“ Kok Manusia bisa jadi barang dagang ..? “ , “ Emangnya manusia itu benda mati ?, kok bisa diperjual belikan..” “ Apa bener ada para perempuan dan anak anak bangsa ini di jual di negara lain “ “ Ah…masa’ ada bayi di ambil organ tubuhnya buat hidangan makan..??? Hiii…‼ “ Kenapa sih para TKI itu mau aja di suruh pergi keluar negeri, padahal udah banyak kasus mengerikan terjadi di sana ..” “……….. Dan masih banyak lagi pertanyaan pertanyaan yang aku dapat saat pertama kali menulis tentang perdagangan manusia khususnya di indonesia ini di sebuah jejaring sosial…belum lagi rekan rekan ku yang lain saat bertemu waktu lagi ngobrol di beberapa kesempatan.Tidak jarang jawabanku mengernyitkan dahi mereka…tidak jarang pula kata kata umpatan kepada pemerintah, negara tujuan TKI, kepada para TKI itu sendiri kadang yang terlontar dari mereka…Baru aku sadari saat itu, betapa minimnya pengetahuan dan sosialisasi tentang perdagangan manusia dan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mereka ketahui…Hmmmm… Padahal di negeri seberang nun jauh disana, banyak anak anak bangsa ini yang sedang bertaruh nyawa menyambung hidup mereka… atau bahkan masih di dalam negeri sendiripun, mungkin bisa di penampungan TKI, mereka juga sedang memperjuangkan hak dan martabat mereka sebagai manusia….Miris mendengarnya. Tapi itulah kenyataannya.
Perdagangan orang khususnya bagi kaum perempuan dan anak, bukan merupakan masalah yang baru di Indonesia serta bagi negara-negara lain di dunia. Telah banyak yang mengawali sejarah lahirnya konvensi-konvensi sebagai upaya dari berbagai Negara untuk menghilangkan penghapusan Perdagangan Orang secara lintas batas Negara untuk tujuan prostitusi dan Kekerasan terhadap perempuan dan anak.
[Read More...]
Meskipun dikriminalisasi di hampir semua negara, perdagangan orang telah menjadi bisnis yang menggiurkan bagi pelaku. Setiap tahun, nilainya berkisar antara 7 hingga 10 miliar dolar AS. Untuk industri perdagangan anak sendiri diperkirakan menangguk untung 12 miliar dolar per tahunnya ( Sumber : Lembar Fakta UNHCR ).
Tidak mengherankan jika perdagangan orang (human trafficking) menjadi industri kriminal terbesar ketiga di dunia setelah bisnis senjata dan obat-obatan.
Mengambil contoh pada bulan Maret 2012 lalu, Kepolisian Thailand dan Australia dilaporkan telah menangkap enam orang yang diduga merupakan bagian dari jaringan perdagangan manusia Dalam operasi penangkapan yang mereka lakukan, Kepolisian Thailand berhasil menyita 16 paspor palsu untuk negara Uni Emirat Arab, Irak dan Iran. Mereka juga menyita sebuah mesin untuk memproduksi paspor palsu tadi di sebuah rumah yang dimiliki oleh perempuan yang mengaku istri pria asal Irak itu.
Kepolisian Thailand mengatakan paspor palsu yang mereka temukan umumnya dijual dengan harga US$400 atau Rp3,6 juta dan biasanya dijual kepada warga asal Timur Tengah. Australia telah lama dikenal sebagai negara tujuan para pengungsi, pencari suaka dan imigran yang memasuki negara itu secara ilegal.
Kita tidak dapat memahami tragedi Perdagangan Manusia, dan tidak pula dapat berhasil memberantasnya, kecuali jika kita mempelajari para korbannya: siapa mereka, mengapa mereka begitu rentan, bagaimana mereka dijebak, dan apakah yang bisa dilakukan untuk membebaskan dan menyembuhkan mereka.
Saat ini di Indonesia sendiri perdagangan manusia di dalam negeri juga merupakan masalah yang signifikan, perempuan dan anak perempuan dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, eksploitasi seksual komersial, dan kerja paksa pertanian, pertambangan, dan perikanan di daerah pedalaman.
Dari laporan yang dirilis Departemen Luar Negeri AS beberapa waktu lalu terdapat banyak hal menarik tentang kondisi human trafficking di Indonesia. Saat ini Indonesia sudah meningkat posisinya ke tier 2, posisi yang lebih baik dibandingkan tahun 2001 yang berada di posisi tier 3. Tier 2 adalah negara-negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum TVPA (Trafficking Victims Protection Act’s ), tetapi telah membuat upaya yang signifikan untuk membawa diri menjadi sesuai dengan standar-standar minimum tersebut. (United States Department of State, 2011 Trafficking in Persons Report - Indonesia, 27 June 2011 ).
Perdagangan orang (trafficking) menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB atau yang lebih dikenal dengan Protokol Palermo berarti
”Perdagangan manusia” haruslah berarti perekrutan,
pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau
menerima individu-individu, dengan
cara mengancam atau penggunaan paksaan
atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya,
penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan
sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari seseorang untuk memeiliki kontrol
terhadap orang lain,
dengan tujuan-tujuan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi
haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi
terhadap seseorang atau bentuk- bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja
paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan
atau penghilangan organ;
(Pasal 3 Protokol PBB
adalah Protokol untuk Pencegahan,
Penekanan dan Penghukuman Perdagangan Manusia. Khususnya Perempuan dan Anak,
Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional
yang Terorganisir Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan
Desember 2000 di Palermo, Sisilia, Italia ).
Menurut Protokol Palermo pada ayat tiga definisi aktivitas transaksi meliputi:
- Perekrutan
- Pengiriman
- Pemindah-tanganan
- Penampungan atau Penerimaan orang yang dilakukan dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainya, seperti:
- Penculikan
- Muslihat atau tipu daya
- Penyalahgunaan kekuasaan
- Penyalahgunaan posisi rawan
- Menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi.
Dalam pengertian ini eksploitasi yang melibatkan perdagangan orang meliputi juga “eksploitasi ketuna-susilaan dari orang lain atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, perburuhan dan layanan dengan pemaksaan, perbudakan atau praktik yang mirip dengan perbudakan, perbudakan atau pengambilan organ tubuh (UN, 2000).”
Sedangkan definisi
Perdagangan Orang (trafficking)
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu :
Pasal 1 (ayat 1) ;
Perdagangan Orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik
yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Pasal 1 (ayat 2) ;
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau
serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 1 (ayat 3) ;
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental,
fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan
tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 1 (ayat 4) ;
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 1 (ayat 5) ;
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berdasarkan pengertian dari
berbagai definisi di atas, perdagangan orang dipahami mengandung 3 (tiga) unsur
yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana Perdagangan Orang. Apabila dalam
hal ini yang menjadi korban adalah orang dewasa (Usia diatas 18 tahun) maka
unsur-unsur trafiking yang harus diperhatikan adalah PROSES (Pergerakan),
CARA, dan TUJUAN (Eksploitasi).
Dalam kasus yang terjadi
pada anak-anak (di bawah usia 18 tahun) ‘Cara” terjadinya kejadian tersebut
dianggap tidak relevan. Jika ‘Proses’ dan ‘Tujuan’ sudah ada, maka anak
tersebut sudah dianggap sebagai korban trafficking.
Indonesia merupakan negara
sumber utama perdagangan seks dan kerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan
laki-laki, dan dalam tingkatan yang jauh lebih rendah menjadi negara tujuan dan
transit perdagangan seks dan kerja paksa. Masing-masing propinsi dari 33
propinsi di Indonesia merupakan daerah sumber dan tujuan perdagangan manusia,
dengan daerah sumber yang paling signifikan adalah Jawa, Kalimantan Barat,
Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Sejumlah besar pekerja migran
Indonesia menghadapi kondisi kerja paksa dan terjerat utang di di negara-negara Asia yang lebih maju dan
Timur Tengah - khususnya Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Kuwait, Suriah, dan
Irak. Jumlah Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri masih sangat
tinggi, diperkirakan 6,5 juta sampai 9 juta pekerja migran Indonesia di seluruh
dunia, termasuk 2,6 juta orang di Malaysia dan 1,8 juta orang di Timur Tengah.
Diperkirakan 69 persen dari
seluruh Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri adalah perempuan. IOM
(International Organization for Migration) dan LSM anti-perdagangan manusia
terkemuka di Indonesia memperkirakan bahwa 43 sampai 50 persen - atau sekitar 3
sampai 4,5 juta - Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri menjadi korban dari
kondisi yang mengindikasikan adanya perdagangan manusia.
Dari 3.840 korban
perdagangan manusia yang diidentifikasi IOM dan pemerintah Indonesia saat
kembali dari bekerja di luar negeri, 90 persen adalah perempuan dan 56 persen
telah dieksploitasi dalam pekerjaan rumah tangga. Menurut IOM, total 82 persen
korban yang diidentifikasi pada tahun 2010 telah menjadi korban perdagangan
manusia ke luar negeri; 18 persen diantaranya menjadi korban perdagangan
manusia di Indonesia. (United States Department of State, 2011 Trafficking in Persons Report -
Indonesia, 27 June 2011 )
Dan sedikitnya 6 juta TKI bekerja di luar
negeri saat ini dan mengirimkan
remitansi minimal 60 Trilyun rupiah langsung ke pedesaan. Kontribusi yang besar terhadap sektor riil
belum seimbang dengan perlindungan terhadap mereka . ( Menakertrans,Kompas, 30
mei 2012)
Sampai
saat ini remitansi TKI tetap menjadi pendapatan negara terbesar kedua setelah
pendapatan dari sektor minyak dan gas. Dari sudut pandang ini, TKI tidak
diragukan lagi benar-benar pahlawan devisa.
Namun,
begitu sering pula kita membaca, mendengar dan menyaksikan kasus-kasus yang
menimpa TKI baik pada waktu pra penempatan, penempatan maupun purna-penempatan:
ditipu sponsor/agen (PPTKIS: Pelaksana Penempatan TKI Swasta ), penyiksaan oleh
majikan, pemerkosaan, di-PHK, gaji tidak dibayar, dibunuh, bunuh diri, disekap,
kabur dari rumah majikan, terlantar, diperas, ditipu travel dan sederet kasus
lainnya.
Berdasarkan
berbagai hasil kajian yang ada saat ini, Indonesia bukan saja sebagai tempat
penyumbang, tetapi juga empat transit dan tujuan perdagangan orang.
Sumatera
Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur adalah empat pintu
utama perdagangan orang Indonesia ke luar negeri.
Ada
beragam bentuk pekerjaan yang diidentifikasi sebagai perdagangan orang misalnya
untuk Pekerja Rumah Tangga di Luar Negeri , Pelacuran di Luar Negeri , Perkawinan
dengan Orang Asing , Pekerja di Tempat Konstruksi, Perkebunan dan Lainnya , Pekerja
Rumah Tangga di Indonesia, Prostitusi dalam Negeri , Penjualan Bayi, Lingkaran
Pengemis Terorganisasi, Kawin Kontrak.
Semakin
banyak dan beragamnya modus operandi para trafficker
untuk merekrut para korban berjalan seiring dengan semakin banyaknya korban
perdagangan manusia, misalnya pengiriman penari, penghibur atau duta budaya ke
luar negeri, disamping pengantin pesanan (mail-order bride) dan penjualan bayi,
perekrutan
buruh migran Indonesia di Malaysia untuk umrah ke Mekah, Janji-janji pekerjaan
yang lumayan baik, Jeratan utang, Tekanan masyarakat dan keluarga, Ancaman
kekerasan, Perkosaan, Pernikahan palsu, dan Penyitaan paspor belum lagi modus
yang memanfaatkan tekhnologi internet misalnya penipuan dan bujuk rayu via
jejaring sosial yang sering kali korbannya adalah para remaja yang masih duduk
dibangku sekolah selain itu lemahnya pengelolaan tenaga kerja diperkirakan turut
andil menyebabkan maraknya human trafficking di Indonesia.
Masihkah kita memalingkan hati kita dari mereka…??
Masihkah kita hidup di negara yang penuh dengan toleransi ini tapi
seolah olah kita tidak mau tahu dengan nasib mereka…??
Mereka berjuang demi hak dan martabat manusia bagi dirinya sendiri
agar mereka juga diakui sebagai citra Allah.
Mudah-mudahan segala bentuk Perdagangan Manusia ini bisa segera
dicegah dan dihentikan, mengingat manusia adalah citra Allah bukan sebagai alat
perdagangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar