti (21), warga Jalan Senen Raya, Jakpus; dan Nova (16), warga Jalan Rawa-rawa, Jakpus. Kasus terungkap, Senin (31/12), pukul 16.00 WIB, setelah ketiganya kabur dari tempat dipekerjakan disalah satu rumah bordil di Kampung Baru. Lima jam setelahnya, satu tersangka diamankan Unit Reskrim Polsekta Sukarami.
Adalah Fery (36), salah seorang germo di rumah bordil yang mempekerjakan ketiganya, tersangka dimaksud. Sedangkan sang mucikari yang mengajak ketiganya ke Palembang bernama Hesti (DPO), masih dalam pengejaran. Kabarnya, Fery sebagai penampung dan memasarkan wanita-wanita malang tersebut.
Dengan bujuk rayinya, diketahui sejak dua minggu terakhir, Hesti berhasil memasok empat ABG, 3 diantaranya masih dibawah umur dan dijadikan PSK di rumah bordil Fery. Modusnya, Hesti menjanjikan korban-korbannya mendapat penghasilan Rp 3-9 juta perbulan, untuk bekerja di Mall, Salon dan Diskotek di Kota Pempek ini. Setelah korbannya yakin, Hesti menyuruh jaringannya Reni (DPO) tinggal di Jakarta, untuk mengantar korban ke Palembang, tujuannya kepada tersangka Fery.
Menurut korban Rahmawati, anak semata wayang pasangan Nia dan Ade, ditemui di Mapolsekta Sukarami, mengatakan Sabtu (30/12), pukul 10.00 WIB, ia bertemu dengan Hesti, tak jauh dari tempat tinggalnya dan Hesti menawarkan pekerjaan. Alhasil, Hesti berhasil membujuknya. ‘’Gue lagi libur, mo jalan-jalan. Terus gue dihampiri Hesti, ngajak kerja di Palembang dengan gaji Rp 3 juta perbulan di Salon dan Diskotek,” ujarnya.
Diakui Rahmawati yang diketahui tinggal bersama neneknya ini, dia pergi ke Palembang menggunakan bus bersama Dede Rianti, yang sebelumnya sudah berhasil diajak Hesti dan Reni. ‘’Tiba di Palembang kemarin malam (Sabtu, 30 Desember 2012,red), langsung ke tempat Fery. Ternyata kami ditipu, malah disuruh melayani tamu. Selama di tempat Fery, ada dua tamu datang dengan bayaran setelah nego Rp 200 ribu. Tapi ngamar aja, tidak ngapa-ngapai, alasan lagi halangan,” ungkap pelajar kelas III SMP ini.
Sementara Dede Rianti, mengaku datang ke Palembang atas ajakan Hesti dan berangkat ke Palembang bersama Reni. ‘’Sama, saya juga dijanjikan pelaku bekerja di restoran, salon dan diskotek, dengan gaji Rp 9 juta perbulan. Tapi malah disuruh melayani tamu,” jelas Dede Rianti, yang mengaku sudah dua minggu di Palembang dan sudah sering melayani tamu ini.
Sedangkan Nova menjelaskan dia ke Palembang atas ajakan Hesti, datang bersama Reni dan Kevin yang sudah berhasil pulang. ‘’Sama, saya juga ditipu oleh pelaku dengan gaji yang sama. Tapi saya udah dua kali melayani tamu. Datang ke Palembang baru dua hari,” ungkap pengangguran ini.
Kemudian, orang tua Rahmawati, Nia didampingi suaminya Ade mengatakan, kaget setelah anaknya telepon mengaku di Palembang dan dipekerjakan sebagai PSK. Dia tahu setelah menerima telepon dari anak semata wayangnya. ‘’Mendapat kabar, kami langsung ke Palembang naik pesawat. Dan rencana mau langsung pulang ke Jakarta sama anak kami,” jelasnya.
Tersangka Fery sendiri mengaku baru dua minggu terakhir melakoni bisnis tersebut, makanya nam dan tempat rumah bordilnya belum diberi nama. ‘’Baru inilah Pak, nama tempatnyo bae belum ado. Aku dapat cewek-cewek itu dari Hesti. Selama ini baru empat orang. Setiap ada tamu, mereka harus setor uang kamar Rp 50 ribu, Rp 50 ribu lain untuk tabungan mereka. Selebihnyo tergantung mereka nego dengan tamu,” ungkap Fery tanpa dosa.
Kapolsekta Sukarami Kompol Imam Tarmudi SIk, didampingi Kanitreskrim Iptu Hanys Pamungkas Subandrio AMd IK ST SH, mengaku terbongkarnya penjualan anak dibawah umur ini berkat laporan ketiga korban. Ketiga korban berasal dari Jakarta, orang tua dari salah satu korban sudah datang ke Polsekta dan boleh pulang ke Jakarta.
‘’Sementara dua korban lainnya masih menunggu orang tua atau wakilnya. Dan saat ini sudah dihubungi, mereka mau menjemput korban ke Palembang. Saat ini tersangka masih dalam penyidikan lebih lanjut. Tersangka dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak dan UU No 21 tahun 2007,” tegasnya. (day)
Sumber : palembangpos

Anak TKI Bondowoso selalu menangisi ibunya
Bondowoso (ANTARA News) - Indah Ayu Lestari (11), anak pertama dari TKI asal Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Hendri Herawati (27), selalu menangis menanyakan kabar mengenai ibunya yang tewas karena dibunuh di Malaysia.
"Saya dan keluarga sering bingung bagaimana menghibur Indah. Kalau adiknya, Permana Adi (4), memang belum banyak tahu tentang ibunya," kata Wiwik, kakak dari Hendri, di Kelurahan Sekarputih, Kecamatan Tegalampel, Bondowoso, Sabtu.
Hendri yang berangkat keluar negeri dengan visa sebagai pelancong ditemukan tewas dengan luka tusuk di leher dan perut, Minggu (6/5) tengah malam waktu Malaysia.
Wiwik menjelaskan bahwa pihaknya berharap jasad adiknya itu segera bisa dibawa pulang ke Bondowoso sehingga anak-anak dan keluarga lainnya bisa datang ke kuburannya jika sedang rindu.
"Indah dan Permana ini memang sangat dekat dengan saya, karena ayahnya juga tidak tinggal di sini. Beberapa waktu lalu ayahnya datang ke sini untuk mengihubur anaknya," katanya.
Ia mengaku gembira ketika mendengar kabar bahwa majikan dari korban bersedia membiayai pemulangan jenazah ke Bondowoso. Selain itu, sebelumnya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bondowoso juga berupaya untuk bisa memulangkan jenazah tanpa membebani keluarga.
Kabid Pelatihan, Penempatan dan Penyaluran Kesempatan Kerja (P3KK) Disnakertrans Bondowoso Asep T Herjadi menginformasikan bahwa polisi Malaysia sudah mengizinkan kelurga mengambil jenazah Hendri Herawati.
"Informasi yang kami terima dari KBRI, jenazah sudah bisa diambil. Karena itu KBRI memerlukan surat kuasa dari keluarga untuk mengambil jenazah," katanya.
Menurut Asep, dengan sudah diizinkannya pengambilan jenazah, maka proses pemulangan ke Bondowoso kemungkinan tidak sampai menunggu berbulan-bulan seperti kasus jenazah Suramlah, TKI Bondowoso yang juga tewas di Malaysia.

"Semoga segera bisa dibawa pulang ke Bondowoso, sehingga keluarganya segera memperoleh kepastian," katanya.
(M026/S023)
Sumber : antaranews

Derita Kusmiati Korban Perdagangan Manusia

Aku tidak pernah mengenyam bangku sekolah, jangan kan SMP , Sekolah Dasarpun aku tak pernah mencicipinya, aku menjadi TKW karena tergoda seorang calo tenaga kerja yang mengiming - imingi bahwa kerja di arab akan merubah ekonomi keluargaku, ditambah yati anak tetanggaku membangun rumah bagus semenjak dia kerja di arab, Namaku Kusmiati umurku 14 tahun, wajahku manis namun agar aku dapat bekerja di arab aku harus merubah umurku menjadi 20 tahun, aku menurut saja yang penting aku bisa berangkat dan bekerja, aku menyerahkan semuanya kepada mas tardi calo tenaga kerja yang jauh - jauh datang ke desaku.
Untuk bisa berangkat aku harus memberi uang 15 juta, uang yang tidak mungkin aku punya namun ayahku bersikeras agar aku berangkat saja dan mencari pinjaman sana - sini jika perlu menjual sawah warisan kakekku…
Aku di bawa ke Jakarta oleh mas tardi, dia mengatakan aku harus tinggal di penampungan dulu, aku menurut saja yang penting aku nanti bekerja dan bisa mengirimi uang ke ayahku dan mengganti sawah yang beliau jual.
dua bulan lebih aku tinggal di penampungan namun belum juga ada pemberitahuan aku akan berangkat, hidup bersama teman - teman senasib membuat aku berusaha tegar bahwa ternyata banyak juga yang senasib denganku.
Menginjak tiga bulan hidup di penampungan aku di beritahu bahwa aku akan berangkat 21 April 2007, aku sangat bahagia sebab hari yang ditunggu - tunggu datang juga, bosan rasanya hidup dipenampungan dengan makan alakadarnya, serta berjubel dengan ratusan calon lainnya dalam satu gedung dengan fasilitas yang sangat terbatas. bahkan sebelumnya timbul niatku untuk lari saja tapi bagaimana kau mengembalikan uang ayahku, juga aku takut di penjara karena mas tardi menakuti - nakutiku jika kami kabur kami harus mengganti uang yang mereka setorkan kepada agency.
Di bandara aku bersama teman - teman menunggu instruksi dari mas tardi, kami di suruh mempersiapkan uang RP. 20.000,- yang harus diberikan kepada mas tardi ketika masuk ke pintu imigrasi, kami menurut saja.
Aku mendapat tiket 23A bersama dengan wita temanku di penampungan, tujuan kami adalah Saudi Arabia, negeri harapan yang akan membuat ekonomi keluarga kami berubah.
Pesawatpun berangkat kurang lebih 9 jam kami di atas udara aku merasa bahagia karena aku merasakan enaknya naik pesawat, kadang ada rasa takut bagaimana jika pesawat ini jatuh.. ah.. aku buang pikiran itu jauh - jauh..
Alhamdulillah aku tiba di bandara Jeddah, menurut mas tardi aku akan di jemput oleh orang Indonesia yang bernama mas iwan di bandara, setelah melewati pintu imigrasi benar saja tampak seorang lelaki membawa sebuah karton bertuliskan Kusmiati sambil memanggil - manggil namaku, aku langsung menemuinya dan aku bilang aku Kusmiati, aku pun menurut ketika aku di suruh masuk ke dalam mobil bersama dengan beberapa teman - temanku.
Kami berhenti di sebuah rumah besar dan di sana ternyata ada beberapa wanita yang menurutku senasib denganku TKW yang menggapai mimpi di negeri impian.
Satu bulan aku di rumah besar itu, kerjaku hanya makan dan tidur, menurut mas Iwan jika ada Majikan yang membutuhkan ku maka aku akan segera bekerja, aku merasa barang dagangan saja tapi aku berusaha sabar dan semoga Allah memberikan kemudahan dalam kehidupanku.
Tak berapa lama aku di panggil untuk bekerja di salah satu rumah majikan aku berfikir tugasku hanya menyapu, memasak dan mencuci namun ternyata selain tugas - tugas itu aku harus merawat dan memandikan seorang kakek - kakek yang sedang sakit, rasa jijik kubuang jauh - jauh hatiku menangis 24 jam tak pernah berhenti aku bekerja melayani keluarga itu, tak ada waktu senggang apalagi menonton telivisi, bahkan aku sempat tertidur ketika aku sedang mencuci, aku di pukuli …. ingin rasanya lari atau menelfon mas iwan tapi aku tak bisa berbuat apa - apa karena aku tak tahu jalan dan juga passportku di tahan majikanku.. aku hampir putus asa…
Penderitaanku belum berakhir.. 3 bulan lebih aku tak tahu bagaimana meminta gajiku, aku ingin mengirim uang penghasilanku… tapi majikanku tak mau tahu.. aku dianggap tak bisa bekerja maksimal.. sehingga tak layak mendapatkan gaji… aku menangis.. namun justru tangisanku membuat majikan perempuanku menjambak rambutku… dan memukulku dengan tongkat…
AKu sempat merasa lega ketika aku di bawa ke sebuah pantai untuk mengasuh anak dari saudara majikanku, pertama kali selama aku bekerja di majikanku aku melihat matahari, tampak suami istri saling bercengkrama dengan anak - anaknya iri rasanya melihat kebahagiaan mereka, ketika waktu makan aku di suruh menjauh dan di suruh makan setelah mereka selesai, aku mengangguk saja dan berusaha menahan lapar.
Tak jauh dari tempatku ada sebuah keluarga Indonesia, aku pikir mereka pasangan TKW dan TKI aku mendekatinya… setelah berkenalan aku bertanya apakah majikan mereka baik ??? isterinya tampak tak suka dengan pertanyaanku, mukanya masam…
Suaminya menjelaskan bahwa dia isterinya dan aku masih penasaran mas sopir di sini ??? suaminya hanya tersenyum dan menjawab saya TKI juga sama seperti mba…
Aku merasa berada di Indonesia tak terasa air mataku meleleh aku menceritakan semua yang aku alami kepada mereka.. aku tak peduli mereka akan simpatik atau tidak…
Suaminya hanya berkata lirih… kami hanya bisa mendoakan mba untuk selalu bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah… kita tak bisa berbuat apa - apa disini… aku tertunduk lesu..
Tiba - tiba ada teriakan dari saudara majikanku… aku bergegas berlari… aku tahu aku akan dimarahi bahkan dipukuli karena aku berani berbicara dengan orang asing….
Seperti yang diceritakan Kusmiati seorang TKW yang bekerja Di Saudi Arabia
Sumber : kompasiana

Derita TKI: Ketika Pemerintah Tak Bisa Diandalkan

Ketika Ruyati membunuh majikannya, Pemerintah Arab Saudi dengan tegas menjatuhkan hukuman mati. Namun, ketika tenaga kerja Indonesia yang diperlakukan buruk oleh majikan, pemimpin bangsa ini asyik berwacana dan berpidato. Mereka tega membiarkan pekerja dan keluarganya berjuang sendiri.

Lebih dari setahun Sri pergi menghadap Sang Khalik. Namun, Yanto, suaminya, belum juga mampu melupakan peristiwa kelabu yang mengiringi kepergian ibunda dari tiga anaknya itu. Luka di hatinya teramat dalam sehingga sulit menghapus kenangan pahit saat ia harus berjuang sendiri menuntut keadilan.

Sri adalah tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Madiun, Jawa Timur, yang berangkat Agustus 2009. Pekerja rumah tangga (PRT) ini tewas dibunuh majikannya dengan tuduhan berbuat kriminal. Ia meninggal pada 1 Januari 2010, tetapi keluarga baru mendapat kabar pada 26 Maret 2010.

Alih-alih mendapat pembelaan dari Pemerintah Indonesia, diuruskan jenazahnya saja tidak. Yanto berusaha sendiri memulangkan jenazah istrinya yang tertahan selama enam bulan pada 29 Juni 2010. Ia juga berhasil menuntut keadilan sehingga majikan laki-laki dihukum mati dan istri majikannya dipenjara.

Tidak terbilang berapa besar biaya, pikiran, dan tenaga yang dihabiskan, apalagi harus menyewa jasa pengacara untuk membantu selama persidangan di Arab Saudi. Dengan keterbatasan pengetahuan, uang, dan kekuasaan, terbayang bagaimana sulitnya perjuangan Yanto. Karena itu, pantas jika ia kesal terhadap pemerintah yang memiliki segalanya, tetapi tak berbuat apa-apa.

”Pemerintah kita sangat lamban, benar-benar mengecewakan. Tidak punya inisiatif, harus menunggu ada kejadian, baru melakukan tindakan. Mereka ini benar-benar tidak bisa diharapkan. Kalau bukan rakyat sendiri yang berusaha, tidak akan bisa,” katanya, Selasa (21/6).

Perjuangan yang tidak kalah hebat juga dilakukan oleh Bejo, suami Susianti, TKW asal Kabupaten Madiun yang bekerja di kota Abha, Arab Saudi. Hampir tiga tahun ayahanda Edi Santosa (6) ini mencari kejelasan nasib istrinya yang ditahan majikan sejak keberangkatannya pada 31 Desember 2007.

Susianti tak hanya tidak bisa pulang, tetapi juga tidak digaji selama bekerja. Kini, perempuan 25 tahun itu berstatus pekerja ilegal setelah masa kontrak kerjanya habis pada 31 Desember 2009. Jangankan pulang, keluar rumah majikan pun ia tak berani, takut ditangkap polisi.

”Katanya jika tidak ada halangan, istri saya dijanjikan pulang tanggal 20 Arab atau sekitar 4 Juli 2011. Semoga kali ini istri saya benar pulang. Jangan seperti sebelumnya, janji-janji pemulangan itu tidak pernah ditepati,” ujar Bejo di rumahnya.

Petani ini bercerita, istrinya berangkat melalui PJTKI di Jakarta, PT Sabrina Pramitha. Sesuai kontrak, Susianti dibeli sebagai budak oleh Saad Muhammad al-Syahroni. Namun, dalam perjalanannya, dia dipekerjakan di rumah adik Saad bernama Sofiah.

Tahun pertama bekerja, Susi tak bisa dikontak. Kiriman surat juga tak sampai. Saat itulah Bejo mulai gelisah dan mencari tahu lewat perusahaan. Bejo nekat ke Jakarta dengan modal uang Rp 3,5 juta hasil menjual sapinya. Namun, tanggapan yang didapat sungguh mengecewakan.

Tak mau menyerah, Bejo mengadu kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Apes, pengaduan Bejo hanya dicatat pada selembar kertas dan diminta bersabar karena ada ribuan TKI bermasalah yang lebih dulu mengadu.

Akhirnya, satu tahun berlalu tanpa kabar. Bejo nekat kembali ke Jakarta pada November 2010 dengan modal uang hasil menjual sapi milik keluarga mertua. Akan tetapi, uang Rp 4 juta itu pun habis tanpa hasil kecuali selembar formulir laporan yang kembali Bejo dapatkan dari petugas di BNP2TKI.

Sampai sekarang sudah empat sapi atau sekitar Rp 20 juta dihabiskan untuk mencari kejelasan nasib istrinya. Selama itu belum pernah sepeser uang pun terkirim dari Arab Saudi. Jangankan dapat rezeki, semua uangnya ludes, bahkan ia harus berutang.

Meminta bantuan ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga sudah dilakukan, tetapi belum membuahkan hasil. Setelah usaha ke sana-sini, Bejo berhasil menghubungi istrinya pada 2009. Namun, bukannya merasa lega karena mengetahui keadaan Susi baik, Bejo malah sedih. Pasalnya, Susi tak bisa pulang karena gajinya masih ditahan. Setelah negosiasi dengan majikan, disepakati Susi dibayar 600 riyal (sekitar Rp 1, 4 juta) per bulan dari kontrak 800 riyal per bulan.

Setelah semua pengorbanan yang mereka lalui, Minggu (19/6), istrinya mengabarkan gajinya belum cair, bahkan diserahkan oleh majikannya kepada polisi. Alasannya, polisi akan memberikan uang itu kepada Susi setelah ia mengurus dokumen resmi. Alamak, masalah apa lagi ini?

Yanto dan Bejo hanya contoh kecil perjuangan keluarga pahlawan devisa ini demi menyelamatkan nyawa yang berada di ujung petaka serta mencari keadilan. Di negeri penghasil buruh migran ini terdapat ribuan, bahkan jutaan, keluarga yang melakukan perjuangan serupa.

Lily Pujiati, koordinator Peduli Buruh Migran, sebuah LSM advokasi hukum dan kesehatan buruh migran, mengatakan, hampir setiap hari pihaknya menerima pengaduan dari buruh migran atau keluarganya. Dalam sebulan ada lebih dari 30 kasus. Terbanyak masalah penyiksaan, gaji tidak dibayar, dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh majikan.

Pada hampir semua kasus, buruh migran dan keluarganya berjuang sendiri mencari keadilan. Peran pemerintah hampir tidak terasa.

Sumber: peduliburuhmigran








2 komentar:

  1. boleh saya copy untuk page yang saya manage?

    salam,
    shandrawoworuntu@yahoo.com

    BalasHapus
  2. saya bersedia membantu saudara dalam mengembangkan blog ini, saya outcomer of human trafficking sekarang tinggal di USA.

    Apabila saudara ingin mendengan cerita2 dari USA, saya bisa kirimkan beberapa cerita nyata yang dialami oleh bangsa kita.

    yang terbaik hubungi saya dengan email, shandrawoworuntu@yahoo.com

    salam,
    Shandra

    BalasHapus