17 Oktober 2012
TKI KORBAN TRAFFICKING BERSAKSI DI PBB
TEMPO.CO,
Wina - Seorang tenaga kerja wanita dari Indonesia yang menjadi korban
perdagangan manusia bersaksi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia menjadi
narasumber dalam salah satu acara dalam rangka Konferensi Negara Pihak Konvensi
PBB Anti-Kejahatan Teroganisasi Lintas Negara. TKW dengan nama samaran Memey
ini merupakan korban perdagangan manusia komplotan yang beroperasi di perbatasan
Indonesia dan Malaysia. Memey awalnya dijanjikan akan bekerja di restoran atau
menjadi pembantu rumah tangga. "Ternyata saya disuruh melayani tamu,"
ujar perempuan 28 tahun itu di kantor PBB di Wina, Austria, Rabu, 17 Oktober
2012.
Memey
berangkat ke Malaysia pada Maret 2006 lewat Semarang menuju Entikong,
Kalimantan Barat, dengan menggunakan kapal. Sesampainya di Entikong, ia bersama
dua rekan lainnya diserahkan ke sekelompok pria di perbatasan Entikong.
Dari Entikong, perempuan asal Temanggung,
Jawa Tengah, ini dimasukkan ke rumah penampungan di Kuching, Malaysia. Di sana,
ternyata sudah ada lebih dari 10 perempuan lain yang dipaksa menjadi pekerja
seks. "Saya melakukan itu selama empat bulan," kata Memey.
Ia akhirnya bisa pulang setelah polisi
Malaysia membongkar sindikat tersebut. Memey sempat diberi bekal pelatihan di
Konsulat Jenderal Indonesia di Kuching, kemudian di Jakarta. "Saya tidak
ingin hal ini terjadi pada perempuan lain," ujar Memey soal alasan membagi
kisahnya.
Konferensi
Negara Pihak Konvensi PBB Anti-Kejahatan Teroganisasi Lintas Negara dihadiri
perwakilan 172 anggota penandatanganan konvensi tersebut. Dalam konferensi kali
ini, Duta Besar Indonesia untuk Austria, Rachmat Budiman, didapuk sebagai
Presiden Konferensi.
Konferensi
yang berlangsung mulai 15 hingga 19 Oktober 2012 ini mengangkat dua isu yang
menjadi bahasan utama, yakni mekanismereview implementasi dan partisipasi
organisasi non-pemerintah dalam konferensi. Tiga protokol yang di-review
implementasinya adalah bentuk dan dimensi baru kejahatan lintas negara, kerja
sama internasional, serta aspek finansial dan pendanaan kegiatan.
TITO
SIANIPAR (WINA)
20 Oktober 2012
TEMPO.CO,
Wina -- Suasana ruang rapat sebesar lapangan basket itu serentak berubah sendu.
Film pendek tentang perjalanan hidup Memey, bukan nama sebenarnya, baru saja
diputar. Sekitar 100 orang yang hadir terdiam, menunggu si Memey yang larut
dalam tangis.
"Saya
tidak mau ada Memey-Memey lain," kata Memey di forum diskusi yang digelar
Kedutaan Besar Indonesia untuk Austria, dalam rangka Konferensi Negara Pihak
Konvensi PBB Anti-Kejahatan Terorganisasi Lintas Negara, di Markas PBB Wina,
Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
Wakil
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad Iqbal,
mengatakan, Memey adalah korban trafficking atau perdagangan manusia pertama
yang tampil di forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lihat: TKI Korban
Trafficking Bersaksi di PBB.
Memey memang
sengaja dihadirkan delegasi Indonesia, "Untuk memberi gambaran yang jelas
soal korban trafficking," ujar Iqbal, yang mendampingi Memey.
Benar saja. Presentasi film Memey ditambah kesaksiannya
di hadapan perwakilan delegasi asing berhasil mendapat simpati luas. Bahkan ada
peserta yang sampai menyeka air matanya. "Presentasi Indonesia tadi
sangat menyentuh," kata Susan, diplomat asal Hungaria, kepada Tempo.
Di hadapan
para delegasi internasional, Memey menyampaikan sepenggal kisah hidupnya.
Keberangkatannya untuk bekerja di negeri seberang karena didorong kebutuhan
ekonomi. "Saya berasal dari keluarga yang tidak mampu," kata anak
ketiga dari enam bersaudara ini.
Perempuan 28
tahun itu juga mengungkapkan betapa pedihnya menjadi korban trafficking.
"Tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa," kata perempuang asal Temanggung ini. "Bayangkan saya adalah
anak, saudara, atau diri Anda sendiri," ujar Memey.
Oleh karena
itu, sebagai korban trafficking, Memey mengajak seluruh delegasi yang hadir
untuk berkolaborasi memerangi penyeludupan manusia. "Saya harap Anda semua
serius dan bekerja sama melawan human trafficking," kata Memey.
DARI SECANG HINGGA SINGAPURA
Sebelum
menjadi korban perdagangan manusia di Malaysia, Memey sempat bekerja sebagai
pembantu rumah tangga di Singapura. Nasibnya juga sial. Ia tak menerima
penghasilannya sebagai pembantu rumah tangga.
Seusai
memberikan testimoni di hadapan delegasi negara-negara pihak Konvensi PBB
Anti-Kejahatan Terorganisasi Lintas Negara, Memey membuka kisah pilunya.
"Saya bekerja pertama kali sebafai pembantu rumah tangga di
Singapura," ujar Memey kepada Tempo di Markas PBB Wina, Austria, Rabu, 17
Oktober 2012 lalu. Lihat: TKI Korban Trafficking Bersaksi
di PBB.
Keberangkatan
Memey bekerja di luar negeri didorong oleh keadaan ekonomi keluarganya yang
sulit. Sebab, penghasilan orang tua Memey sebagai buruh tani tidak cukup untuk
membiayai hidup anak-anaknya. "Saya
dijanjikan bisa menerima gaji lebih dari Rp 2 juta setiap bulannya," kata
perempuan kelahiran Temanggung, 17 Juli 1984, itu.
Dari
perkenalannya dengan seorang pedagang ikan asin di Pasar Secang, Magelang,
Memey tergiur ajakan bekerja di luar negeri. Melalui seorang penyalur tenaga
kerja, pada 2001, Memey berhasil berangkat
ke Singapura ketika masih berusia 17 tahun.
Sebelum ke Singapura, Memey sempat
menghuni tempat penampungan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, selama satu
bulan. "Paspor dan segala keperluan
diurus agen di sana," kata Memey.
Di negeri Singa itu, Memey bekerja
selama 1,5 tahun. Ia sempat tiga kali berganti majikan. Tapi, ironisnya, Memey
tak pernah mengantongi hasil kerjanya. "Saya
tidak terima bulanan," ujarnya. "Saya juga tidak tahu apakah majikan
bayar langsung ke agen."
Tak kuat dengan kondisi itu, Memey
akhirnya memutuskan pulang. "Ketika
pulang, saya cuma dikasih Rp 500 ribu dari agensi," ujar Memey.
Pada 2004, Memey menikah dengan
seorang karyawan hotel di Surabaya. Setahun setelah menikah, ia melahirkan
putra pertamanya.
TAWARAN KILAT NAN MENGGIURKAN
Berkeluarga
tak membuat kondisi ekonomi Memey membaik. Bahkan cekcok dengan suaminya mendorong Memey kembali berangkat sebagai tenaga
kerja informal ke luar negeri.
Pada Maret
2006, Memey berangkat ke Malaysia. Kali ini ia dijanjikan akan dipekerjakan sebagai penjaga toko atau pelayan
restoran. "Yang membuat saya tergiur adalah karena tidak harus tinggal
di penampungan," kata perempuan kelahiran Temanggung, 17 Juli 1984, itu,
di Markas PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012. Baca: TKI Korban Trafficking Bersaksi
di PBB.
Tawaran bekerja ke Malaysia didapat Memey dari
kenalannya, Suyatmi, yang dikenal sebagai calo di salah satu Perusahaan Jasa
Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). "Kali ini saya berangkat sebagai
perorangan, tidak melalui agen," ujarnya.
Dari
Suyatmi, Memey diserahkan kepada seorang perempuan yang bernama Sri dari
Magelang. Dari Magelang, Memey
diberangkatkan menuju Entikong, Kalimantan Barat, dengan menggunakan kapal
laut melalui Semarang. "Saya berangkat bertiga, bersama Yayuk dan
Ngaliah," ujar Memey.
Di Entikong,
seorang pria yang bernama Masnok menjemput dan mengurus segala keperluan
mereka, termasuk paspor. "Saya tidak
keluar uang, hanya bermodal KTP (kartu tanda penduduk)," kata Memey.
Ketiga perempuan belia itu sempat menginap di sebuah rumah penampungan di
Entikong selama elpat hari.
Setelah
semua keperluan beres, Memey bersama dua temannya dibawa ke perbatasan. Di
perbatasan, Memey diserahterimakan kepada empat pria tegap yang diketahui
sebagai warga Malaysia. "Mereka seperti bodyguard. Kami dibawa ke Kuching,
Malaysia," kata Memey.
Di Kuching inilah kisah sengsara Memey
dimulai. Menurut Memey, sampai pada
titik ini, dia belum sadar sudah diperdagangkan.
"Semuanya
terasa normal," kata dia.
SAYA DIJUAL SETELAH DIDANDANI
Memey baru sadar
menjadi korban perdagangan manusia setelah berada di Kuching, Malaysia.
Perempuan-perempuan muda asal Indonesia dipekerjakan sebagai pekerja seks yang
harus melayani tamu.
Sesampai di
Kuching, Malaysia, pada pertengahan Maret 2006, Memey bersama dua rekannya
ditempatkan di penampungan. "Mirip barak. Cuma ruang besar dengan banyak
tempat tidur bertingkat yang berbaris," kata Memey di kantor PBB Wina,
Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
Hari
berikutnya, bersama lebih dari 10 perempuan lainnya, Memey dibawa ke mal untuk
berbelanja kebutuhan. "Saya beli empat pasang baju, dua sepatu, juga
lipstik dan bedak," kata Memey. Setelah dari mal, mereka semua dibawa ke
salon untuk didandani.
Seusai
berdandan, para perempuan korban perdagangan manusia itu diajak makan malam
bersama. "Ternyata di situ kami
dipamerkan ke pelanggan-pelanggan," kata dia. Memey kemudian dibawa
oleh salah seorang tamu ke sebuah hotel. "Saya belum sadar," ujarnya.
Setelah
berada di dalam kamar, Memey baru sadar bahwa dia harus menyerahkan tubuhnya
kepada pelanggan tersebut. "Dia bilang sudah beli saya dan berhak atas
tubuh saya malam itu," ujarnya. Tangis Memey tak membuat si pria hidung
belang mengurungkan niatnya. "Saya pasrah saja. Tak bisa melawan."
Keesokan
paginya, bodyguard rumah penampungan sudah menjemput Memey di hotel. Kembali ke
penampungan, Memey mendapati temannya,
Yayuk, histeris dan menangis terus. "Dia akhirnya disiksa bodyguard,"
kata Memey. "Bahkan dia juga diperkosa ramai-ramai."
Menjadi
pekerja seks dan melayani tamu dilakoni Memey setiap hari. "Bahkan pernah
dua kali dalam satu malam," kata dia. Memey hanya libur ketika mendapat
haid. "Tamu terus ada setiap malam," kata Memey.
Memey tidak
tahu penampungan itu berada di sebelah mana Kota Kuching. Pasalnya,
perempuan-perempuan korban trafficking tidak bisa melihat dunia luar, kecuali
sedang dibawa tamu. Para bodyguard juga menjaga mereka dengan ketat.
POLISI DAN PELANGGAN BAIK HATI
Rumah
penampungan para perempuan korban trafficking pernah digeruduk polisi Malaysia,
dan para penghuninya ditangkap. Belakangan mereka dilepas lagi dan kembali
beroperasi.
Menurut
Memey, penggerebekan berawal dari kaburnya seorang penghuni yang kemudian
melapor ke polisi. "Saya tidak ditangkap polisi karena kebetulan sedang
ada pelanggan," kata Memey di kantor PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17
Oktober 2012.
Memey
mengaku tidak ingat nama rekannya yang berhasil kabur itu. Usaha rekannya itu
membuahkan hasil: seluruh isi penampungan kosong. Oleh komplotan, Memey
kemudian ditransfer ke tempat penampungan lain. "Ternyata mereka punya
beberapa tempat penampungan," kata Memey.
Rekan-rekan
Memey yang ditangkap baru dilepas sekitar dua hingga tiga pekan kemudian.
"Bos besar turun tangan mengurus," kata Memey tanpa memerinci siapa
bos besar yang dimaksud. Menurut dia, jenjang
di dunia mafia perdagangan manusia tersusun rapi. Yang sehari-hari menjaga
mereka hanya lapisan terbawah.
Memey
sendiri mengakui tak pernah berusaha kabur karena punya strategi berbeda.
"Strategi saya adalah menangis depan pelanggan dan memohon untuk
membebaskan saya," kata dia.
Akhirnya,
cara itu berbuah hasil. Salah seorang pelanggan Memey iba dan kerap mem-booking
atau membawa Memey keluar dari penampungan. Sesampainya di hotel, si pelanggan
meminta Memey beristirahat. "Dia tak menyentuh saya. Bahkan saya dilayani
dan dibelikan makanan," kata Memey.
Hingga pada
suatu waktu, si pelanggan yang baik hati ini memberikan sebuah telepon seluler
kepada Memey. "Siapa tahu nanti berguna untuk hubungi keluarga atau siapa
pun," kata Memey menirukan ucapan si pelanggan.
Selain si
teman yang berusaha kabur dan melapor polisi, ada beberapa cerita lainnya
seputar usaha kabur para korban trafficking ini.
TELEPON SELULER YANG MEMBEBASKAN
Telepon
seluler yang diberikan oleh seorang pelanggan akhirnya berguna buat Memey.
Berkat telepon seluler itu, para korban trafficking bisa lolos dari jerat
mafia.
Setelah
digerebek polisi, bos besar pelaku perdagangan perempuan berencana mengalihkan
bisnis haramnya ke Kuala Lumpur. "Kami mau dijual lagi ke Kuala Lumpur,"
kata Memey ketika ditemui Tempo di kantor PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17
Oktober 2012.
Memey dan
teman-temannya mengetahui rencana itu karena menguping dari obrolan di antara
pada bodyguard. Rencana itu membuat mereka waswas karena kondisi di Kuala
Lumpur tak lebih baik dari di Kuching. "Kami sepakat untuk kabur,"
kata perempuan asal Temanggung, Jawa Tengah, ini.
Teman Memey,
Ade, kemudian menghubungi keluarganya secara diam-diam melalui telepon seluler
Memey. Ade adalah korban trafficking yang berasal dari Pontianak, Kalimantan
Barat. Kebetulan salah seorang kerabat Ade ada yang bekerja di Kuching,
Malaysia.
Sehari
setelah sambungan telepon itu, polisi kembali menggerebek lokasi penampungan.
"Anehnya, ketika polisi menggerebek, tidak ada satu pun bodyguard yang
berjaga," kata Memey. Diduga rencana penggerebekan polisi sudah diketahui
jaringan mafia trafficking.
Bersama
sekitar 10 perempuan lainnya, Memey ditahan di kantor polisi Kuching selama dua
pekan. Setelah itu, mereka dijemput oleh staf Konsulat Jenderal Indonesia di
Kuching. "Kami diberi pembekalan satu minggu di KJRI," kata Memey.
Setelah itu,
mereka juga mendapat pembekalan dari IOM (International Organization for
Migration) selama tiga pekan di Pontianak, Kalimantan Barat. Mereka juga menjalani
tes kesehatan. "Tapi kami tidak dikasih tahu hasilnya," kata Memey.
Setelah dari
Pontianak, Memey kemudian dibawa ke Jakarta dan menjalani tes kesehatan di
Rumah Sakit Polri Kramat Jati. "Di
sini baru ketahuan saya mengidap HIV," kata Memey.
HIDUP BARU DENGAN HIV
Lepas dari
jeratan mafia perdagangan manusia tak membuat hidup Memey menjadi lebih mudah.
Mengidap HIV adalah cobaan berat yang harus dijalaninya sepanjang hidup.
Setelah
menjadi korban perdagangan manusia di Kuching, Malaysia, Memey kembali ke
kampung halamannya di Temanggung, Jawa Tengah, sekitar akhir 2006. Namun cobaan
bertubi-tubi datang. Hubungannya dengan suami tak lagi harmonis.
"Saya
akhirnya bercerai dengan suami saya," kata Memey di kantor PBB Wina,
Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
Menyandang
status pengidap HIV dan janda dengan satu anak tak membuat Memey menyerah. Ia
berusaha keras mencari tahu soal virus yang menggerogoti kekebalan tubuhnya
itu. "Saya bolak-balik Temanggung-Salatiga untuk menjalani rehabilitasi
HIV," kata perempuan 28 tahun itu.
Jaringan
advokasi pengidap HIV Salatiga didapat Memey dari IOM yang pernah memberi
pembekalan di Pontianak. Setelah paham seluk-beluk dunia HIV, pada 2008, Memey
akhirnya membentuk kelompok sendiri di Temanggung yang diberi nama Smile Plus.
"Awalnya hanya tiga orang, tapi sekarang sudah 54 orang," kata Memey.
Membuat organisasi berisi pengidap HIV
bukanlah hal mudah. Bahkan Memey sempat hendak diusir para ulama di sana karena
dinilai membawa penyakit. "Tapi akhirnya mereka bisa menerima," kata
Memey. Ia bertekad untuk tetap memberi pengertian yang benar soal HIV.
"Soalnya pengidap HIV butuh pendampingan," kata dia.
Sebagai penyuluh HIV, pada 2009, Memey
bertemu dengan Yogo, sesama pengidap HIV. Mereka kemudian menikah pada 2010
lalu dan dikaruniai anak setahun kemudian.
Bersama-sama mereka menjadi penyuluh
HIV di Temanggung dan sekitarnya. "Salah satu wilayah jangkauan yang
paling berat adalah Parakan," kata Memey. Di sana, HIV banyak ditularkan
melalui jarum suntik.
Memey
mengatakan bersedia membeberkan kisah hidupnya agar semua pihak bisa mengerti
dan berani melawan mafia perdagangan manusia. Memey juga mengaku tidak dendam
dengan orang-orang yang dulu menjerumuskannya. "Memang sudah
jalannya," kata dia pasrah.
TITO SIANIPAR (Wina)
Perjuangan tidak akan pernah berhenti...
BalasHapus