LOKAKARYA ANTI HUMAN TRAFFICKING KEUSKUPAN
PADANG DI
PALEMBANG
30 Oktober – 2 Nopember 2013
Lokakarya sosialisasi isu Human Trafficking yang semula direncanakan akan diselenggarakan di Keuskupan
Padang oleh Komisi, kemudian dialihkan di Palembang. Bapa Uskup Situmorang, Uskup
Padang mengatakan bahwa Padang kurang cocok untuk dijadikan tempat
penyelenggaraan kegiatan
tersebut. Beliau berpendapat Pekan baru lebih cocok. Akan tetapi, di Pekan Baru
justru Komisi mengalami kesulitan yaitu tidak menemukan contact person dan tidak
mendapatkan tempat untuk penyelenggaraan lokakarya ini. Akhirnya
komisi menghubungi jaringan
CWTC Keuskupan Palembang
dan sepakat kegiatan lokakarya diadakan di Palembang.
Dalam
lokakarya yang berlangsung
selama 4
hari ini, hadir 15 orang aktivis suster dan awam laki-laki-perempuan dari keuskupan Padang, 4 perwakilan dari Keuskupan Pangkal Pinang, 6
suster dan bruder dari Tanjungkarang,
8 orang pastor, bruder, suster dan awam dari
Keuskupan Agung Palembang, dan dari CWTC-IBSI hadir Sr.Veronika MC dan
Sr.M.Katarina FSGM.
Pertemuan diawali dengan sebuah refleksi
yang dibawakan oleh Romo Kristianto SCY mengenai keluhuran martabat manusia. Refleksi ini berdasarkan Kitab
Susi, Ajaran Gereja maupun dari Pancasila yang merupakan kekhasan bangsa Indonesia dan menjadi dasar
falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pendasaran harkat
manusia pada pandangan religius tentu saja sangat cocok serta sesuai
dengan sila pertama dari Pancasila yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa. Ini berarti bahwa semua warga negara menerima Allah
sebagai dasar hidupnya dan sekaligus mengakui bahwa manusia adalah ciptaan
Allah. Semua agama mengajarkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan kenyataan
inilah yang menjadi dasar untuk menerimanya sebagai dasar harkat manusia.
Contoh-contoh peristiwa dan kejadian
masa kini yang menunjukan indikasi perendahan martabat manusia dipaparkan untuk
menggugah hati, rasa dan kepekaan para peserta, seperti kekerasan yang dialami
perempuan dan anak,
diantaranya:
} Penculikan bayi, anak dan gadis remaja
} Bujuk rayu untuk menjadi PRT,TKI & PSK
} Jeratan hutang, jasa dan balas budi
} Duta budaya dan seni tari
} Adopsi bayi atau anak
} Pengantin pesanan, kawin paksa, kawin kontrak
} Menggunakan orang dekat, sahabat , atau teman sebaya
dalam merekrut korbannya
} Perekrutan dengan menggunakan online internet:
Facebook, Twitter, dll.
Salah satu penyebab terjadinya Human
Trafficking adalah karena adanya ketidakadilan Gender. Maka peserta diajak
mengenal apa itu Gender? Dan mengapa masalah Gender dipersoalkan? Maka peserta
diajak untuk menganalisa Gender dan ketidakadilan Gender. Semua peserta baik laki-laki maupun
perempuan mengakui bahwa praktek-praktek ketidak adilan Gender seperti dalam
film “The
Imposible Dream” masih terus berlangsung. Laki-laki
merasa kuat dan superior, sedangkan perempuan
tetap merasa kaum lemah dan imperior, takut, dan harus taat pada kaum laki-laki.
Persoalan tentang Human Trafficking
dipresentasikan oleh Nurul Qoiriah dari IOM. Peserta sangat antusias dan semakin peka terhadap
praktek-praktek trafficking yang
terjadi di tempat asal mereka, baik dari Padang,
Pangkal Pinang, Tanjungkarang maupun Palembang.
Trend Migrasi Global: TPPO
} Sekitar 800.000 korban TPPO lintas perbatasan setiap
tahunnya di dunia, dan banyak lagi yang diperdagangkan secara internal.
} 79% korban eksploitasi seksual yang tercatat, dan 18%
diperdagangkan untuk kerja paksa (UNODC).
} 80% dari korban TPPO adalah perempuan (UNODC, ILO,
IOM).
} Dilaporkan sekitar US$32 juta yang dihasilkan dari
TPPO setiap tahunnya > tindak pidana paling menguntungkan ke-3 setelah
perdagangan ilegal narkoba dan senjata.
Situasi Migrasi TKI
} Setiap tahun sedikitnya 500,000 orang menjadi TKI;
80-90% adalah perempuan
} Kemiskinan dan pengangguran mendorong migrasi tenaga
kerja
} Migrasi menyediakan tenaga kerja global yang mobile,
murah dan seringkali lepas dari tanggung jawab, baik majikan maupun pemerintah
} Remitansi TKI 2012: US$ 6,7 Milyar (Data Bank
Indonesia)
Siapa Mereka?
} Para perempuan Indonesia
keturunan China menjadi korban di Taiwan dan Hong Kong. Mereka diberi janji
untuk dijadikan pengantin pesanan (yang akan dinikahi laki-laki Taiwan), namun
mereka juga dipaksa menjadi PSK dan/atau pekerja rumah tangga tanpa menerima
upah. (Indonesian Chinese girls became victims in Taiwan and Hong Kong. They
were lured by being promised to become mail-order brides (to be wedded to
Taiwanese men), but were eventually forced into prostitution and/or domestic
workers without receiving any pay whatsoever).
} Anak-anak dipaksa bekerja
melebihi jam kerja tanpa menerima upah (Children being forced to work in
plantations in long hours, without pay and without decent housing).
} Para laki-laki dipaksa
bekerja (Sumatra Utara) (Boys forced to work in off-shore fish (North Sumatera);
} Orang Indonesia bekerja di
industry perikanan (Kapal Taiwan) (Indonesian male working in fishing industry
(Taiwanese Boat)
Hari berikutnya untuk membangun jaringan
kerjasama antar lembaga, dan instansi terkait kami mengundang NGOs setempat dan
Polisi yang dapat membantu para peserta untuk ikut ambil bagian dalam pencegahan terjadinya perdagangan
orang dan pendampingan bagi korban.
WCC Palembang mensharingkan kepada kami
apa yang telah dilakukan selama ini antara lain:
Upaya WCC Palembang dalam memberikan Perlindungan Terhadap Korban Trafficking
n Melakukan konseling, tatap muka atau melalui telepon;
n Melakukan pendampingan sesuai dengan keinginan korban;
n Melakukan rujukan sesuai dengan kebutuhan korban;
n Kerja Jaringan dengan berbagai pihak, diantaranya:
Pemerintah, Kepolisian,RS, Organisasi Non Pemerintah, Ormas, Tokoh Masyarakat,
Tokoh Agama, Tokoh Adat di tingkat Lokal, Nasional maupun Internasional.
Upaya-upaya
WCC Palembang dalam Rangka Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan
n Advokasi Hak-hak Perempuan & Anak melalui Kampanye
dan Mobilisasi Opini Publik (Penerbitan Poster, Stiker, Bulletin, Radio &
TV Talk Show, Seminar, Dialog Publik, Dll)
n Diklat bagi para pendamping perempuan & anak
korban kekerasan, dari tingkat dasar sampai training of trainer. (Pelatihan
Gender, Pelatihan Paralegal, Pelatihan Prinsip-prinsip Dasar
Konseling/Pendampingan, Dll)
n Sosialisasi kebijakan-kebijakan yang berpihak pada
perempuan dan hak-hak perempuan kepada berbagai elemen masyarakat. (Sosialisasi
UU No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO))
n Kerja jaringan dengan berbagai pihak di tingkat Lokal,
Regional, Nasional maupun Internasional.
Sesudah para peserta mendapatkan
informasi dan pengetahuan yang cukup, acara sore hari peserta diajak untuk
mengadakan pengendapan, agar lebih mampu untuk memahami persoalan trafficking dengan baik, dan malam harinya para
peserta masuk ke dalam
kelompok kecil yang
terdiri atas 5 orang untuk mempersiapkan diri praktek lapangan
dengan kelompok siswa-siswi SMA Xaverius 2 Palembang. Para peserta akan
mensosialisasikan apa itu Human
Trafficking
dan lika-liku perdagangan orang di 8 kelas, masing-masing kelas beranggotakan
40 siswa-siswi. Para peserta sangat antusias dan penuh semangat dalam mempersiapkannya,
sampai tengah malam baru mereka berhenti dan beristirahat.
Hari ke-empat lokakarya, para peserta
diantar ke lokasi praktek, seluruh siswa berkumpul di dua aula. Aula pertama untuk murid kelas XII dan aula kedua untuk murid kelas XI, di dalam
Aula mereka diajak untuk mendengarkan pengarahan umum, nonton film tentang
“Dagang Perempuan” yang diproduksi oleh LBH Apik Pontianak, sesudah itu murid
masuk ke dalam kelompok kecil untuk
mendalami isi film dan dialog tentang persoalan Trafficking di Indonesia.
-----------------------------***********--------------------------------
Suster Eustochia bantu perempuan, anak korban
kekerasan 04/11/2013
Pada suatu
pertemuan yang diikuti oleh 50 ibu rumah tangga beberapa tahun lalu, Suster
Eustochia Monika Nata SSpS bertanya siapa yang belum pernah dipukul oleh suami.
“Hanya dua orang. Ya, semua mengalami kekerasan,” kenangnya.
Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) di Pulau Flores yang berpenduduk sekitar 1,8 juta
mungkin biasa terjadi karena budaya patriarkat.
Pengalaman
semacam itu, dan bahkan banyak pengalaman lainnya, membentuk Suster Eustochia
yang berbasis di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Semua berawal
tahun 1997, ketika ia berperan aktif dalam program pendampingan untuk ibu rumah
tangga yang mengalami KDRT. Saat itu belum ada data sistematis tentang jumlah
korban KDRT – ia hanya tergerak oleh penderitaan orang-orang yang datang ke
biara untuk meminta bantuannya.
Lalu tahun
1998, seorang imam dari Serikat Sabda Allah (SVD) membawa seorang gadis yang
dihamili oleh ayahnya sendiri ke biara. “Waktu itu memang saya merasa mengalami
kekerasan, terus diintimidasi. Mereka merasa saya culik anak itu karena kami
sembunyikan anak itu di biara,” kata Suster Eustochia.
Menyusul
terbentuknya Tim Relawan untuk Kemanusiaan-Flores (TRUK-F) pada Februari 1999,
karya suster menjadi semakin sibuk. Referendum yang disponsori Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menuntut kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia. Akibatnya,
milisi Indonesia mengamuk sehingga ratusan orang meninggal serta infrastruktur
dan sejumlah bangunan hancur.
Sekitar
250.000 orang mengungsi ke Indonesia, beberapa lari ke pelukan Suster
Eustochia. “Saya mulai melihat bagaimana perempuan itu diperkosa, dijual oleh
suami mereka. Sejak itu saya mulai tergerak, perempuan-perempuan itu kelihatan
sangat menderita. Saya waktu itu sering menangis … mengapa begini?” tanyanya.
“Akhirnya saya mencoba menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.”
Tiga-belas
tahun kemudian, keamanan terhadap perempuan di Flores masih belum membaik.
(Menurut data tahun 2012 dari TRUK-F, 155 perempuan dan anak-anak berumur
antara empat dan 70 tahun menjadi korban KDRT dan seksual serta perdagangan
manusia.)
Segelintir
LSM telah berperan dalam pendampingan bagi para korban kekerasan, namun sumber
daya mereka terbatas. Suster Eustochia sadar bahwa masih banyak yang harus
dilakukan.
Hasil survei
yang dilakukannya terhadap 652 pelajar dari lima sekolah menengah atas di
Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, mendapati bahwa hampir semua pernah mengalami
kekerasan yang dilakukan oleh orangtua mereka – verbal, fisik dan bahkan
pemerkosaan.
Ia melaporkan
survei itu kepada Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), yang saat itu sudah menjadi partner TRUK-F.
Beberapa
komisioner dan pejabat pemerintah pusat pun mengunjungi kota kabupaten itu dan
menjelaskan kepada Suster Eustochia bahwa ini adalah kasus pertama yang mereka
dengar di Pulau Flores. Sebelumnya belum pernah terungkap kasus-kasus kekerasan
seperti itu.
“Di sinilah
awal perjuangan untuk mengadakan Perda tentang Penyelenggaraan Perlindungan
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan,” kata Suster Eustochia. Setelah melewati
beberapa pertemuan, anggota DPRD Kabupaten Sikka merampungkan rancangan Perda
pada Juli 2012, dan bupati Sikka saat itu mengesahkannya pada 31 Desember.
Banyak
harapan muncul setelah disahkannya Perda yang mewajibkan pemerintah setempat
untuk terlibat dan membantu LSM dalam penanganan kasus-kasus kekerasan –
termasuk pemberian pelayanan kesehatan, nampaknya dana masih menjadi kendala.
Bupati Sikka
Yoseph Ansar Rera, yang baru dilantik Juli lalu, mengatakan bahwa Perda itu
adalah yang pertama. Ia mengakui bahwa Perda itu penting. Namun “kami masih
mensosialisasikannya kepada masyarakat bekerjasama dengan LSM.”
Sosialisasi
ini memberi sedikit penghiburan bagi para korban kekerasan. Namun masih
disosialisasikan berarti belum ada manfaat yang bisa dirasakan, misalnya oleh
seorang korban pemerkosaan.
“Saya hanya
didampingi TRUK-F,” kata gadis berumur 14 tahun yang biasa dipanggil Ber,
seorang korban pemerkosaan yang dilakukan oleh enam pria. Ia tinggal di kantor
TRUK-F, yang menjadi tempat penampungan, sejak delapan bulan lalu. “Saya
berharap pemerintah bantu kami, melindungi kami. Perda segera direalisasikan.”
Kini Suster
Eustochia berusia 70 tahun dan telah didiagnosa menderita kanker rahim sejak
lima tahun lalu. Namun semangatnya tidak pernah padam. Ia saat ini sedang
melobi para legislator setempat untuk menyusun Perda tentang perdagangan
manusia.
“Untuk saya,
korban itu wajah Kristus. Itu saja. Saya tidak peduli waktu saya sakit … jika
ada korban, saya harus keluar menemui mereka. Saya pikir ini Yesus yang
mengunjungi saya,” katanya.
Katharina Reny
Lestari, Jakarta
Sumber UCANNEWS.COM
---------------------------------***********************-----------------------------------
The Workshop of Gender Equality and Human Trafficking In Nagahuta – Pematang Siantar – Medan and Sibolga
Bishopric.
On the 20th to 24th May, 2013
The Workshop was held in the Medan and Sibolga Bishopric as the realization of the recommendation given by the alumnus of the Training which was held by CWTC-IBSI in Lawang- East Java in March 2012. In the meeting, the CWTC-IBSI wanted to strengthen the network who take care of the trafficking issues both how to prevent it and to help the victims.
Although the CWTC-IBSI had ever held socialized about the trafficking issues in Pematang Siantar, it seems that the religious persons there don’t really understand about the trafficking so there was no mutual activity to discuss about the trafficking. In the meeting there are four nuns representatives from Sumatra regions, and Sr. M. Katarina FSGM is chosen by the participants as the coordinator of the network in Sumatra, so this seminar could be realized .
There are 30 persons as the participants of the meeting ,consist of priests, candidates of priest, nuns and several activist for humanity and 6 informants. The are some topics discussed during the meeting such as Gender analysis, Human Trafficking Issues, ripped human dignity , trafficking which is handled by the police from the Women Empowerment Biro, and from PKPA as a self-supporting public institution who work for taking care the women and children trafficking especially in the North Sumatra region.
Before we held the workshop , we as a team visited “Velankani” Church in Medan. This Church is as a pilgrimage place for the Catholic people there. In the Church we met three girls who have just finished from Senior High School. The girls wanted make photo with us. I asked them where they would continue their study. They said that they would work in Malaysia. At that time they stayed in a certain place, next month they would be brought to Malaysia. The three girls told us that there were 20 girls about at the same age. On that day they got chance to make pilgrimage, because the owner of the PJTKI is a Catholic. We were surprised to hear their explanation. We talked with them about their plan, the requirements for getting jobs in Malaysia, the risk of the jobs, but it seems that the girls were so innocent and they hope to get better future if they have much money. They were recruited by their “older” mama ( the older sister of their mother/father). Having great concern with this situation our network will investigate the existence of the PJTKI and the persons who involve in this institution.
The Workshop was held in 5 days and the schedule could be carried out well. The participants were going to know well about the human trafficking. Before speaking about the human trafficking we talked about Gender with the participants. After discussing and analyzing what is gender, why there is problem about gender, there is gender injustice, the participants are aware that there are still many injustice in the relation between man and women and this situation is considered as normal situation. In this meeting there were some participants (men) could not accept the result of the analysis. These participants felt that their comfortable position is disturbed so they suggested not to use the tools which might be misunderstood as tools for promoting activity against men. For avoiding the pro and contra groups towards the available tools for discussing the issue of gender injustice we divided the participants into pro and contra groups. These groups had to discuss about the possible tools which are suitable with the situation in the society of the North Sumatra. It was surprising, after all groups presented the result of their discussion, the pro and contra groups presented the same opinions, and they are aware that it is difficult to justice.
The issues of gender injustice in North Sumatra are very similar to those which happened in other places in Indonesia. The women must endure the heavy burdens in the family because of the patriarchal culture. In the role play, it was illustrated what the men did the day long ( from wake up in the morning until going to bed at night). There are many problems should be endured by the women and children. Because of the fathers’ bad habits such as drunker and gambler, there are many catholic children can not receive the Sacraments service in the Church, although their mothers are diligent and active in the activities for Church.
The participants of the Workshop wanted to know what is the human trafficking. Although they had already heard about it, they don’t know yet, what is really the human trafficking. This topic is presented by Sr. Vincentia HK. During this presentation the participants were asked to look into and to reflect our brothers and sisters who became the victims of the human trafficking. These victims are actually good persons who have great ideal to improve the condition of their families, in order to have better life in the future, but they don’t enough knowledge especially about the requirement and the risk of working abroad, so they are deceived by the irresponsible persons. So we should help our young generation by giving them the right information about looking for jobs abroad, telling them not to be easy to be deceived with a promise to get high salary. We should tell them that they must have enough knowledge and know their right and responsibility for their jobs.
The participants as the Church members were asked to be active in helping the young people not to be deceived by the trafficker and to help the victims to be recover from their traumatic experiences. The participants said that actually they are ready to involve in helping the victims of the human trafficking but they are afraid that they will not be supported by the superiors and the other members of their convents. Moreover, these participants have already have their own duties which take all their times, so they will suggest to their superiors to determine one sister/priest to take part full time in handling the trafficking issues because this issue is also the problem which is handled by Church.
The participants got other information from the official of the Women NGO in North Sumatra, Police, and the Coordinator of the Women Empowerment in North Sumatra. These three informants who will become the network in fighting against human trafficking, at the beginning of the meeting presented what is human trafficking. Then, they shared their experiences in encountering the indications of the human trafficking. The North Sumatra Police traced the network of human trafficking in North Sumatra by watching some girls, the students of a Senior High School who were always going to a KFC restaurant after the school ended, the girls changed their school uniform with other clothes in the toilet . Getting out from the toilet the girls went to a certain place by “becak” where there was a luxurious auto already waiting for them. With the luxurious auto the girls were brought to a hotel. The police broke down the door of the room where the girls were brought into. The police caused one of the human/children trafficking fail
Based on the information from the informant from the Women NGO in North Sumatra, in relation with preventing human trafficking, comparing with the others places , Medan is better. Women NGO in Medan has already have the regulation for Fighting against the human trafficking. They also have MOU with several institutions for preventing the human trafficking and for handling the trafficking victims. However, for the socialization of the preventing the human trafficking to the society is not yet done optimal. For this activity they need more volunteers.
Forms of the Human Trafficking in North Sumatra
· Women and children trafficking for housework worker in Indonesia and abroad ( in Malaysia)
· Women and children trafficking for sexual worker abroad ( in Malaysia) and in Indonesia (specially in North Sumatra province, Riau and Java)
· Boys trafficking (boys from North Sumatra) to become worker for catching fish along the east seashore of the North Sumatra
· Trafficking indication “ Illegal Adoption”
· As dealers of narcotics
The Fact of KTP and KTA in North Sumatra which is handled by the PKPA
· North Sumatra as the sending, transit and aims area.
· Annual there are about 300-400 children become the trafficking for sexual workers
· Since 2007 to 2011 there were more than 62 cases which were handled by the NGO and the police and there were 20 cases up to the court.
· In 2012- 2013 there are 39 cases and 1 case up to court and got restitution.
· During the last three years grows children sexual exploitation among secondary school students
The Efforts for handling and helping the Trafficking Victims
· Prevention
· Investigation, Picking up and saving the victims
· Health Handling and Investigation
· Legal assistance
· Rehabilitation and re integration
The areas in North Sumatra which are dangerous with Trafficking
Resources Areas:
North Sumatra Province : Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, Binjai, Pematang Siantar, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu
Transit Areas :
Belawan, Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Labuhan Batu
Destination Areas
----------------------------------------------************------------------------------------------------
LOKAKARYA KESETARAAN GENDER HUMAN TRAFFICKING DEKANAT PEGUNUNGAN BINTANG DI KABUPATEN OKSIBIL 23-25 Juli 2013
Lokakarya ini merupakan kegiatan ke-empat kami di bumi Papua Barat. Tahun 2011 bulan Nopember IBSI bekerja sama dengan Komisi Pemberdayaan Perempuan Keuskupan Jayapura di Rumah Retret Sentani yang diikuti oleh perwakilan dari dekanat Keerom, Jayapura, Jayawijaya ( lembah Baliem ) dan Pegunungan Bintang.
Kegiatan diatas berlanjut karena ada tawaran bantuan dari MM melaluai Floor , sebab FSGM bekerja di Bumi Papua ini, maka untuk melibatkan lebih banyak orang untuk dapat terlibat dan meng-counter persoalan-persoalan kemanusiaan, kami mengadakan lokakarya ke-dua untuk secara khusus dekanat Keerom yang dihadiri 35 orang ( pastor, suster, frater dan aktivis ) dan dilanjutkan lokakarya untuk dekanat Jayawijaya di Wamena yang dihadiri 90 orang ) pastor, suster, frater dan aktivis ) pada bulan Februari 2013. Dalam kegiatan – kegiatan diatas kami masih memiliki saldo cukup untuk satu training lagi, sebab ada partisipasi dari ke-uskupan maupun pemerintah setempat ( kantor pemberdayaan perempuan ) sehingga kami merencanakan training untuk dekanat Pegunungan Bintang ini.
Lokakarya di Oksibil ini dihadiri oleh 30 aktivis setempat dan difasilitasi oleh 5 tim ( Sr.Rosalina KSFL penyelenggara, Ibu Anum Siregar dari LSM Perempuan dan advokad dari Jayapura, ibu Cornelia aktivis ke-uskupan, Sr.M. Katarina dari CWTC-IBSI dan Sr. Tarsisia dari JPIC-FSGM.
Lokakarya berjalan dengan lancar, peserta pro-aktif dan sangat senang karena mereka merasa didengarkan, dimengerti dan berharap dimasa yang akan datang mendapat kesempatan lagi untuk mendapat pendampingan agar mampu mengatasi persoalan-persoalan di Kabupaten Pegunungan Bintang yang terletak dipuncak gunung, yag dikelilingi oleh hutan belantara, terpencil, sarana transportasi dari daerah lain hanya terjangkau oleh pesawat dengan biaya yang cukup mahal atau atau dengan berjalan kaki, berhari-hari, ber-minggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Banyak persoalan yang dihadapi oleh penduduk Pegunungan Bintang ini, seperti yang dikatakan oleh peserta pemangku Adat yang mengatakan bahwa para pendatang datang dengan memperkenalkan minuman keras di warung-warung milik mereka, sekaligus menyediakan perempuan-perempuan yang akhirnya tersebarnya penyakit HIV/Aid di wilayah ini. Wilayah ini menjadi kurang aman dan nyaman dengan kedatangan militer dan polisi, sebab mereka mudah sekali melakukan kekeasan, penganiayaan dan pembunuhan, kesan mereka, pemerintah sengaja untuk menghabisi penduduk asli dan menggantikan dengan para pendatang.
KDRT ( Domestic Violance ) semarak didaerah ini karena budaya patriakhi, dimana perempuan atau anak perempuan diaggap sebagai barang yang dapat memberikan keuntungan, kebiasaan mas kawin, harga perempuan ditentukan oleh pamannya, bapaknya sehingga sesudah menikah perempuan menjadi milik suami yang telah dibeli seutuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki, suami atau laki-laki dapat memperlakukan isteri sesukanya. Kehadiran para pendatang menyebabkan perempuan-perempuan didaerah ini hamil diluar nikah, ada banyak pengalaman penduduk asli Papua yang menjadi korban para pendatang, mereka menumpang di rumah-rumah penduduk asli mengawini sambil bekerja sebagai tukang ojek, pedagang atau pegawai ngeri, sesudah mereka berhasil mengumpulkan harta meninggalkan begitu saja, sehingga mereka merasa malu atau sakit hati,dan anak hasil hubungan mereka dijual kepada yang berminat membelinya.
Persoalan lain yang sangat dirasakan oleh orang Papua adalah hilangnya budaya asli, dan hal ini dirasakan sesudah masuknya Gereja dan pemerintah Indonesia. Mereka nampaknya kehilangan identitas, seperti baju yang mereka pakai sehari-hari bukanlah budayanya, rumah mereka, makanan mereka, minuman mereka, bahasa, terlebih masuknya para pendatang dengan menawarkan minuman keras dan perempuan-perempuan asing yang menyebarkan penyakit dan penderitaan.
Penduduk Asli sangat terbuka terhadap para pendatang, banyak korban trafficking berasal dari luar yang kemudian ditampung dirumah mereka dan dikawini, sehingga mereka menjadi lebih baik hidupnya dan terhormat. Ada indikasi para trafficker dari NTT ( Nusa Tenggara Timur ) yang mengirim perempuan dan anak-anak ke Papua untuk disalurkan sebagai pembantu rumah tangga, dan juga sebagai PSK ( Pekerja Sek Komersil ), disinilah mereka diselamatkan dan dijadikan isteri orang Papua
Sesudah proses refleksi selama 3 hari, dengan materi-materi yang kami sajikan sebagai sarana analisis kesetaraan , kemitra sejajaran, menginventarisasi persoalan-persoalan seperti : (“ maraknya minuman keras yang merusak tubuh dan moral penduduk asli, KDRT, kekerasan oleh para aparat, polisi dan tentara, trafficking, hilangnya Adat Asli , mereka membuat beberapa Rencana Tindak Lanjut, antara lain :
RENCANA TINDAK LANJUT ISSU PEGUNUNGAN BINTANG.
1. KDRT :
Rencana Jangka Pendek :
1. Pembinaan di tingkat keluarga, Sekolah, Masyarakat
2. Sosialisasi Undang-undang KDRT
3. Pelatihan pemahaman Kesetaraan Gender
4. Advokasi dan pendataan sederhana KDRT di OKSIBIL
Rencana Jangka Panjang:
1. Adanya Perda KDRT
2. Pembinaan keluarga harmonis
3. Pembinaan Generasi muda
4. Misa Inkulturasi
5. Pembinaan dilingkungan Gereja dan Adat ( Kerjasama dengan Lembaga Pemberdayaan Perempuan, SKPKC, CWTC-IBSI)
2.MIRAS.
Program Jangka Pendek :
1. Pemberantasan miras secara kolektif
2. Pemeriksaan secara ketat pada cargo pesawat
3. Pengawasan pembuatan minuman lokal
4. Pemusnahan lahan ganja.
5. Sosialisasi diseluruh lapisan
6. Membangun konsolidasi
Program Jangka Panjang :
1.Melakukan koordinasi secara kontiyu dengan pihak-pihak terkait dalam menanggulangi penyakit sosial yang merugikan masyarakat.
2.Membuat usulan PERDA tentang Miras. ( Lembaga adat, Pemerintahan, Kepolisian, dan Ormas )
6. KEKERASAN Oleh APARAT
Program Jangka Pendek:
1. Pelatihan Investigasi dan dokumentasi sederhana
2. Stop Stigmatisasi Separatis OPM, GPK, terhadap pegunungan bintang ditanahnya sendiri.
Program Jangka Panjang:
1. Perumusan tentang Perda, penyediaan lapangan kerja, Peninngkatan SDM.
KESIMPULAN : Dibentuk TIM Formator JARINGAN PEDULI..............
-----------------------------------------------------------***********------------------------------------------------------
Gerakan Bersama Untuk Keadilan Ekologi dan Perdamaian
KUBU RAYA, TIRTA RIA-Sepuluh tahun akhir ini
masyarakat pedalaman memang mengalami banyak perubahan yang cukup berarti dalam
sisi ekonomi, namun disatu sisi terjadi suatu kemerosotan kualitas lingkungan
hidup. Persoalan penebangan hutan, tercemarnya air sungai sebagai sumber
kehidupan dan tanah masyarakat diambil alih oleh para pemodal memberi merupakan
faktor pendorong terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup dan keharmonisan
hidup masyarakat.
Melihat realitas masyarakat dan kualitas lingkungan
hidup tersebut, Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Pontianak /KKP-KAP
menyelenggarakan seminar dengan mengusung tema; “Gerakan Bersama Untuk Keadilan
dan Perdamaian”. Para peserta yang mengikuti seminar tersebut lebih berasal
dari beberapa anggota tarekat religius Katolik yang berkarya di bidang sosial
dan pendidikan di wilayah Kesukupan Agung Pontianak.
Pastor Faustus Bagara, Ofm Cap selaku ketua Komisi
Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Pontianak dalam kata sambutannya
mengungkapkan bahwa seminar ini dilandasi oleh keprihatinan terhadap kondisi
lingkungan hidup dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat yang meyebabkan
konflik horizontal maupun vertikal. “Kita sebagai religius perlu melakukan satu
gerakan bersama untuk melakukan pemulihan hak hidup masyarakat di Kalimantan,
teristimewah di Kalbar ini demi terciptakan keadilan dan perdamaian”.
Keprihatinan ini bukan tidak beralasan sebab dalam kenyataan hidup masyarakat
di pedalaman telah sering terjadi kasus-kasus perampasan tanah masyarakat oleh
pihak pemodal yang meyebabkan konflik. “Kita dipanggil untuk meyuarakan
keadilan dan kebenaran demi terciptanya
perdamaian dan kelestarian hidup bagi generasi selanjutnya. Disinilah letaknya
panggilan hidup kita dipertaruhkan” Ujar
Pastor yang mendalami ilmu sosial di Philipina.
Seminar yang diselenggarakan di rumah Retret Tirta Ria
Sei Raya tersebut diikuti 40 peserta yang terdiri dari para pastor, suster,
bruder, dan aktivis sosial gereja, dengan beberapa pembicara antara lain; P.
Samuel Oton Sidin, Ofm Cap, P. Paulus Siswantoko, Pr, P. Mike Peruhe, OFM dan
Sr. Maria Fransiska, SSpS.
Pastor Samuel Oton Sidin, Ofm Cap yang merupakan salahsatu
pionir gerakan penyelamatan lingkungan hidup di Gunung Benuah-Sei Ambawang,
memaparkan bahwa gerakan kita mesti berawal dari dalam diri sendiri. Keprihatinan
kita hendaklah mengugah orang lain untuk melakukan kebaikan. “Kita mesti sadar
bahwa bumi kita hanya satu, kalau bumi kita rusak berarti hidup kita pun akan
terancam, sekarang ini bumi kita sudah rusak parah (kalimantan), dimana hutan
sudah gundul, air telah tercemar, dan tanah-tanah masyarakat beralih ke pihak
pemodal. Sudah semestinya kita sadar bahwa manusia lah yang paling
bertanggungjawab atas kerusakan itu. Kerusakan itu akibat dari ulah manusia yang
tidak mengindahkan kadiah-kaidah ekosistem.
Menurut Pastor yang pada tahun 2012 menerima anugerah
Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan seluruh muara
persoalan lingkungan hidup dewasa ini berakar oleh kemerosotan moral dan Iman
manusia. Manusia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan memuaskan nafsu
keserakahannya” tandasnya.
Keserakahan manusia tersebut menyebakan ketidakadilan
dan ketidakharmonisan hidup manusia sendiri. Pastor Paulus C. Siswantoko, Pr
berujar bahwa ketidakadilan ekologi tersebut semakin nyata dalam diri manusia
yang serakah. Maka untuk itu perlu bersikap adil terhadap lingkungan hidup
dengan mengubah paradigma bahwa alam tidak semata-mata untuk dieksploitasi demi
pertumbuhan ekonomi. Kita mesti melakukan suatu gerakan pertobatan ekologis,
dimana adanya kesadaran untuk menghargai martabat makluk ciptaan ddemi keutuhan
dan kelestarian hidup” Ujar Sekjen Komisi Keadilan dan Perdamaian-Migran
Perantau KWI Jakarta.
Sedangkan Sr.
Maria Fransiska, SSpS yang berkecimpung dalam bidang penangganan kasus Human
Trafficking mengungkapkan bahwa human trafficking dewasa ini sudah sangat
melecehkan martabat manusia. Pelecehan martabat manusia tersebut merupakan
kejahatan paling keji dan merupakan pelanggaran HAM berat. Beliau melansir data
dari Counter Women Trafficking Commision bahwa daerah Kalbar menduduki posisi
kedua terjadi nya human trafficking setelah Jawa Barat.
Pada Tahun 2011 jumlah korban Kasus Perdagangan Manusia Di
Indonesia Mencapai 3.943 Orang, terdiri
Dari 3.559 Orang Perempuan Dan 384 Orang Laki-Laki. Daerah yang memiliki kasus tertinggi
berasal dari Jawa Barat Mencapai 920 Orang (23,33%)
Dari Total Korban Perdagangan Manusia Yang Ada Di Indonesia, Sedangkan Kedua
Yaitu Kalimantan
Barat Mencapai 722 (18,31%) Dan Jawa Timur 478 (12,12%,"
Papar suster yang berkarya di Surabaya ini.
Dalam
kesempatan yang sama Pastor Mike Peruhe, OFM memaparkan persoalan-persoalan
ketidakadilan ekologi dan membangun perdamaian di Bumi (Kalimantan) mesti
berangkat dari kekuatan bersama dalam jejaring. Kita tidak dapat bekerja
sendiri kalau hendak menegakkan keadilan dan perdamaian” tuturnya. Membangun
mitra kerjasama mesti dilandasi oleh itikad baik dan komitmen pada nilai-nilai solidaritas,
saling percaya, efektivitas, kesetaraan yang menguatkan, dan integritas serta
koordinasi dan komunikasi yang tepat. “Sudah saat nya sekarang kita sebagai
kaum religius anggota gereja membuka mata dan hati untuk melakukan suatu
gerakan bersama untuk keadilan dan perdamian karena itulah panggilan kita yang
sejati” lanjut Pastor yang baru saja menyelesaikan gelar Master Community
Development di Australia.
Seluruh
rangkaian seminar ini pada akhirnya melahirkan satu komitmen bersama para
religius katolik yang berkarya di berbagai daerah Kalbar, membangun satu
jaringan kerjasama untuk keadilan ekologi dan perdamaian dalam satu wadah. Hal
tersebut dimaksud agar gerakan tersebut memiliki sinergisitas yang
sungguh-sungguh berdampak pada satu perubahan hidup bagi masyarakat pedalaman
yang lebih baik dalam berbagai bidang kehidupan, bukan semata dalam segi
ekonomi. Bekerja untuk bidang keadilan dan perdamaian berarti bersikap hormat
terhadap martabat makluk ciptaan itu sendiri “tandas Pastor Faustus Bagara, ofm
cap dalam kata penutup seminar tersebut. (br.kris tampajara, mtb)
----------------------***********------------------
Perbudakan Modern
Kedu - IKHRAR
Sudah sejak
jaman dahulu kala perdagangan dan perbudakan manusia ini ada. Bukalah Kitab
Suci PL : Jusuf dijual oleh saudara-saudaranya, Sara dijual oleh Abraham -
suaminya.
Dari sejarah
dunia kita juga tahu, orang-orang negro di Afrika , orang-orang Indian di
Amerika ditangkap dan dijual di pasar budak dan dipekerjakan di perkebunan dan
tambang-tambang ; orang Jawa dijual ke Aceh oleh Belanda dll. Orang-orang yang
kalah perang ditangkap dan / atau dijual serta dimiliki pemenangnya sebagai “budak
– harta milik”. Manusia dianggap sebagai “barang dagangan”. Ini sungguh-sungguh
bertentangan dengan martabatnya sebagai manusia yang se-citra dengan Allah. Ini
bertentangan dengan HAM.
Di jaman sekarang
perbudakan semacam itu masih ada, dengan modus operandi yang berbeda, bahkan
berkembang tak terkendali karena mempunyai teknik dan strategi yang canggih,
yang melibatkan mata rantai jaringan, mulai dari big boss God Father-nya sampai
ke ujung tombak perekrut lokal perdagangan manusia di desa-desa terpencil. Jaringan kerja mereka
bagaikan mafia yang sulit diurai karena para pelakunya bersepakat untuk
merahasiakan dengan menutup mulut mata rantainya dengan uang, dan bahkan menutup
mulut mereka dengan ancaman, seperti yang terjadi dalam perdagangan narkoba.
Bisnis ini secara internasional menangguk keuntungan sangat besar, lebih besar
dari perdagangan senjata.
Perdagangan
manusia ini berkembang pesat dengan adanya sistem pasar bebas di dunia (WTO). Indonesia
di jaman Suharto ikut menandatangani sistem pasar bebas ini. Konsekuensinya
adalah semua negara yang menandatangani pasar bebas wajib membuka negaranya
untuk perdagangan apa pun dengan negara lain : baik perdagangan barang maupun perdagangan
“jasa”. Akibatnya kita melihat sekarang ada : Rumah Sakit Internasional, Rumah
Sakit Asing, Sekolah Internasional, Bank-Bank Asing, Perusahaan-Perusahaan Multinasional
sampai ke sektor retil : KFC, McDonald, Carefour dll….., Konsultan Asing, Dokter
Praktek Asing dll .... Kini banyak orang asing mencari
nafkah di negara Indonesia yang kaya, namun
yang belum bisa mengelola kekayaannya sendiri, contoh : Freeport.
Sebaliknya, orang
Indonesia pun diijinkan “menjual” jasanya kepada negara lain. Maka banyak orang
Indonesia yang mencari pekerjaan di negara lain entah sebagai perawat, teknisi
mesin, teknisi kapal terbang, tukang bangunan, dsb. Namun sayang seribu sayang
… kebanyakan pencari kerja bangsa kita di negara asing adalah para buruh yang
kurang / tidak berpendidikan, yang hanya lulusan SD , SMP dan bahkan banyak yang
buta buruh. Mereka hanya bisa menawarkan “jasa otot” mereka. Dan para buruh
“otot” murah inilah yang banyak diminati perusahaan besar di negara asing yang
kaya di sana, untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, kuli
pelabuhan, kuli bangunan, PRT dll,
karena upah mereka murah. Perusahaan
kaya di negara kaya, berusaha untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, maka
mereka mencari buruh murah dari Indonesia dan negara miskin lainnya, daripada
harus membayar buruh dari negaranya sendiri yang “lebih mahal” bayarannya.
Lama kelamaan permintaan akan perekrutan buruh murah ini semakin tinggi, khususnya
pekerja perempuan yang dibutuhkan untuk bekerja di sektor domestik / rumah tangga.
Para buruh yang
kurang berpendidikan ini tidak tahu cara bermigrasi dengan benar. Mereka buta
akan urusan dokumen - dokumen yang dibutuhkan untuk bermigrasi : paspor (
berikut persyaratan untuk memperolehnya, misalnya KTP, KK, Akte Kelahiran ) , visa
kerja, ticket perjalanan, bahasa negara tujuan dll. Mereka juga buta akan
pentingnya kontrak kerja, jenis pekerjaan apa yang akan dilakukan, alamat di mana
mereka akan bekerja dll. Yang penting bagi mereka adalah : bisa memperoleh
nafkah ! Tak peduli di mana, di sektor apa ! Tak peduli berapa gajinya ! Mereka
percaya saja ! Hal ini memunculkan “celah” bagi “orang kreatif” untuk membuka “kantor
jasa” penyalur tenaga kerja untuk membantu kesulitan para calon TKI. Mereka
memperoleh lapangan kerja untuk mencari nafkah. Dengan ijin Depnaker mereka bisa membuka kantor penyalur
tenaga kerja atau PJTKI. Ada peraturan yang harus mereka taati sebagai PJTKI,
misalnya :-
- Harus terdaftar resmi di Depnaker
- Harus memberi latihan ketrampilan kerja kepada para calon TKI untuk bekerja sesuai dengan permintaan pencari jasa : PRT, baby-sitter, pramurukti dll.
- Harus memberikan kursus bahasa asing kepada calon TKI sesuai dengan negara tujuan.
- Hanya boleh merekrut calon TKI jika ada permintaan resmi dari perusahaan negara tersebut
- Dll …
Namun …… pada
implementasinya, banyak PJTKI yang tidak memberikan pelatihan yang diwajibkan,
dan para calon TKI hanya dianggap sebagai “sumber penghasilan”. Mereka dibebani
banyak beaya untuk mengurus berbagai dokumen : KTP, KK, Akte Kelahiran, Paspor,
Visa, beaya pelatihan, beaya penampungan dll. Mereka ditampung di tempat penampungan
sambil diberi pelatihan. Dan karena pesanan tenaga dari LN belum ada ( ini
melanggar peraturan Depnaker ! ), mereka dikurung di penampungan itu agar bisa
segera dikirim ke pasar kerja begitu ada pesanan masuk. Semuanya itu bukannya
bebas ongkos. Mereka harus membayar seluruh beaya hidup di penampungan, dan
jika mereka tidak bisa membayarnya, mereka ditalangi dulu - yang dianggap
sebagai ”hutang yang berbunga”. Di sinilah mereka
mulai “dijerat dengan hutang”, yang harus dibayar melalui “potong gaji”. Maka banyak TKI yang pada 3 bulan - 6 bulan
pertama, atau satu tahun pertamanya tidak menerima gaji sama sekali atau
dipotong gajinya untuk membayar hutang.
Karena dari LN
semakin banyak permintaan pekerja sektor buruh domestik, maka semakin banyak
pula perempuan yang direkrut : promosi kerja di luar negri pun semakin marak.
Para penyalur tenaga kerja beramai-ramai memasang pamflet yang menarik untuk
merekrut pekerja perempuan, dengan janji-janji yang indah : gaji besar, bekerja
ringan.
Dari pihak lain,
kemiskinan mendera rakyat kita. Siapa yang tidak
tergiur dengan janji-janji itu ? Mereka butuh nafkah. Mereka membutuhkan
kehidupan yang lebih layak. Maka para perempuan pun berbondong-bondong mencari
pekerjaan di sektor yang dikenal sebagai TKW ini, dengan tujuan : membangun
masa depan yang lebih baik bagi anak-anak dan keluarganya.
Tidak jarang
perempuan muda pun melamar pekerjaan di sektor ini, walau masih di bawah umur
18 tahun, umur minimal untuk bermigrasi sesuai dengan peraturan pemerintah.
Namun kita semua tahu, peraturan pemerintah kita ini lemah, mudah dilanggar
dengan berbagai cara : suap, umur
dipalsukan dsb. Juga banyak terjadi, anak di bawah umur melamar sebagai TKW di
kota lain yang bukan kota / desa kelahirannya, dan dengan mudah namanya
dipalsukan, umur dipalsukan, nama orang tua dipalsukan – diikutsertakan pada KK
orang lain, dan bahkan alamatnya pun dipalsukan oleh penyalur tenaga kerja.
Maka tidak jarang terjadi, ada TKW yang tidak pernah kembali - hilang entah
kemana, mayat orang pun bisa berkeliling mencari alamatnya ke sana kemari
karena alamat yang disebut tidak cocok dengan data orangnya dll. Pemalsuan data
ini menjadi awal bencana bagi TKW, karena mereka sulit dilacak di mana
keberadaanya.
Di dunia kita
sekarang ini, juga ada banyak permintaan untuk memperoleh perempuan yang
dipekerjakan pada sex industri, yang bekerjasama dengan industri pariwisata. Siapa
yang berani dengan terang-terangan membuka lowongan kerja macam ini ?! Banyak
terjadi para TKW yang bermaksud mencari pekerjaan halal demi masa depan
keluarganya, di tengah jalan “dijual” sebagai PSK untuk mengisi lowongan
tersebut. Mereka terlalu polos, terlalu lugu, terlalu percaya akan kebaikan
hati orang yang mencarikan pekerjaan untuk mereka. Saking percayanya, mereka
tidak membuat kontrak kerja, tidak bertanya dulu di mana alamat tempat
kerjanya, sebagaimana juga sepenuhnya mempercayakan pembuatan paspor dan
visanya kepada penyalur. Bahkan mereka tidak tahu bahwa visa yang harus
dimilikinya adalah visa kerja, bukan visa tour. Mereka buta akan jenis-jenis
visa semacam itu. Mereka pasrah bongkokan saja ! Di kemudian hari mucullah
masalah legalitas visa yang akan membuat mereka menjadi pekerja ilegal, dan
selanjutnya menjadi buron polisi karenanya. Bahkan sangat sering terjadi,
paspor pun dipegang oleh majikannya,dengan dalih agar pekerjanya tidak
melarikan diri. Ini adalah pelanggaran hak pekerja. Paspor dan KTP adalah hak
si pemilik dan harus melekat - dipegang oleh pemiliknya sendiri. Tanpa paspor di tangannya,
pekerja dianggap sebagai “milik” majikannya, nasibnya sangat bergantung pada
majikannya.
Mata rantai
perdagangan ini sungguh rumit dan ruwet dan tidak kasat mata, bisa bermula dari
penyalur legal di kota kecamatan atau kabupaten, lalu berpindah ke penyalur
lain di kota besar yang entah legal atau tidak, lalu bisa berpindah lagi ke
penyalur lain di LN. Karena seringnya berpindah tangan penyalur, maka
keberadaan TKW sulit dilacak juga.
Sering terjadi,
mereka yang masih perawan dan muda, dipermak di salon sampai siap saji, diberi
pakaian yang “mengundang” dan dijual sebagai foto model seronok, atau sebagai
bintang film porno, yang harus melakukan adegan-adegan hubungan sex yang laku
dijual di pasaran, atau dijual di hotel dengan transaksi pembayaran yang sangat
tinggi, dengan perhitungan : mereka masih perawan dan masih bebas dari aids dan
penyakit sex lainnya. Bisa juga dijual di cafe-cafe dan diskotik. Mereka sudah
dijerat hutang sebelumnya, maka mereka harus melakukan pekerjaan itu. Kalau
tidak mau mengerjakannya, lalu mereka dikurung tanpa diberi makan dan dianiaya.
Setelah kelaparan, akhirnya mereka terpaksa mau juga .... !! Sesudah lama
dipakai di tingkat hotel berbintang ... lama kelamaan dipakai di hotel yang
semakin rendah kelasnya, lalu di hotel murahan ... demikian terus melorot dan
diobral ke tingkatan lokalisasi murahan sesuai dengan “kondisi tubuh” mereka.
Jadi, yang menjadi ukuran di sini adalah “tubuh” mereka. Seolah mereka hanyalah
seonggok daging yang disantap, dan disingkirkan ketika tidak mengundang selera
lagi.
Siapakah pelaku
perdagangan manusia ini ?
- Sesuai dengan Protocol Palermo tahun 2000, dan UU PTPPO tahun 2007 (
ratifikasi dari protocol Palermo oleh RI ), pelaku perdagangan manusia
adalah mereka yang merekrut, memindahkan, menampung atau menerima
seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan,
penggunaan kekuasaan terhadap posisi rentan, memberi / menerima pembayaran
/agar memperoleh persetujuan dari seseorang untuk berkuasa atas orang lain
dengan tujuan “exploitasi”.
- Eksploitasi = melacurkan orang lain, bentuk-bentuk lain eksploitasi seksual, kerja
atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan,
penghambaan atau pengambilan organ
tubuh.
Di lapangan, pelaku perdagangan manusia ini bisa :
- RT
/ RW atau Lurah Desa : yang memalsukan data orang.
- Ayah,
ibu, paman, bibi, teman, tetangga dan bahkan suami yang menyerahkan perempuan itu untuk
bekerja tanpa meneliti kebenaran tawaran kerjanya.
- Kantor imigrasi yang bekerjasama untuk memalsukan
paspor.
- Penyalur tenaga kerja yang tidak mentaati peraturan
Depnaker.
- Depnaker yang berkolusi dengan penyalur tenaga
kerja.
- Polisi yang melindungi pelaku.
- Dll ........
Secara klasik pelaku perdagangan manusia ini bisa :
- Ayah / ibu yang memanfaatkan posisi rentan anak
perempuannya untuk membayar hutangnya, dengan menikahkan dia kepada si
pemberi piutang ( Siti Nurbaya ). Anak merasa
wajib membantu orang tuanya. Di jaman ini masih banyak Siti Nurbaya yang
lain.
- Laki-laki yang membayar mas kawin sebelum pernikahan, yang membuat perempuan berada dalam posisi rentan sebagai “milik suami”, maka bisa diperlakukan sekehendak hati.
Kasus-kasus
perdagangan manusia :
- Pengantin
pesanan ( Kalimantan Barat – Taiwan )
- Penjualan
bayi
- Penculikan
anak baik laki-laki maupun perempuan ( di play station, di depan sekolah )
untuk pasar prostitusi, pasar paedofil, dipekerjakan sebagai pengamen
jalanan, untuk dipekerjakan di jermal, diambil organ tubuhnya.
- Penipuan
: janji pekerjaan halal dengan gaji bagus, pada akhirnya dimanfaatkan
untuk PSK
- Pekerja
ditempatkan berpindah-pindah ke negara yang tidak dikenal bahasanya
- Penyelundupan orang : Nunukan, Tebedu, Entikong,
Batam.
- Duta-duta kesenian , duta wisata dan kebudayaan.
- Kakak kelas menjual adik kelas
- Kredit HP dan pulsa yang harus dibayar dengan
keperawanannya.
- Kasus orang yang terpelajar yang juga “terjual”.
- Trafficking dalam gereja
Dari segi
kerentanan budaya kita :
- Budaya patriarki : istri dan anak di bawah kuasa
ayah.
- Aib jika perempuan ternoda (walau bukan kesalahannya),
mereka diasingkan dan disingkirkan oleh masyarakat. Maka perempuan memilih
bungkam ! Lalu... membiarkan pemerkosanya berkeliaran ?!
- Laki-laki bebas tanpa sangsi.
- Perawan tua juga menjadi predikat yang menakutkan
karena dianggap “tidak laku”.
- “Janda” adalah predikat yang menakutkan bagi
perempuan, karena .....
- “Single mother” dicibirkan – dilecehkan masyarakat,
padahal mereka “pro life” sesuai dengan ajaran gereja, dia berjuang mengatasi segala tekanan derita.
- Perempuan dianggap sebagai pihak yang “mengundang
dosa”, maka cara berpakaiannya pun diatur-atur ; keluar rumah diatur-atur
dll .....
- Bangga bila bisa pergi ke LN, pulang bawa banyak oleh-oleh. Setengah tahun atau kurang dari itu di rumah uang habis, pergi ke LN lagi.
Dari segi teknologi modern :
- Banyak anak muda direkrut melalui internet, facebook
dst....
- Tawaran dunia yang semakin menggiurkan melalui
reklame TV, internet dll.
- Tayangan internet yang bisa diakses melalui HP.
---------------------------------------**************-------------------------------------
Pertemuan Forum Masyarakat Manggarai di Jakarta
“Perempuan Menyapa Manggarai”
Merantau adalah sebuah kebiasaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat NTT baik perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun sehingga tidak sedikit orang NTT yang menetap di berbagai tempat. Masyarakat Manggarai adalah salah satu dari masyarakat NTT yang juga memiliki kebiasaan merantau. Di saat ini kebiasaan merantau menjadi sebuah momok bagi masyarakat Manggarai karena mereka yang merantau kebanyakan ingin mendapatkan penghidupan yang baik namun tidak memiliki pengetahuan dan keahlian yang diperlukan di daerah perantauan. Tidak sedikit masyarakat manggarai yang terjebak dalam tipu daya orang yang menjadi agen perekrut tenaga kerja dan berakhir menjadi korban penjualan orang.
Kehadiran Suster-Suster Gembala Baik dalam Seminar yang bertema “Perempuan Menyapa Manggarai” adalah untuk menggugah para tokoh masyarakat Manggarai yang memiliki pengaruh di daerah. Lewat pertemuan tersebut para tokoh masyarakat Manggarai diperkenalkan terhadap realita yang dialami oleh masyarakat di desa-desa terutama kaum perempuan dan anak yang terpisah dari suami dan ayah, serta bagaimana situasi sesungguhnya yang dialami oleh para pahlawan devisa asal manggarai di perantauan.Proses Sosialisasi
Dalam proses seminar dihadirkan pembicara antara lain:
· dr. Tridia Sudirga, Sp.KK (Perempuan Manggarai dan kesehatan)
· Suster CB (Perempuan dalam Gereja Manggarai)
· Vivi (Perempuan Manggarai dan hukum)
· Titin (Tenaga Kerja Wanita Manggarai)
· Suster Gembala Baik (Situasi Pekerja Migran dan keluarganya)
Dalam proses sosialisasi, Kami mempertanyakan apa yang para hadirin ketahui seputar tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Beberapa berkomentar bahwa mereka memiliki banyak penghasilan dan hidup keluarganya lebih baik. Dari komentar tersebut kami mempertanyakan lagi apakah mereka yang yang bekerja di Malaysia semua mendapat hidup yang lebih baik? pertanyaan ini dijawab diam oleh para peserta.
Kami memulai dengan mengajak peserta melihat bahwa sedikitnya ada 488 perempuan yang didampingi oleh Suster-suster Gembala Baik di Manggarai yang kehilangan kontak dengan suami yang merantau ke Malaysia. Ketika menyebut ini, ada dua orang peserta yang memunculkan kata “oh, JAMAL”. Dari celetukan itu kami mulai bercerita bagaimana istilah JAMAL telah merendahkan para ibu yang kami dampingi bahkan ada yang mendapatkan gangguan dari para lelaki di kampungnya dan akhirnya menjadi korban pelecehan seksual bahkan ada yang sampai mengandung tanpa tahu siapa pelaku yang menghamili. Pada saat kami menceritakan bagian ini, para hadirin yang sebelumnya ramai menjadi sangat tenang, diam, dan menaruh perhatian.
Kami melanjutkan presentasi kami dengan pengalaman mencari para suami dari 488 ibu di Sabah Malaysia. Suster yang mendampingi para ibu membawa data dan foto terakhir para suami yang sudah hilang kontak dan tidak diketahui keberadaannya. Dalam perjalanan selama 2 minggu dengan menempuh perjalanan darat menemui para pekerja Indonesia asal NTT di Kilang-kilang, hutan-hutan, perkebunan, dan kandang ternak tidak ada satupun dari 488 yang kami cari berhasil ditemukan. Ketika kami memasuki daerah peternakan kami menemukan seorang anak muda asal NTT yang baru saja berusia 20 tahun dan telah 3 tahun bekerja di sana yang menceritakan bagaimana susahnya hidup sebagai tenaga kerja yang tidak jelas statusnya.
Kami pun menunjukkan gambar dokumen untuk bekerja di Malaysia. Kami ceritakan bahwa mayoritas orang yang kami temui tidak pernah memegang dokumen dalam gambar padahal mereka memiliki dokumen itu. Hal ini terjadi karena mereka terikat hutang untuk dokumen itu yang jumahnya tidak sedikit yaitu sekitar 3000 RM bahkan sampai 4500 RM padahal banyak yang gaji per harinya 3 – 7 RM. Banyak yang menceritakan bahwa sebelum mereka selesai membayar hutang mereka sudah memiliki hutang untuk dokumen yang baru. Dan yang menarik adalah nama dalam dokumen seringkali berbeda dengan nama asli mereka serta usia mereka pun dipalsukan.
Kami menunjukkan bagaimana mereka tinggal dan bagaimana mereka survive. Dalam pengalaman pertemuan dengan mereka, sering mereka harus bersiap jika terjadi operasi dadakan oleh RELA. Mereka harus menyembunyikan diri dan keluarga dari tangkapan RELA. Para perempuan harus melahirkan tanpa bantuan medis dan bila ada yang sakit maka mereka memberikan obat tradisional ala kampung karena mereka tinggal di daerah yang terisolasi dan jauh dari keramaian. Untuk mengakses sarana pengobatan mereka harus menunjukkan uang sebesar 1200 RM dan membayar 150 RM untuk administrasi dan tidak termasuk obat. Mereka mengeluhkan diskriminasi yang terlalu besar karena warga Malaysia hanya membayar 10 RM untuk administrasi dan obat.
Kami juga menceritakan bagaimana para pekerja migrant dan keluarganya terlebih dahulu mendapatkan hukuman penjara sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Tidak sedikit mereka yang mendapatkan hukuman cambuk dan harus tinggal cukup lama dalam penjara sebelum pulang. Tidak sedikit pula mereka yang pulang hanya membawa kantung plastic yang berisi pakaian ganti mereka selema di penjara tanpa ada uang sama sekali. Tidak sedikit pula para ibu yang kami dampingi di Ruteng yang berhasil menemukan kembali suami namun dalam keadaan sakit parah sehingga tidak dapat kembali bekerja di kampung. Serta kami menceritakan tidak sedikit para suami yang pulang dengan membawa HIV AIDS karena selama di hutan menyalurkan hasrat seksual dengan PSK yang sudah dibuang karena penyakit tersebut. Hal ini menjawab pertanyaan kenapa perempuan terutama ibu rumah tangga banyak yang mengidap HIV AIDS di NTT.
Sepanjang presentasi tidak ada yang memberikan pertanyaan. Peserta memberikan pernyataan seputar presentasi yang kami lakukan antara lain:
- Presentasi ini telah membuka mata bahwa bukan perempuan manggarai yang kegenitan sehingga tertular HIV AIDS tapi mereka adalah korban karena suami mereka sendiri yang membawa penyakit itu ke rumah dan menulari istrinya.
- Persoalan migrant ini sesungguhnya serius tapi tidak begitu diketahui karena kebanyakan kita mendapat cerita yang bagus soal perantau di Malaysia.
- Appresiasi buat para suster gembala baik yang sudah melakukan pelayanan yang tidak biasa, kami ingin ikut mendukung dengan memberikan sumbangan karena para suster juga telah membantu masyarakat manggarai salah satunya dengan memulangkan 2 orang saudari kita.
- Akan ada pertemuan lanjutan dengan para gembala baik, supaya tokoh masyarakat manggarai bisa melakukan sesuatu. Karena ini persoalan serius yang butuh dicari penyelesaian secara bersama.
Keseriusan para tokoh masyarakat untuk melakukan advokasi persoalan masyarakat akar rumput adalah salah satu cara untuk mencegah semakin banyaknya orang yang diperdagangkan. Bekerja berjaringan bersama para stakeholder menjadi harapan gembala baik untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa dari praktek eksplotasi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar